Tak dapat dipungkiri, salah satu pertimbangan seseorang dalam mengambil keputusan adalah nilai-nilai agama yang dianutnya. Kaidah-kaidah agama memberikan seseorang prinsip untuk memilih mana yang dianggap benar dan mana yang dianggap salah. Ajaran agama berbicara mengenai Tuhan, sehingga itu sering dianggap lebih superior dibandingkan dengan pertimbangan-pertimbangan sisi lain yang non-religius. Isu agama adalah isu yang sangat sensitif. Tak jarang, orang bisa murka jika mendengar agamanya dipojokkan. Selain itu, agama adalah salah satu identitas. Orang yang memiliki kesamaan identitas (baca: agama) akan merasa berada pada kelompok yang sama. Oleh karena itu, keterlibatan isu agama akan memberikan dampak yang terasa dalam persepsi masyarakat terhadap sesuatu. Orang bisa berkata memilih pasangan “ini” atau pasangan “itu”, karena mengagumi figurnya atau setuju dengan kampanyenya. Akan tetapi, dalam hati orang siapa tahu. Mungkin dia memilih figur tersebut karena alasan SARA. Baru saja saya baca tulisan di media online yang memberitakan bahwa sebuah forum keagamaan mengeluarkan maklumat haram untuk memilih pasangan nomor 2. Salah satu alasan penerbitan fatwa tersebut adalah Jokowi-JK “memperjuangkan pencabutan ketetapan MPRS No. 25 Tahun 1966 tentang Larangan Paham Komunisme”. Apakah hal itu dapat terjadi? Dapatkah seorang presiden mencabut ketetapan MPRS? Ternyata tidak bisa. Dalam salah satu kesempatan, JK menjelaskan bahwa presiden tidak dapat mencabut ketetapan MPR; MPR-lah yang berwenang. Lha, terus bagaimana bisa sampai ada tudingan bahwa Pak Jokowi-JK akan mencabut tap MPR itu? Pernyataan pencabutan itu ternyata diucapkan oleh salah satu anggota tim pemenangan Jokowi-JK, yang di kemudian kesempatan, diklarifikasi bahwa yang bersangkutan tidak pernah mengeluarkan pernyataan demikian. Bukan kali ini isu SARA dihembuskan dalam kampanye. Tidak tahu siapa yang melemparkan isu SARA ini, namun jelas terlihat juga pada pemilihan Gubernur Jakarta yang lalu. Pasangan Pak Jokowi-Basuki disudutkan, karena Pak Basuki tidak memeluk keyakinan mayoritas, ditambah lagi, berasal dari ras minoritas. Namun, akhirnya pasangan ini dapat menang. Belum cukup bukti untuk menyimpulkan bahwa isu SARA terbukti tidak efektif, karena jikapun saat itu Pak Jokowi-Basuki kalah, belum tentu apakah 100% akibat dari isu SARA. Selain isu agama, isu ras pun bergulir. Ada sekelompok orang yang enggan memilih pasangan nomor dua, karena dengan itu, berarti Pak Basuki mungkin akan menjadi gubernur. Kelompok ini menolak untuk memiliki pemimpin yang berasal dari ras minoritas (dan mungkin ditambah lagi, pemimpin yang berasal dari agama minoritas). Data Lingkaran Survei Indonesia (2010) menemukan bahwa 38,8% masyarakat menolak jika kepala pemerintahan dipegang oleh orang yang beragama berbeda. Maaf keluar topik, menurut saya, salah satu pemenang dari Pemilu ini sudah nampak dari sekarang: Pak Basuki. Mengapa saya katakan demikian? Karena beliau sudah dijanjikan untuk jabatan Menteri Dalam Negeri jika nomor 1 menang, dan pastinya berpeluang menjadi Gubernur Jakarta jika nomor 2 menang. Isu SARA rasanya akan selalu ada, dan menjadi hal yang sangat menggoda untuk disinggung, karena negeri ini terdiri dari banyak suku, agama, dan ras. Kalau hanya ada satu ras dan satu agama di suatu negeri, pasti tidak mungkin isu SARA diselentingkan. Idealnya, pilihan kita seharusnya tidak berdasarkan atas pertimbangan SARA, namun terhadap kemampuan kandidat. Rasanya hingga saat ini, cara memilih yang paling jujur adalah seperti audisi The Voice. Dalam audisi ajang menyanyi ini, keempat juri akan duduk membelakangi kontestan yang sedang menyanyi. Jika merasa tertarik dengan suara kontestan, juri akan menekan tombol. Baru saat itulah juri melihat seperti apa rupa sang kontestan. Tapi, ya mana mungkin kita memilih presiden dengan cara seperti itu. Terkadang pertimbangan kita, entah disadari atau tidak, mungkin sudah dicemari isu SARA, sehingga penilaian kita akan cenderung dangka dan tidak objektif. Dapat menjadi sebegitu dangkalnya, hingga pemikiran kita bisa kalah dengan orang di abad ke-XIV yang sudah mengenal apa itu “Bhinneka Tunggal Ika”.
KEMBALI KE ARTIKEL