[caption id="attachment_133408" align="aligncenter" width="500" caption="Devoted - Photo by: Kristupa Saragih"][/caption] Matahari beringsut ke cakrawala, langit biru tua. Sepelemparan batu dari Jembatan Ampera, yang kondang itu, lampion-lampion merah dinyalakan. Halaman Kelenteng Dewi Kwan Im, 10 Ulu, Palembang padat pengunjung. [caption id="attachment_133406" align="alignright" width="190" caption="Vertical Message - Photo by: Kristupa Saragih"][/caption] Bersama beberapa rekan fotografer Palembang, saya menyaksikan umat tiga agama, Tri Dharma: Buddha, Tao dan Kong Hu Cu beribadah, Sabtu (3/4). Kelenteng yang dinamai Chandra Nadi ini sebenarnya bernama asli, dalam bahasa Mandarin, Soei Goeat Kiong. Dan umat Tri Dharma hari itu merayakan hari ulang tahun (HUT) Dewi Kwan Im. Kelenteng berusia lebih dari 200 tahun ini saksi sejarah Palembang. Berdiri tahun 1733, di tepi Sungai Musi, banyak peristiwa rasialis yang pernah menerpa. Tahun 1966, sebagian lahan kelenteng direbut paksa penduduk dan sekarang jadi Pasar 10 Ulu. Tahun 1998, tempat ibadah ini pernah hampir dibakar massa. Entah kenapa agama dikaitkan dengan ras, dan ras tertentu selalu digeneralisasi dengan agama tertentu. Padahal masyarakat kita tergolong majemuk. Persis di sebelah kelenteng ini berdiri mesjid. Tempat parkir kelenteng luas dan gratis dijaga penduduk yang bukan beragama Tri Dharma. Setelah matahari bersembunyi di ufuk barat, musik mulai mengalun, menghibur umat yang usai sembahyang. Trompet dan simbal ala tanjidor bersahut-sahutan. Tak terbayangkan jika musik yang mengalun hanya terompet saja atau simbal melulu, alangkah monotonnya. Justru di kemajemukan kita menemukan peran masing-masing. Silih berganti kita bertugas dan bersama-sama memainkan lantunan musik yang harmonis nan sedap didengar. [caption id="attachment_133410" align="aligncenter" width="500" caption="Dynamic Devotion - Photo by: Kristupa Saragih"][/caption]
KEMBALI KE ARTIKEL