Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Jawaban Etika di Tengah Pusaran Rangkap Jabatan

15 November 2022   12:33 Diperbarui: 15 November 2022   12:34 184 2
Polemik rangkap jabatan pada perusahaan plat merah kembali terjadi. Hal ini sekarang dilakukan oleh Rektor UI Ari Kuncoro. Tetapi, hanya selang beberapa hari pasca publik gaduh, baik di sosmed dan pemberitaan lainnya, Ari Kuncoro mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wakil Komisaris Utama BRI. Terdapat pertanyaan yang dapat diajukan atas fenomena itu, yaitu Ari Kuncoro mengundurkan diri atas inisiatif pribadi atau karena publik gaduh?
Publik gaduh dengan rangkap jabatan UI itu, karena mimbar akademik yang seharusnya bersikap integritas, independensi dan obyektifitas telah dinodai dengan sikap-sikap yang tidak etis itu. Akan banyak terjadi conflict of intereset dan itu pasti.
Menariknya, pasca publik gaduh atas rangkap jabatan itu, Pemerintah langsung mengambil sikap untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2013 tentang Statuta UI yang awalnya melarang rektor UI merangkap jabatan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), termasuk sebagai komisaris. Oleh pemerintah, PP itu direvisi menjadi PP Nomor 75 Tahun 2021 yang menyebut rangkat jabatan rektor UI di BUMN hanya dilarang untuk jabatan Direksi. Dengan kata lain, norma di dalam PP 2013 yang melarang rangkap jabatan apa saja, oleh PP 2021 dibatasi pada jabatan Direksi. Artinya, selain jabatan Direksi diperbolehkan.
Terdapat nilai yang dapat diambil atas fenomena itu dari segi perspektif ilmu hukum dan etika. Dari perspektif ilmu hukum misalnya, perbuatan yang dilakukan oleh Ari Kuncoro 'seolah-olah' dibenarkan dari segi hukum positif. Artinya, ketika Ari Kuncoro menjabat sebagai Wakil Komisaris, maka itu tidak melanggar Statuta UI, karena yang dibatasi oleh Statuta UI hanya jabatan Direksi. Tetapi, terjadi 'blunder' oleh Pemerintah disini. Blunder yang dilakukan oleh Pemerintah yaitu merevisi Statuta UI setelah publik gaduh atas rangkap jabatan itu. Ditambah jika ditarik ke belakang, pengangkatan Ari Kuncoro itu dilakukan pada tahun 2018. Artinya, pengangkatan Ari Kuncoro itu masih berlaku PP 2013 yang melarang Rektor UI merangkap jabatan. Dengan kata lain, pengangkatan Ari Kuncoro pada saat itu dapat dikatakan perbuatan melanggar hukum administratif.
Antisipatif yang dilakukan oleh Pemerintah sudah terlambat. Jika memang mau melakukan itu, pemerintah seharusnya sejak awal merevisi Statuta UI itu baru melakukan pengangkatan Ari Kuncoro. Bukan sebaliknya ini yang terjadi, setelah diangkat lalu merevisi aturan yang melarangnya. Tetapi, tidak dapat dipungkiri beginilah negara ini dalam membuat aturan hukum. Hukum seolah-olah hanya sebuah aturan hitam-putih yang dapat berubah warna apa saja 'seenak' penguasa. Tidak ada rohnya (Dikatakan lebih tegas).
Keadaan itu hampir dilakukan oleh Lembaga-Lembag di negara ini, membuat dan merevisi suatu aturan tanpa kajian yang matang terlebih dahulu. Hal ini merupakan juga dampak dari Pendidikan Tinggi Hukum. Ya, hukum hanya dimaknai oleh suatu aturan yang dibuat oleh Penguasa. Selebihnya, itu bukan Hukum. Apalagi nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Ketika itu tidak dinormatifkan oleh Penguasa, maka itu bukan hukum.
Faktor-faktor ini juga yang menggugah fikiran Prof Tjip di kala penghujung usianya dengan membuat pernyataan 'mengajarkan keteraturan menemukan ketidakteraturan' (teaching order finding disorder). Ya, ketidakteraturan itu dibuat oleh para ahli hukum itu sendiri. Para pembuat kebijakan itu sendiri.
Selanjutnya, jika langkah pengunduran diri Ari Kuncoro ini merupakan inisiatif diri sendiri, hal itu merupakan 'jawaban etika' yang selama ini membuat gaduh publik. Ya, Etika itu hendak mempersoalkan 'apa yang baik, benar, dan patut'. Nilai-nilai yang hidup di masyarakat itu yang menjadi patokannya.
Kepatutan dari rangkap jabatan dalam negeri ini memang bukan hal tabu. Banyak sekali pejabat yang masih rangkap jabatan sana-sini dan belum terekspose publik. Mungkin setelah terekspose publik, baru ada tindakan. Ya, seperti yang menimpa Ari Kuncoro ini. Akan berbeda cerita jika hal itu tidak terekspose publik dan publik tidak gaduh.
Norma yang dibuat oleh pemerintah pasca revisi itu, dapat dikatakan menciderai nilai etika. Seolah-olah dapat dikatakan 'boleh' orang melakukan rangkap jabatan. Jika patut dipertanyakan, apa 'alasan hadirnya' (raison d'etre) norma tersebut di hadapan publik?
Andai saja Ari Kuncoro tidak melakukan pengunduran diri, hal ini akan berbeda cerita. Ya, menambah daftar buruk kepercayan publik terhadap pemerintah. Pembuat kebijakan sudah beberapa kali menciderai nilai-nilai itu. Serta, mereka seolah-olah acuh tak acuh meskipun dapat cemoohan dan kritikan dari masyarakat. Ya, tidak adanya rasa malu melakukan perbuatan itu.
Tetapi, sikap yang diambil oleh Ari Kuncoro dengan mengundurkan diri atas jabatan itu patut diacungi jempol. Meskipun, norma Statuta UI yang saat ini sudah memperbolehkan. Itulah, perbedaan yang mendasar dari 'Etika' dengan 'Kode Etik'. Etika lebih mengedepankan nilai-nilai yang hidup di masyarakat yang dapat dinilai secara baik, benar, dan patut. Sedangkan, Kode Etik hanya merupakan aturan-aturan yang hitam-putih dengan sifatnya mengikat secara internal dan penilaian publik tidak menjadi soal. Dapat dikatakan lebih tegas, ada rasa yang berbeda di 'hati nurani' masyarakat.
Publik akan merasa lebih bangga terhadap Ari Kuncoro, ketika ia juga mau mengembalikan kepada negara gaji yang diterimanya saat menjabat Wakil Komisaris selama 1,5 tahun itu. Mengingat, pengangkatannya kala itu telah melanggar Statuta UI. Dengan kata lain, Ari Kuncoro tidak berhak menerima gaji itu dari perspektif etika. Sebagaimana juga dinyatakan dalam QS. Adz-Dzariyat : 19, "Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapatkan bahagian".

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun