Jika kekuatan partai lain memiliki jaringan mainstream media baik cetak maupun elektronik maupun media sosial. Golkar punya TV One dan viva news nya, Partai Nasdem punya Metro Group dan MNC Group nya, yang semuanya secara bergelombang terus memberitakan seputar kasus korupsi yang melanda elit partai Demokrat, maka tidak demikian tentunya dengan Partai Demokrat itu sendiri. Mereka seakan keteteran menahan arus serangan pemberitaan yang bertubi-tubi mengarah ke jantung pertahanan Demokrat. Maka pertahanan terakhir yang dilakukan oleh Demokrat akhirnya adalah Menyerukan Kader-kader demokrat untuk memboikot media mainstream dengan cara tidak meladeni permintaan wawancara, dialog atau tanggapan apapun yang datangnya dari media.
Namun hal itu lagi-lagi bukanlah strategi yang cerdas, malah semakin menyiramkan bensin untuk menambah semakin menyalanya arus pemberitaan tentang Demokrat di berbagai jenis media. Kita memang tidak memungkiri derasnya pemberitaan tersebut ada kekuatan politik didalamnya, namun Partai Demokrat juga seharusnya sadar diri bahwa kalau tak ada api tak mungkin ada asap. Kalau tak ada praktik kotor yang dilakukan oleh elitnya, tentu tak akan terjadi hiruk pikuk dan politik bunyi-bunyian ini dalam berbagai kanal berita. Dan Partai Demokrat juga seharusnya tidak melupakan jati diri dan sejarah kelahirannya, bahwa meroketnya Partai Demokrat dalam peta politik nasional tak lebih dan tak kurang karena peran pemberitaan media yang banyak mengangkat berita seputar SBY dan program-program bagi-bagi uangnya seperti BLT, PKH, Raskin dll yang dianggap sebagai bentuk kepedulian terhadap rakyat.
Sehingga menurut pendapat saya, bahwa sesuatu yang menanjak dengan tiba-tiba karena citra yang dibangun oleh media, maka secara sunnatullah wajar saja kalau harus menurun kembali bahkan drop ke level awal kelahirannya karena citra buruk yang juga diangkat oleh media. Media tentu sah memberitakan sebuah angel pemberitaan yang layak untuk diangkat. Apalagi kasus Nazarudin, Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, Dan Boikot Media ini merupakan berita yang dianggap seksi untuk naik meja redaksi.
Makanya, menurut saya, jika Demokrat mengambil sikap memboikot media, hal itu justru akan semakin menambah kesan dan citra negatif Partai Demokrat di mata publik. Karena hal itu dianggap sebagai sebuah langkah pembenaran terhadap fakta-fakta kasus yang melilit elit demokrat. Sehingga hal itu akan semakin membuat persepsi publik menjadi lebih antipati terhadap demokrat.
Seharusnya elit-elit Demokrat menyusun strategi sebagaimana dulu mereka berhasil bertengger di posisi pertama sebagai pemenang Pemilu Legislatif yang kemudian berhasil mengantarkan SBY menjabat sebagai presiden selama hampir 2 periode. Dengan cara mengintercept kekuatan-kekuatan jaringan media, baik cetak, elektronik dan media sosialnya. Dengan menyiapkan kadernya yang memang memiliki kualitas intelektual yang memadai, moralitas dan integritas yang mumpuni, serta memiliki kekuatan komunikasi yang baik.
Lebih daripada itu semua, alangkah lebih baiknya jika upaya yang dilakukan itu bersifat dramatis. Misalnya dengan serta merta saja membereskan kader-kadernya yang diindikasikan bermasalah tersebut, non aktifkan saja, entah Itu Anggelina Sondakh, Anas Urbaningrum, Andi Malarangeng, Mirwan Amir, Atau siapapun yang selama ini dianggap menjadi sumber bad news di Partai Demokrat. Tokh semuanya sudah berada dalam alur proses hukum. Kalupun misalnya hukum mengatakan mereka tidak bersalah, mereka dapat dipulihkan kembali kehormatan dan reputasinya.
Jika langkah-langkah strategis itu enggan untuk diambil, malah mengambil sikap pemboikotan terhadap media, maka hal itu justru akan menjadi pintu masuk bagi menggeloranya gerakan boikot Partai Demokrat. Jika itu sudah menjadi sebuah gerakan sosial, maka tamatlah riwayat hidup Partai Demokrat di Republik ini.