Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Budaya Meneliti untuk Guru

7 November 2012   07:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:49 221 0
Banyak guru yang kini mengikuti program S-1 dalam jabatan di FKIP Universitas Lampung (Unila) kewalahan ketika diminta membuat skripsi sebagai salah satu prasyarat kelulusan. Tidak sedikit yang kemudian meminta bantuan mahasiswa tingkat akhir di kelas reguler yang kebetulan juga sedang mengerjakan skripsi atau menunggu wisuda.
TENTUNYA, setelah mereka meminta bantuan tersebut, juga akan memberikan sejumlah uang sebagai ucapan terima kasih. Meski, tidak sedikit juga yang berusaha mengerjakan sendiri dan tidak terima beres dari awal pengerjaan sampai selesai. Kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 Tanggal 14 Mei 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru yang menuntut guru SD, SMP, dan SMA lulus S-1 tentunya harus disambut dengan baik.

Dengan meningkatnya kompetensi guru melalui ditingkatkan standar minimal pendidikan terakhir guru, tentunya kualitas pendidikan juga akan menjadi lebih baik. Dalam hal ini pemerintah kemudian bekerja sama dengan universitas lokal yang ditunjuk menyelenggarakan program S1 guru dalam jabatan.

Para guru diberikan beasiswa penuh untuk menyelesaikan studi S-1-nya dengan mempertimbangkan jumlah SKS yang pernah ditempuh sebelumnya saat studi D-II atau D-III dan lama kerja. Artinya, pemerintah sudah benar-benar serius mengupayakan peningkatan kualitas pendidikan dengan cara meningkatkan kompetensi lulusan guru.

Penulisan skripsi sebagai salah satu mata kuliah yang dibebankan kepada para guru tersebut kemudian menjadi salah satu perbincangan yang menarik. Para guru yang mengikuti program S-1 dalam jabatan diharuskan melakukan penelitian tindakan kelas (PTK) dan menuliskan laporan penelitian itu dalam bentuk skripsi. Tujuannya tentu baik, pelaksanaan PTK oleh guru akan memaksa mengembangkan kompetensi berpikir dan menulis ilmiah. Di samping itu, juga hasilnya diharapkan bisa memberikan kontribusi untuk pengetahuan dan perbaikan proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru tersebut (Wardhani dan Wihardit 2008: 19 dalam Penelitian Tindakan Kelas).

Paradigma yang terjadi selama ini, PTK hanya dibutuhkan oleh guru saat kenaikan pangkat dari golongan IV/A ke IV/B. Isu yang berembus pun tidak kalah mengejutkan. Ada oknum tertentu yang coba memanfaatkan kesempatan ini. Oknum tersebut menawarkan jasa mengerjakan PTK yang dibutuhkan untuk kenaikan pangkat dengan imbalan sejumlah uang.     Segala urusan tentang kenaikan pangkat pun kemudian menjadi mudah dan cepat selesai. Hal ini tentunya tidak baik dan berdampak buruk pada pengembangan kompetensi berpikir dan menulis ilmiah guru. Maka tidak mengherankan apabila kemudian terjadi guru-guru yang sedang studi S-1 dalam jabatan meminta bantuan ke mahasiswa reguler.

Sebenarnya, hal ini juga terlihat setali tiga uang dengan mahasiswa reguler secara umum di FKIP Unila yang kadang beranggapan bahwa skripsi hanya sebagai syarat wisuda. Dengan anggapan seperti itu, banyak yang kemudian mengambil ide skripsi yang sudah pernah ditulis dan tidak mencoba mencari sesuatu yang baru. Bahkan, tidak sedikit yang mempertanyakan relevansi antara kegunaan penulisan skripsi dengan dunia kerja yang akan mereka dapatkan nantinya.

Bahkan, ada juga mahasiswa yang mempertanyakan apakah mungkin wisuda sarjana tanpa mengerjakan skripsi. Tentunya, ini kemudian menjadi rujukan juga mengapa permasalahan di atas bisa terjadi.

Di Amerika Serikat, guru-guru mulai pre-school sampai high school berlomba-lomba untuk menulis dalam jurnal ilmiah dan buku. Mereka melakukan penelitian, membuat catatan dari pengalaman mengajar, menuliskan, dan memublikasikan. Misalnya di negara bagian Illinois, para guru menuliskan hasil penelitian dan berbagi pengalaman dalam jurnal ilmiah untuk guru pre-school dan primary school Illinois Reading Council Journal yang dikoordinasi oleh para pengajar di College of Education, The University of Illinois at Chicago. Sudah barang tentu hal ini menarik perhatian. Sebab, selain bermanfaat bagi guru yang menulis, juga menjadi hal bermanfaat bagi guru lain yang membaca tulisan tersebut.

Melakukan penelitian dengan tujuan perbaikan pembelajaran bagi kebanyakan guru di Amerika Serikat adalah salah satu bentuk kepedulian mereka terhadap kualitas pembelajaran yang dikelolanya. Tentunya, kita semua juga sepakat dengan cara pandang ini. Penelitian sudah seharusnya dipandang sebagai sebuah kebutuhan baik untuk peningkatan kompetensi diri sebagai seorang guru dan juga peningkatan kualitas kegiatan belajar mengajar di dalam kelas.

Penelitian idealnya juga digunakan untuk mencari jawaban dan solusi dari permasalahan yang muncul, misalkan mengapa kecakapan berbicara dalam Bahasa Inggris siswa kurang. Guru memanfaatkan penelitian untuk mencari tahu strategi apa yang tepat sehingga siswa mampu berbicara dalam Bahasa Inggris dengan lancar. Hasil penelitian kemudian bisa diterapkan di dalam kelas dan dipublikasikan dalam jurnal ilmiah kependidikan sehingga menjadi rujukan bagi guru yang lain.

Peran aktif Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Dinas Pendidikan, dan universitas dalam hal ini tentunya sangat dibutuhkan. MGMP sebagai ajang berkumpulnya guru-guru mata pelajaran sudah saatnya juga diarahkan untuk tidak hanya sebagai tempat diskusi tentang materi ujian semester atau copy paste perangkat pembelajaran, tetapi juga sebagai forum ilmiah. Forum MGMP bekerja sama dengan Disdik idealnya mampu dituntut memfasilitasi guru untuk mengembangkan potensinya. Misalkan dengan mengadakan pelatihan peningkatan proses pembelajaran dan PTK, seminar hasil PTK guru-guru yang disampaikan kepada guru-guru yang lain dan membuat jurnal ilmiah kependidikan yang ditulis oleh guru dan untuk guru. Dengan adanya forum ilmiah seperti ini, maka guru pun akan terpacu untuk mengadakan penelitian dan menulis. Pemerintah juga sudah selayaknya mengantisipasi praktik percaloan PTK untuk naik pangkat dari IV/A ke IV/B tidak terjadi lagi sehingga guru juga akan berusaha untuk bisa melakukan penelitian sendiri.

Selain itu, peran universitas dalam hal ini Unila juga tidak kalah penting. Budaya ilmiah harus lebih ditekankan pada mahasiswa di universitas. Dibandingkan Universitas Indonesia, Unila sudah ketinggalan jauh dalam masalah akses untuk jurnal penelitian. UI sudah bekerja sama dengan banyak portal jurnal online dan memungkinkan mahasiswanya mengakses jurnal-jurnal tersebut dengan mudah.

Konsekuensinya, mahasiswa selalu mengejar hasil-hasil penelitian terbaru dan melakukan penelitian dengan banyak referensi dari penelitian-penelitian tersebut. Yang terjadi selama ini di FKIP Unila khususnya, banyak mahasiswa yang hanya menggunakan referensi penelitian-penelitian sebelumnya. Sehingga yang terjadi adalah reduplikasi hasil penelitian sebelumnya, yang sebenarnya jadi terkesan jalan di tempat.

Pembelajaran di universitas idealnya juga mengarahkan mahasiswa agar mampu menulis kajian pada bidangnya secara ilmiah dan menerbitkannya dalam jurnal ilmiah. Di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, hal ini sudah diterapkan oleh banyak pengajar. Sejak awal di bangku kuliah, mahasiswa jadi terbiasa menulis ilmiah dan ketika melakukan penelitian tugas akhir perkuliahan tidak muncul lagi pertanyaan mendasar tentang metode penelitian. Di Unila, beberapa jurnal ilmiah baik di tingkat jurusan atau fakultas sebenarnya juga bisa digunakan untuk memfasilitasi tulisan mahasiswa dan guru secara umum.     Selama ini jurnal lebih banyak di isi dengan tulisan dosen-dosen dan waktu penerbitannya pun banyak yang tidak tahu. Mahasiswa bahkan tahu kalau jurusannya memiliki jurnal ketika akan seminar proposal skripsi, karena memiliki jurnal adalah prasyarat untuk bisa seminar di jurusan tertentu. Apabila paradigma ini diubah, mahasiswa dan guru dibimbing untuk mengirimkan tulisannya, maka sebenarnya dosen, guru, dan mahasiswa sama-sama akan terpacu untuk rajin meneliti, menulis dan memublikasikannya.

Kemudian hal terakhir yang tidak kalah penting dari peran universitas adalah memfasilitasi forum diskusi ilmiah yang dilakukan oleh dosen, guru besar, guru, dan mahasiswa. Di pulau Jawa, banyak seminar yang mengundang guru, tidak hanya dosen, untuk mempresentasikan hasil temuannya.

Di Lampung, seminar seperti ini masih sangat terbatas dan bahkan tidak ada. Dengan adanya acara serupa di tingkat lokal yang diadakan tahunan misalnya, banyak guru dan mahasiswa yang kemudian sebenarnya akan bersiap-siap mempersiapkan makalahnya untuk dipresentasikan dalam seminar tersebut. Tentunya, ini juga akan memberikan pengaruh yang baik untuk pengembangan keilmuan kependidikan secara umum.

Dalam bukunya Pedagogy of freedom: Ethics, Democracy and Civic Courage Freire mengatakan:

’’…there is no such thing as teaching without research and research without teaching. One inhabits the body of the other. As I teach, I continue to search and re-search. I teach because I search, because I question, and because I submit myself to questioning. I research because I notice things, take cognizance of them. And in so doing, I intervene. And intervening, I educate and educate myself. I do research so as to know what I do not yet know and to communicate and proclaim what I discover. (1998: 35)’’.

Jelaslah menarik sebenarnya di sini, penelitian yang dilakukan oleh guru mempunyai manfaat yang sangat besar bagi guru, siswa, institusi pendidikan dan kualitas pendidikan secara umum. Ketika mengajar, guru dituntut untuk terus memperbaiki pembelajaran, berkembang secara profesional dan berperan aktif mengembangkan pengetahuan dan keterampilan sendiri. Dengan perbaikan yang dilakukan oleh guru melalui penelitian yang dilakukannya, kualitas pengajaran juga akan membaik.     Harapannya, tentu saja pendidikan di Indonesia akan bisa menghasilkan sumber daya manusia yang semakin berkualitas dan memiliki daya saing global. Semoga paradigma tentang penelitian bagi guru-guru kita akan berubah dan harapan mulia tersebut bisa segera tercapai.(*)

http://www.radarlampung.co.id/read/opini/42240-budaya-meneliti-untuk-guru

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun