Minah kehilangan separuh jiwanya. Mimpi yang sudah ia susun sedemikian rupa, hilang bersama tiupan angin kebencian Ajeng. Tapi Minah sadar, mereka sama – sama wanita. Sama – sama memiliki nurani. Tak mungkin jika ia mengorbankan hati wanita lain untuk tetap mempertahankan cinta butanya.
Minah memutuskan untuk berjalan – jalan menapaki tanah bebatuan desa. Tanpa seorangpun yang menemani, seperti biasa. Ini pukul 9 malam. Dan desa sudah mulai sunyi dan sepi. Pangkalan Ojek juga kelihatan tak berpenghuni. Dari kejauhan Minah melihat Hansip Dorma sedang berpatroli dengan sepeda onthel yang ia pinjam dari kang Inin.
Minah masih berjalan, satu langkah, dua langkah, dan dilangkah ke tiga ia berpapasan dengan Ari si Pejalan Malam.
“Malam Minah?”
“Malam Mas Ari, dari mana?”
“Seperti biasa Minah, berjalan – jalan di malam hari. Mencari udara segar.”
“Masih galau soal kakak Jingga Mas?”
“Ah sudahlah Minah, jangan kau katakan sedikit pun tentang Jingga. Aku sudah coba merelakannya untuk Pak RT Ibay. Biarlah mereka merenda kisah. Dan aku disini tenang dalam kesendirianku.’
Minah memandangi wajah tirus Ari lekat – lekat. Ditemukan sudut luka disana. Minah tahu dan mampu merasakan luka hati Ari. Karena Minah pun merasakan hal yang sama.
“Ke warung mbak Sekar yuk mas. Kita ngobrol di sana, sekalian makan keripik. Mau kan?”
Ari tak menolak, ia mengiyakan dengan anggukan mantap. Nampaknya memang Ari sedang butuh teman berbagi.
“Mba Sekar belum tutup?” tanya Minah pada Sekar Mayang yang masih menunggui warungnya sembari mendengarkan alunan musik dangdut di radio bututnya.
“Eh Minah, tumben nih berduaan? Iya nih belum tutup Minah, oh iya mau beli atau mau mampir?”
“Beli donk Sekar, ada rasa baru ya? Cobalah 2 bungkus.” Ari mengambil alih bicara.
Sekar masuk ke dalam mengambilkan 2 bungkus keripik sambil bernyanyi.
“Ini keripiknya, sebentar kubuatkan the manis ya. Silahkan duduk.”
Ari dan Minah pun melanjutkan obrolan mereka tadi.
“Oh iya Minah, aku dengar kamu sedang berseteru sama Ajeng ya? Kenapa?”
“Kamu dengar juga ya? Perkara cinta segitiga mas Ari. Ya aku yang salah. Aku mencintai Garong.”
“Kok bisa? Ceritakan Minah. Siapa tahu sedikit meredakan kegelisahanmu.”
“Iya mas, awalnya aku mengagumi Garong karena dia pekerja keras. Dan aku rela jadi selingkuhannya. Tapi setelah kejadian pagi itu. Mba Ajeng melabrakku di kios bakso, om Garong jadi sakit beberapa hari kemudian. Seperti demam. Aku baru menyadari kalau om Garong lebih mencintai mba Ajeng daripada aku. Ya sudah aku mundur sajalah. Untuk apa memaksakan ego? Hanya menjadi dilemma tak berkesudahan nantinya.” Minah mencurahkan isi hatinya pada Ari tanpa keraguan sedikitpun.
“Ah Minah, ternyata nasib kita sama. Sama – sama tak mendapatkan cinta dari orang yang kita pilih. Ya nikmati saja Minah. Serahkan semua pada yang kuasa. Aku yakin akan ada hikmah dibalik luka.” Ari coba memberikan Minah sedikit kesejukan bathin. Dan memang itu yang Minah butuhkan saat ini.
“Aduh kripiknya melempem deh, kok nggak dimakan?” Mendadak sekar sudah berdiri di dekat mereka.
“Bungkus saja mbak, lagi asik cerita.” Minah menjelaskan.
“Oke!!” jawab Sekar.
“Mas Ari pulang yuk, tambah dingin di sini.” Ajak Minah.
“Yuk aku juga mau melanjutkan jalan – jalan malamnya.”
Mereka meninggalkan warung Sekar dengan wajah yang sama – sama terlihat lebih lega. Tapi sepanjang jalan arah pulang mereka tak saling bicara. Diam seribu bahasa. Baik Ari dan Minah memiliki renungan sendiri – sendiri. Akhirnya sampai di perempatan. Dimana mereka harus berpisah.
“Mas Ari kita pisah disini ya. Minah mau belok.”
“Iya Minah, hati – hati ya. Terimakasih sudah menemani jalan malamku.”
“Sama – sama Mas, MInah juga senang ada tempat curhat.”
“Minah jangan kau simpan kedukaanmu. Berbagilah denganku. Sebisa mungkin aku ada. Tapi ingatlah Minah, kesendirian takkan mematikan kita. Namun rasanya setelah malam ini aku tak ingin bersendirian lagi. Hehe ..”Ari sedikit tersenyum dengan pernyataannya sendiri.
“Iya mas. Minah senang ada yang mau di ajak bicara. Minah kagum dengan kemampuan mas Ari menenggelamkan emosi dalam ketabahan. Minah pulang ya mas Ari. Hati – hati di jalan.”
Minah dan Ari pun berpisah. Arah yang mereka tapakki kini berbeda. Tapi irama hati mereka malam ini sama. Namun entah itu apa.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ECR4~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~