Untuk mengambil alih Gunung Biru dari penguasaan teroris, selama satu hari pengunungan tersebut dikepung oleh ribuan pasukan TNI. Pasukan tersebut gabungan dari personel TNI Angkatan Darat, Laut, dan Udara. Diskenariokan, untuk mengambil alih, pegunungan Biru akan dibombardir terlebih dahulu oleh pasukan Marinir dan Lintas Udara (Linud). Untuk itu, pasukan Marinir telah bergerak dari KRI Hasanudin menuju pantai dengan maksud merebut kembali wilayah yang telah dikuasai oleh teroris. Kemudian meminta bantuan untuk membombardir wilayah Gunung Biru. Dua unit RM-70 Grade Marinir menembakan 20 roket ke arah sasaran guna memberikan keleluasaan bagi pasukan penerjun dari Linud 502 Kostrad melakukan operasi penyerbuan. Tak hanya itu, KRI Hasanudin juga melancarkan serangan dengan meluncurkan 12 roket ke Teluk Poso yang telah dikuasai oleh negara Tero.
Berselang beberapa menit, empat unit pesawat tempur F-16 melakukan serangan udara dengan meluncurkan granat ke sasaran yang telah dikuasai oleh kelompok teroris. Setelah itu, sepuluh unit pesawat angkut Hercules C-130 menerjunkan 500 penerjun untuk melakukan serangan darat ke sasaran yang sudah mulai dikuasai oleh TNI. Tak berlangsung lama, dua unit Heli Serang MI-35 dan Heli Bell 412 diterjunkan untuk membantu dalam merebut kembali wilayah yang telah dikuasai oleh negara Tero. Akhirnya pasukan PPRC TNI berhasil menguasai kembali Gunung Biru. Pendek kata operasi berjalan cepat, tepat dan akurat.
Menurut Panglima TNI, Jenderal TNI Moeldoko latihan gabungan tersebut upaya mengantisipasi munculnya radikalisme di Indonesia. “Latihan PPRC TNI ini untuk mengantisipasi munculnya kelompok radikalisme di Indonesia. Saya mensinyalir di Poso, seolah-olah kelompok radikal itu nyaman di sana. Saya khawatir orang-orang yang pergi ke Irak dan Suriah, akan pulang dan bermarkas di Poso”, ujarnya. Mungkin saja justru pelaku teror yang sebenarnya ngakak tertawa terbahak melihat latihan gabungan TNI tersebut. Mengapa? Karena skenario operasi seperti itu jelas mengada-ada, tidak sesuai fakta bahkan bisa jatuh pada pembodohan. Bagaimana mungkin terorisme yang beraksi secara ireguler dan non konvensional dihadapi oleh tentara reguler yang menggunakan taktik konvensional seperti era perang dunia tahun 1940-an?
Lalu, bila ada negara (agresor) yang bisa menduduki Poso, pastinya mereka lebih dulu telah berhasil menghancurkan kekuatan tempur laut dan udara TNI. Sehingga TNI tidak akan pernah bisa bertempur dengan menggunakan operasi Linud dan operasi Amfibi serta pesawat fighter untuk bersama-sama melakukan operasi tempur gabungan. Dari sini saja tampak ada kerancuan yang nyata, skenario ngawur dan membodohi rakyat. Teroris itu tukang teror, tentu pola kerjanya tertutup. Ketertutupan penuh rahasia itu bagian dari teror yang ingin diciptakan. Kendati kadang gunakan kekuatan senjata, model berperang teroris selalu asimetris. Dari fakta ini saja, skenario latihan gabungan tersebut disusun serampangan. Terkesan menjalankan proyek, menghamburkan uang rakyat.
Latihan gabungan TNI terkesan ingin menampilkan semua angkatan secara serampangan akibatnya justru merusak akal sehat rakyat. Dan itulah yang terjadi jika setiap angkatan ingin diikutkan dalam satu skenario dengan satu sasaran. Jadinya ya norak, lebay dan ter la luuuu.... Latihan gabungan TNI ini lebih mirip tontonan bukan tuntunan bagi sebuah operasi militer sesungguhnya dan lebih mirip ilusi daripada simulasi perang yang akan terjadi sesungguhnya.
Mengapa?
Karena sampai kapanpun TNI AD, AL dan AU tidak akan pernah bertempur bersama-sama dengan kekuatan yang setara. Selain itu tidak akan pernah ada kelompok teroris yang diserang dengan menggunakan operasi Amfibi dan operadi Linud besar-besaran dan selesai hanya dalam hitungan jam. Sebaiknya Panglima TNI yang sebentar lagi pensiun jangan menghamburkan uang rakyat untuk pencitraan pribadi dengan menyajikan tontonan murahan tapi menggunakan uang rakyat hingga milyaran. Tampaknya, menjelang pensiun Panglima TNI semakin genit saja dengan menggelar latihan PPRC sebagai 'farewell party'. Hadeuuh...!!!