Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Penghulu KUA Sudah Tidak Mogok

20 Desember 2013   07:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:43 203 2
Di tempat Saudara, masihkah penghulu HANYA mau menikahkan calon pengantin di KUA dan pada jam kerja saja? Sudah bekerja normal? Alhamdulillah. Masih meneruskan aksi? Sabar saja, orang sabar disayang Tuhan.

Tulisan ini tidak akan membahas kronologis berita dan dampaknya karena sudah banyak yang menulisnya. Tulisan ini mencoba mencari alternatif pemecahan. Akar masalah ada pada status penghulu sebagai PNS. Sebagai penyelenggara negara, PNS dilarang menerima APAPUN terkait tugasnya. Pertanyaan pertama yang muncul, apakah hanya penghulu KUA (yang notabene PNS) yang boleh menikahkah?

Mari sejenak melihat ini, Rukun-Rukun Pernikahan/Perkawinan Sah (Islam)
- Ada calon mempelai pengantin pria dan wanita
- Ada wali pengantin perempuan
- Ada dua orang saksi pria dewasa
- Ada ijab (penyerahan wali pengantin wanita) dan ada qabul (penerimaan dari pengantin pria)

Dari situ, seharusnya yang bisa menikahkan TIDAK HANYA penghulu, tetapi bisa dilakukan oleh Kiai/ulama (yang bukan PNS). Kiai/ulama yang bukan PNS tidak terikat aturan penyelenggara negara, sehingga keluarga mempelai tidak perlu ragu memberi sekedar biaya transportasi (dan lain-lain seperlunya). Hal ini sudah dilakukan di Bali, menurut @mpujayaprema di BALI pendeta yang menikahkan lalu tandatangan formulirnya bersama adat kemudian akta nikah diurus di kantor Catatan Sipil.

Dan dari manakah Penghulu KUA (PNS) mendapat mandat untuk menikahkan? Silahkan baca berikut ini:

-----

Pegawai Pencatat Nikah (PPN) menurut UU No.22 Tahun 1946 jo UU No. 32 Tahun 1954 adalah satu-satunya pejabat yang berwenang mencatat perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum agama Islam dalam wilayahnya. Untuk memenuhi ketentuan itu maka setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan PPN karena PPN mempunyai tugas dan kedudukan yang kuat menurut hukum, ia adalah Pegawai Negeri yang diangkat oleh Menteri Agama pada tiap-tiap KUA Kecamatan. (sumber: http://ayonikah.net)

-----

Dari situ, kita bisa menguliti 2 hal:

(1)     "Pegawai Pencatat Nikah (PPN) adalah satu-satunya pejabat yang berwenang mencatat perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum agama Islam dalam wilayahnya". YA, hanya MENCATAT! Penghulu KUA (PNS) seharusnya hanya mengurusi masalah pencatatan sedangkan untuk menikahkan, bisa dilakukan pendelegasian pada Kiai/ulama. Kemenag bisa memberi lisensi kepada kiai/ulama di tiap desa untuk menikahkan, dengan kondisi satu Kiai/ulama untuk setiap satu desa, maka biaya transport ke rumah calon pengantin bisa murah. jadi orangtua yang akan menikahkan anaknya di hari libur bisa memakai jasa Kiai/ulama lalu mencatatkannya di KUA pada jam kerja.

(2)     "Setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan PPN". Kalimat ini yang membuat ruwet, mengapa harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan PPN? Bandingkan dengan pegawai BPN, ia tidak harus berada di tempat akad jual-beli tanah, pegawai BPN hanya bertugas mencatat (mengeluarkan akta) dengan meneliti keabsahan surat-surat. Lihat juga Akta Kelahiran. Apakah petugas pencatat harus melihat seorang ibu melahirkan bayi? tidak kan? Ia hanya melihat dan meneliti surat pengantar dari RS.

Karena hal di atas  berhubungan dengan UU (dan kalau dilihat itu keluaran lama sekali), yang bisa dilakukan oleh warga yang merasa dirugikan adalah dengan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Berurusan di MK tidak perlu memakai jasa pengacara, sudah ada bukti buruh dan satpam menang di MK tanpa pengacara.

Tulisan di atas hanya sekelumit alternatif, masih banyak cara yang bisa digali. Hanya saja, maukah kemenag mencari solusi tanpa mau menang sendiri?

Terima kasih.

Wasalam.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun