Akan tetapi, sangat disayangkan bila pengacara memanfaatkan pemahamannya itu untuk mencari celah hukum, lalu mengesploitasinya demi kepentingan klien, sampai terkesan melecehkan peradilan itu sendiri.
Kelakuan semacam itu bisa terlihat dari aksi pengacara Gunawan Yusuf yang sudah tiga kali mengajukan praperadilan, lalu mencabutnya lagi.
Secara hukum, aksi itu memang bisa dibenarkan. Karena Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak membatasi maksimal pengajuan praperadilan. Pun dari segi profesi, itu adalah upaya hukum yang sesuai koridor dan merupakan strategi yang cukup jenius. Supaya klien dari pengacara itu bisa terhindar dari pemeriksaan oleh Polisi.
Setidaknya, pengacara itu bisa mengulur waktu untuk kliennya. Karena untuk seorang pengusaha terkenal sekaligus tokoh masyarakat seperti Gunawan Yusuf, diperiksa Polisi bisa jadi aib besar. Meskipun ia masih berstatus saksi. Bukan tersangka.
Kendati menggunakan celah hukum yang masih dalam koridor, tapi kelakuan pengacara yang maju-mundur itu sebenarnya melanggar kode etik mereka sendiri. Yaitu membiarkan terjadinya ketidakpastian hukum. Karena kalau dipikir-pikir, mau sampai berapa kali mereka akan memanfaatkan celah hukum itu?
Lagipula, bila seorang advokat berulang kali mencabut gugatan pra peradilan, akan menimbulkan penilaian buruk pada profesi advokat itu sendiri.
Polisi sendiri sebaiknya tidak menunda-nunda pemeriksaan seorang saksi seperti Gunawan Yusuf, hanya karena yang bersangkutan mengajukan praperadilan. Karena sudah tiga kali ia dan pengacaranya mengajukan gugatan praperadilan. Itu membuktikan mereka tidak punya keseriusan. Atau mungkin sengaja menghina peradilan, dengan memanfaatkan celah hukum yang ada.