Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Nasib [Korban] Legislasi Napza RI dari Masa ke Masa

6 September 2013   12:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:16 167 0
Produk hukum untuk napza yang disahkan oleh sebuah negara berdaulat bernama Republik Indonesia sudah berlangsung sejak 1971 berupa instruksi presiden yang masih menggabungkan penanggulangan bahaya narkotika dengan hal-hal lain yang dianggap mengancam keamanan negara(ref: 1), menjadi UU tersendiri pada 1976(ref: 2); semakin represif di penghujung tahun 1990-an(ref: 3) telah sangat ceroboh mengetengahkan tema pelarangan dan kriminalisasi untuk sejumlah napza dan pihak-pihak yang terlibat terutama konsumen yang masuk ke dalam kategori korban [dari kebijakan pelarangan yang mengakibatkan zat-zat terlarang tersebut dikuasai sindikat kejahatan yang kemudian berinteraksi dengan rakyat konsumen untuk dieksploitasi demi laba besar bisnis yang dijalankannya]. Di samping ceroboh, proses legislasi produk-produk hukum tersebut jelas mencerminkan kemalasan pembuat undang-undang dengan hanya menambahkan beratnya sanksi bagi pelanggar(ref: 4) terutama konsumen yang mau tidak mau diletakkan sebagai pelanggar peraturan karena untuk mengkonsumsi, pasti mereka memiliki atau menyimpan zat-zat yang dilarang UU tersebut. Para pembuat UU dan penguasa republik ini sangat jelas takluk (takut, kali?) dalam hal pengaturan napza untuk bangsa, negara, dan rakyatnya sendiri dengan mengetengahkan tema pelarangan yang sama artinya dengan melepas penguasaan hulu hingga hilir narkoba kepada sindikat premanisme kapitalis lewat peredaran jalanannya; melalui produk-produk hukum lainnya, kepada produsen zat-zat psikoaktif lewat sales representative-nya.

Sesungguhnya usulan untuk merevisi UU Narkotika dan Psikotropika RI tahun 1997 datang dari keprihatinan akan ancaman kesehatan masyarakat, terutama pesatnya penyebaran HIV di kalangan pengguna napza suntik dan juga pasangannya. Melalui Ketetapan MPR No. VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, MA dalam Sidang Umum MPR RI tahun 2002 memandatkan kepada Presiden bersama DPR untuk merevisi kedua UU tersebut. Rekomendasi tersebut baru dilaksanakan pemerintah tiga tahun kemudian melalui Surat Presiden RI No. R. 75/Pres./9/2005 tertanggal 22 September 2005 perihal RUU tentang Narkotika. Rapat paripurna pasca dikeluarkannya surat presiden tersebut segera dilaksanakan. Pembahasan penanganan RUU Narkotika kemudian dibahas dalam Rapat Badan Musyawarah ke-1 pada masa sidang kedua Tahun Sidang 2005-2006 satu bulan kemudian. Lalu Komisi IX DPR RI, yang mengurusi permasalahan kesehatan dan kesejahteraan rakyat – bukan pertahanan, keamanan, atau penegakkan hukum, diserahkan untuk membentuk panitia khusus (Pansus) RUU Narkotika. Hampir dua tahun kemudian putusan mengenai pansus tersebut baru dihasilkan, tepatnya pada 27 Maret 2007.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun