Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Ahok, Gue Suka Gaya Lo! Tapi...

30 Juli 2013   09:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:50 621 1
“If the only tool you have is a hammer, you tend to see every problem as a nail.”

Seorang psikolog asal Amerika, Abraham H. Maslow, pernah melontarkan kalimat di atas yang muncul di benakku setiap kali membaca pernyataan keras Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama, Ahok. Rasanya setiap kali ada hal yang tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah Jakarta, beliau akan bereaksi keras.

Beliau seakan-akan, seperti yang dibilang Maslow, hanya memegang palu dan siap menghantam setiap paku yang nongol. "Paku - paku" itu adalah warga yang menempati lahan secara ilegal dan tidak mau pindah; PKL yang masih menempati pinggiran dan bahkan tengah jalan meski sudah disediakan tempat; warga-warga yang bersikeras dengan keinginannya, ngotot dan cenderung susah di atur.

Setiap orang selalu punya alasan di balik setiap sikapnya. Demikian pula dengan Ahok. Aku membayangkan betapa beliau gemas dan geregetan menyikapi situasi dan kondisi Jakarta, dan tidak tertutup kemungkinan juga loh, jika beliau sebenarnya juga gemes banget pasangan beliau yang paling serasi: Jokowi.

Bayangkan jika kita adalah orang yang blak-blakan, dengan semangat yang menggebu-gebu dan hasrat yang menggelora, kemudian kita mendapat pasangan yang cenderung bertolak-belakang dengan kita; cenderung kalem dan susah ditebak isi pikirannya. Satu sisi kita akan gemes, sisi lain, semoga kita menyadari, jika kita mendapat pasangan dengan karakter yang bertolak belakang, justru itulah pasangan kita yang paling serasi (jadi teringat istri yang bawel).

Balik lagi ke Ahok. Beliau dengan gaya beliau sebenarnya sangat menarik perhatianku dan sekaligus menghiburku. Menarik perhatianku karena memang dengan jauh berbeda dengan gaya pemimpin Jakarta sebelumnya dan bahkan pemimpin Indonesia. Sekaligus menghiburku karena seringkali ucapan beliau memang harus diakui terkesan "asal ngomong". Contoh; Beliau sempat menawarkan untuk memberikan kuliah umum kepada Komnas HAM, tentang... HAM, ketika masa penertiban waduk Pluit, atau ucapan; "Apa itu HAM? Hamburger?" yang belum lama ini dilontarkan terkait rencana penertiban PKL Tanah Abang.

Berulangkali aku ketawa ngakak kalau baca ucapan-ucapan Ahok yang terkesan asal itu. Padahal, bisa jadi beliau tidak sedang bercanda, dan sudah pasti,  beberapa pihak tidak merasa nyaman dengan ucapan-ucapan Ahok terlepas dari adanya kebenaran-kebenaran di dalam ucapan-ucapan tersebut.

Hal yang terlintas di benakku adalah, sejauh mana efektivitas gaya komunikasi Ahok yang meledak-ledak itu? Bagaimanapun juga beliau juga pasti sudah sangat menyadari jika masalah Jakarta sudah sangat banyak dan bertumpuk. Aku tidak tahu sebanyak apa berkurangnya waktu, tenaga dan pikiran Ahok ketika sekelompok orang yang tersinggung dengan ucapan Ahok kemudian melakukan demo, mengajukan gugatan, yang bayanganku sedikit banyak akan mengalihkan perhatian Ahok dari tugas dan tanggung jawabnya utamanya. Semoga saja, hanya sekejap saja waktu dan perhatian Ahok yang tersita untuk menyikapi dampak dari gaya kerasnya.

Hal lain adalah sebagai pemimpin Jakarta, Ahok juga harus mempertimbangkan cara yang paling efektif untuk mendorong warga Jakarta untuk bergerak ke tujuan yang sama dengan irama yang selaras.

Ketika "palu" yang digunakan sebagai alat untuk mendorong, kemungkinan yang paling mungkin terjadi adalah hantaman palu itu akan berbalik, atau orang akan mengikuti tapi dengan terpaksa. Ketika orang mengikuti dengan terpaksa, dia tidak akan pernah sepenuh hati dan maksimal dalam setiap apapun yang dia lakukan.

Penolakan - penolakan sebagian warga atas kebijakan-kebijakan pemimpin berangkat dari ketidaktahuan dan kekuatiran. Tantangan utama  pemimpin adalah mengatasi ketidaktahuan dan kekuatiran itu membuat warga yang semula menolak menjadi menerima karena mereka kemudian menyadari bahwa tidak ada yang perlu dikuatirkan. Sikap keras rasanya justru akan semakin meningkatkan kekuatiran-kekuatiran itu sekaligus mengurangi kepercayaan warga kepada pemimpinnya.

Apa yang terjadi jika ada pengikut yang kehilangan kepercayaan kepada pemimpinnya? Dia akan menjadi radikal bebas dan atau duri dalam daging yang pada akhirnya memberikan pekerjaan tambahan sekaligus menyita lebih banyak waktu, tenaga, pikiran dan dana.

Pendekatan Ahok ada baiknya mengacu pada slogan Pegadaian: "Menyelesaikan Masalah Tanpa Masalah", meski tentu saja hampir mustahil menyelesaikan setiap masalah tanpa masalah baru. Slogan yang paling pas dan realistis adalah "Menyelesaikan Masalah dengan Dampak Negatif Minimum".

Pendekatan persuasif rasanya adalah yang paling pas. Ingat saja bahwa mereka menolak karena tidak tahu dan kuatir. Jadi, hasil akhir yang diharapkan haruslah "mereka ikut karena mereka sudah tahu, tidak lagi takut dan oleh karenanya mau" dan bukannya "ikut karena terpaksa." Apa yang terjadi jika mereka masih saja ngotot ketika sebenarnya tidak ada yang perlu dikuatirkan lagi?  Ya sudah, berarti pendekatan hukum yang harus diterapkan. Beri sanksi hukum bagi mereka yang bersikeras mementingkan dirinya/kelompoknya sendiri dengan mengabaikan peraturan yang ada. Yang diperlukan hanyalah ketegasan; "Kami akan fasilitasi jika kamu mau ikut aturan, tapi kalau tidak mau ya kami pasti akan beri sanksi."

Pada akhirnya, tegas tidak sama dengan  ucapan yang keras. Dengan demikian, Ahok tidak perlu lagi capek-capek meladeni mereka yang tersinggung atau tidak terima bukan karena kebijakan melainkan semata-mata karena kata-kata dan gaya bicara yang menghantam bagaikan palu.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun