“
Saya terima nikahnya FULANAH binti FULANIN dengan maharnya seperangkat alat sholat dibayar tunai” (Qabul Nikah) Pernikahan merupakan momentum yang sangat ditunggu-tunggu dan dinantikan oleh sepasang hati yang telah menautkan ujung-ujung jemari janji-janji untuk mengikat cinta-kasih dalam balutan ridho ar-Rahman dan ar-Rahim, Allah ‘Azza wa Jalla. Siapa yang tidak ingin menjalani pernikahan?. Tentunya sebagai seorang pria/wanita normal dan patuh pada sunnah Nabi Muhammad SAW, tidak seorangpun yang tidak menginginkan melangkah ke jenjang pernikahan. Menikah merupakan mendulang kebahagiaan yang tak ternilai harganya-demikian anekdot yang berkembang di tengah masyarakat. “
Wahai para pemuda (pemudi), bagi siapa yang telah sanggup untuk berumah tangga, maka menikahlah, karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Bagi yang belum sanggup maka berpuasalah, karena sesungguhnya puasa tersebut menjadi benteng baginya” (HR. Bukhari-Muslim). Inilah sabda Rasul yang dijadikan sebagai dasar pijakan dalam melaksanakan pernikahan. Sebelum melangsungkan pernikahan ada satu dari beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon mempelai pria yaitu
mahar atau
maskawin. Mahar atau maskawin merupakan pemberian wajib seorang laki-laki kepada seorang wanita sebagai wujud kesungguhan dirinya untuk menikahi wanita tersebut. Dasar pijakan bagi pewajiban mahar ini adalah firman Allah SWT dalam Qs. An-Nisa’: 04 “
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”. Dalam ayat ini Allah memerintahkan memberikan mahar kepada wanita yang akan dinikahi, hal ini menjadi “karenah” bahwa mahar merupakan syarat sah pernikahan. Pernikahan yang tanpa mahar merupakan pernikahan yang tidak sah, meskipun pihak wanita telah redha untuk tidak mendapatkan mahar. Mahar merupakan hak penuh mempelai wanita. Tidak boleh hak tersebut diambil oleh orang tua, keluaraga atau bahkan suami sekalipun, kecuali bila mempelai wanita tersebut telah meredhakannya. Mempelai wanita bebas menentukan berapa besar mahar yang harus dipenuhi oleh mempelai pria. Mahar itu ada beberapa macam yang semuanya diperbolehkan dalam Islam, yaitu:
pertama: mahar yang disebutkan (ditentukan) ketika akad nikah dan
kedua: mahar yang tidak disebutkan ketika akad nikah. Jika mahar disebutkan dalam akad nikah, maka wajib bagi mempelai pria atau suami untuk membayar mahar yang telah disebutkan dalam aqad nikah. Apabila mahar tidak disebutkan dalam akad nikah namun tidak ada kesepakatan untuk menggugurkan mahar, maka wajib bagi suami untuk memberikan mahar semisal mahar kerabat wanita istrinya, seperti ibu atau saudara-saudara perempuannya atau disebut juga dengan
mahar mitsl. Bahkan, untuk mempermudah jalannya pernikahan, Islam membolehkan bagi mempelai pria atau suami antara membayar tunai atau menghutang mahar, dengan persetujuan mempelai wanita, baik keseluruhan maupun sebagian dari mahar tersebut. Jika mahar tersebut adalah mahar yang dihutang baik yang disebutkan jenis dan jumlahnya sebelumnya maupun yang tidak, maka harus ada kejelasan waktu penangguhan atau pencicilannya. Tidak diperbolehkan seorang suami ingkar terhadap mahar istrinya, karena hal tersebut merupakan khianat.
Mahar dan Nilai Nominal Mahar pada hakikatnya dinilai dengan uang, karena mahar merupakan harta bukan symbol belaka. Oleh karena itulah seorang yang merdeka dibolehkan menikahi budak belian jika tidak mampu memberikan mahar kepada calon mempelai wanita. Kata-kata “tidak mampu” menjadi indikator bahwa pada masa dahulu mahar merupakan sesuatu yang sangat tinggi nilainya, bukan sekedar simbol seperti mushaf al-Qur’an ataupun seperangkat alat sholat yang secara nominal tidak mempunyai nilai yang berarti, sebab bisa didapat dengan beberapa puluh ribu saja. Hal ini yang kurang diperhatikan oleh umat Islam hari ini, baik calon mempelai wanita sebagai orang yang akan menerima nafkah awal berupa mahar, maupun calon mempelai pria yang akan menunaikan kewajibannya membayar mahar yang diminta oleh isterinya. Mahar merupakan nafkah awal, pintu nafkah sebelum suami membayarkan nafkah rutin berikutnya. Jadi sangat wajar dan pantas jika seorang isteri meminta mahar yang bernilai nominal kepada calon. Misalnya uang tunai, emas, took. Kendaraan, sertifikat tanah, sertifikat rumah, kendaraan, kontrakan, perusahaan atau benda berharga lainnya. Sangat tidak wajar bila calon suami yang punya penghasilan menengah, tetapi hanya memberi mahar semurah itu “seperangkat alat sholat” kepada calon istrinya. Rentang sejarah memang menukilkan kepada kita bahwa Nabi SAW pernah menikahkan seorang sahabat dengan mahar mengajarkan al-Qur’an, tetapi hal ini hendaknya tidak ditafsirkan secara harfiah belaka. Kisah tersebut terangkum dalam hadits berikut: Dari Sahal bin Sa’ad bahwa Nabi SAW didatangi seorang wanita yang berkata “Ya Rasulullah kuserahkan diriku untukmu” Wanita itu berdiri lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata “Ya Rasulullah kawinkan dengan aku saja jika engkau tidak ingin menikahinya”. Rasulullah berkata “Adakah kamu mempunyai sesuatu untuk dijadikan mahar?” dia berkata, “Tidak, kecuali hanya sehelai sarungku ini” Nabi menjawab, “bila engkau jadikan sarungmu sebagai mahar maka engkau tidak akan punya sarung lagi, carilah sesuatu yang lain”. Dia berkata, “aku tidak mendapatkan sesuatupun”. Rasulullah berkata, “Carilah walau cincin dari besi”. Dia mencarinya lagi dan tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Nabi berkata lagi, “Apakah kamu menghafal Qur’an?” Dia menjawab, “Ya, saya menghafal surat ini dan itu sambil menyebutkan surat yang dihafalnya”. Berkatalah Nabi, “Aku telah menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan Qur’anmu”. Abu Hurairah menyebutkan bahwa jumlah ayat yang harus diajarkan oleh sahabat itu kepada isterinya adalah 20 (
dua puluh) ayat. Kejadian ini mengindikasikan bahwa:
pertama, hafalan al-Qur’an hanya boleh dijadikan sebagai mahar bagi seorang pria yang ingin menikah tapi tidak sanggup dalam membayarkan mahar dalam bentuk nominal yang berharga.
Kedua, kejadian yang terjadi di masa Rasulullah SAW tersebut, harus dipahami sebagai jasa mengajarkan al-Quran. Mengajarkan al-Quran itu memang jasa yang lumayan mahal secara nominal. Apalagi kita tahu bahwa istilah “mengajarkan al-Quran” di masa lalu tidak sebatas istri bisa hafal bacaannya saja, melainkan juga sekaligus dengan makna, tafsir, pemahaman fiqih dan ilmu-ilmu yang terkait dengan masing-masing ayat yang diajarkan tersebut. Para ulama fiqh, memberikan batas yang berbeda dalam persoalan nominal marhar ini. Ulama Hanafiyah memberikan batasan 10 dirham, sedangkan ulama Malikiyah memberikan batasan 3 dirham. Dilain pihak, jumhur ulama tidak memberikan batasan terhadap nominal dari sebuah mahar dalam perkawinan. Kenyataan bahwa tingkat ekonomi umat manusia sangat dipahami dan dimengerti oleh Islam, ada yang mempunyai kelebihan rezeki dan ada yang kekurangan. Karena itulah syari’at memberikan kelonggaran bagi seorang pria yang tidak mempunyai kesanggupan dalam memberikan mahar dengan nominal tinggi yang diminta oleh seorang isteri untuk mencicil atau mengutangnya. Diperbolehkan bagi laki-laki antara membayar tunai dan atau menghutang mahar dengan persetujuan si wanita, baik keseluruhan maupun sebagian dari mahar tersebut. Jika mahar tersebut adalah mahar yang dihutang baik yang telah disebutkan jenis dan jumlahnya sebelumnya maupun yang tidak, maka harus ada kejelasan waktu penangguhan atau pencicilannya. Tidak diperbolehkan seorang suami ingkar terhadap mahar istrinya, karena hal tersebut merupakan khianat. Rasulullah bersabda,
“Syarat yang paling berhak kamu penuhi adalah persyaratan yang dengannya kalian menghalalkan farji.” (HR. Bukhari) Solusi lainnya adalah dia boleh memilih istri yang sekiranya sudah mengerti keadaan ekonominya. Kalau membayar maharnya saja tidak mampu, apalagi bayar nafkah. Logika seperti itu harus sudah dipahami dengan baik oleh siapapun wanita yang akan menjadi istrinya. Maka Islam membolehkan dia memberi mahar dalam bentuk apapun, dengan nilai serendah mungkin. Misalnya cincin dari besi, sebutir korma, jasa mengajarkan atau yang sejenisnya. Yang penting kedua belah pihak ridho dan rela atas mahar itu. Dalam tulisan ini penulis tidak ingin menggiring, para wanita untuk menjadi mata duitan, sehingga mengukur segala sesuatunya dengan nominal. Namun harus dipahami bahwa, perlu pengkajian terhadap kebiasaan-kebiasaan yang telah dibiasakan serta perlunya merasionalisasikannya. Seperti konsep mahar dengan seperangkat alat sholat tersebut. Bukan berarti penulis menggugat atau menelanjangi para pengikut seperangkat alat sholat ini. Alangkah lucu dan ironisnya jika seseorang yang mempunyai kemampuan dan hidup dalam gelimang harta hanya memberikan mahar seperangkat alat sholat kepada isterinya, atas dasar ketidaktahuan isteri atas haknya atau suami yang tidak memahami tanggung-jawabnya. Dalam bahasa atau analogi yang lebih ekstrem, penulis berpikir “masa untuk penghalalan potong tangan dalam kasus pencurian saja harus dinilai dengan seperempat dinar, sedangkan untuk penghalalan
farj hanya dinilai dengan seperangkat alat sholat”. Permintaan mahar dalam bentuk harta yang punya nilai nominal ini pada gilirannya harus dipandang wajar, sebab kebanyakan wanita sekarang seolah tidak terlalu mempedulikan lagi nilai nominal mahar yang akan diterimanya, sedangkan laki-laki juga tidak memahami tuntan syari’at atasnya.
Wa ‘alallahi turja’ul umur USMAN Mahasiswa pascasarjana IAIN Padang/ Penggiat IKAMTI-Pasir
KEMBALI KE ARTIKEL