Ayah : “Pusako ko warisan ninik mamak, jadi waang nan tapek manaruihkannyo”
Hakim : “Tapi yaah……”
Ayah : “Kalau itu pilihan waang, pailah….”
Lalu Hakim pergi meninggalkan rumah gadang untuk pergi merantau. Ketika kakinya melangkah hendak meninggalkan rumah, sang adik mengejar dan memberikan kacio (Celengan) kepada Uda Hakim-nya. Namun uda Hakim menolak dan berpesan pada adiknya, “Kau jago ayah yoo…”
Adegan selanjutnya sang ayah bersama adiknya kesepian di rumah gadang. Berbuka puasa hanya mereka berdua. Tidak tampak sosok ibu diantara mereka.
Sedangkan Hakim sudah sukses di rantau dengan usaha rumah makannya. Sampai suatu saat ketika Hakim membuka laci meja kerjanya, sebuah foto terjatuh. Foto Hakim, Ayah, dan sang Adik. Semakin jelas tidak ada sosok ibu diantara mereka.
Iklan ini ditutup dengan adegan adik Hakim menerima paket kiriman Hakim dari rantau yang ternyata adalah selembar kain sarung untuk sang ayah. Lalu sebuah pesan penutup, “Keikhlasan mengantar kita pada keberkahan”
Dari cerita di iklan ini digambarkan bagaimana seorang laki-laki di Minang cenderung memilih untuk merantau ketika muda. Sesuai dengan pantun adat yang berbunyi
Karatau madang dihulu,
Babuah babungo balun.
Marantau bujang dahulu,
Dirumah paguno balun.
Artinya :
Keratau medang dihulu,
Berbuah berbunga belum.
Merantau bujang dahulu,
Dirumah berguna belum.
Keteguhan untuk memilih pergi merantau kadang tidak mengindahkan romantisme kampong halaman. Walau belum ada kepastian masa depan di rantau, tapi “pergi” dari kampong halaman adalah semacam pertaruhan harga diri. Ada pameo di ranah Minang, lebih baik melarat di rantau daripada melarat di kampong.
Kondisi ini didorong oleh posisi laki-laki dalam adat Minangkabau. Sebab status anak laki-laki di Minang yang pada dasarnya tak punya apa-apa. Dia bisa saja berusaha di kampungnya diatas harta pusaka yang ada, akan tetapi harta itu jatuhnya kepada anak yang perempuan. Anak laki-laki tak akan dapat mewariskan harta itu untuk anaknya sendiri, sebab anaknya itu adalah suku lain atau orang lain. Kalau dia mau membuka usaha ditanah ulayat, yang bebas dilakukan hanyalah menanam tanaman muda, tapi kalau menanam tanaman tua yang berarti memakai secara permanen, akan banyak persoalan.
Seorang lelaki Minang hanya akan memiliki dasar hukum yang kuat bila berusaha diatas tanah yang dia beli , jelas dia berkuasa disitu dan bias diwariskan kepada anaknya. Akan tetapi membeli tanah di Minangkabau tidaklah mudah. Sebab status tanah adalah milik bersama, tanah ulayat, jadi yang menjual tanah itu adalah banyak orang. Sementara kalau membeli tanah dirantau orang, tidak banyak prosedur, asal ada uang.
Kembali ke iklan edisi Ramadhan dari Pertamina tadi. Ada beberapa kejanggalan ditemui dalam iklan tersebut.
- Diceritakan sang ayah meminta anaknya, Hakim, untuk meneruskan PUSAKO warisan Ninik Mamak. Pusako yang diwariskan dari Ninik Mamak adalah Pusako Tinggi, yaitu harta ulayat seperti rumah gadang dan tanah/sawah. Pusako ini tidak diturunkan ke kamanakan laki-laki, tetapi ke kamanakan perempuan. Jadi adalah janggal jika Hakim (kamanakan laki-laki) diminta meneruskan pusako dari ninik mamak. Kaum laki-laki dalam adat Minang tidak mewarisi Pusako tinggi tetapi Sako, yaitu gelar adat yang berfungsi sebagai pengontrol dan penjaga pusako.
- Ayah Hakim dan adiknya tinggal di rumah gadang. Di Ranah Minang, yang berhak mendiami rumah gadang adalah kaum perempuan. Sedangkan suami adalah tamu di rumah gadang tersebut. Posisinya sangat lemah, ibarat abu diatas tunggul, kata kiasan adat. Di iklan tersebut sosok sang ibu sama sekali tidak terlihat, dan dipertegas dengan foto yang dilihat oleh Hakim. Bisa diartikan bahwa sang ibu sudah tidak ada (meninggal?). Jika dalam kondisi sang ibu sudah tidak ada, maka sang ayah tidak lazim tinggal di rumah gadang sang ibu.