“Indonesia itu kaya akan sejarah dan budaya,” komentar Devon Jerundson, pejalan asal Kanada yang saya jumpai di Museum Sonobudoyo. Tapi sayangnya meskipun dianugerahi kekayaan alam yang memesona serta sejarah dan budaya yang menarik namun tetap saja kita seperti tak bisa memanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Dari sektor pariwisata kita masih megap-megap untuk mendatangkan pejalan asing sejumlah 10 juta.
Coba bandingkan dengan negara tetangga Singapura. Bisa dibilang negara yang merdeka pada 1965 itu tidak diberikan kepercayaan oleh Tuhan untuk memiliki kekayaan alam nan melimpah ruah. Namun, mari tengok capaian di bidang pariwisatanya. Pemerintah Singapura dalam hal ini ialah pedagang yang cerdas. Dia tahu cara melihat peluang serta mengerti nilai dari sebuah benda ketika dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata.
Karena kekayaan alam, sejarah, dan budaya kita yang seabrek-abrek, maka kali ini saya akan mengangkat satu hal saja yaitu museum. Isu tersebut akan jadi benang merah harapan saya kepada Kementerian Pariwisata dalam Kabinet Kerja pemerintahan yang baru ini.
Mengapa museum menjadi penting –dalam pandangan saya- untuk mendongkrak sektor pariwisata?
Museum menurut saya bisa menjadi aset pariwisata yang sangat potensial. Di seluruh Indonesia saja pada 2010 terdapat 269 museum. Pastinya jumlah itu sekarang bertambah. Suatu sumberdaya yang tak boleh dilewatkan untuk "menahan" pejalan tinggal lebih lama di sebuah destinasi.
Ketika saya berpikir seperti ini, tentunya tak sedikit yang akan memprotes pendapat saya itu. Terutama teman-teman yang bergerak di bidang kebudayaan.
Apa sebabnya? Karena museum dan pariwisata merupakan dua sektor yang berbeda tujuan. Museum lebih menekankan pada konservasi dan pelestarian karena menyadari bahwa koleksi yang dimiliki merupakan sumber daya yang tak terbaharui. Sementara sektor pariwisata menekankan pada nilai ekonomi dari banyaknya kunjungan pejalan. Yang terakhir ini setali tiga uang dengan eksploitasi.
Namun, dengan sekian banyak tumpang tindih kepentingan di antara dua sektor mari kita melihat celah yang bisa dimanfaatkan bersama-sama. Museum sebagai institusi sosial budaya bisa menjadi instrumen politik yang efektif karena museum dapat digunakan untuk mengontrol ide-ide dan kepercayaan. Museum menjadi alat untuk mengekspresikan dan mengenali diri. Akhirnya museum digunakan untuk menciptakan dan merepresentasikan identitas. Seperti misalnya yang dijumpai di National Museum of Singapore, Singapore Art Museum, dan Asian Civilization Museum di Singapura.
Sebagian besar museum menjadi pusat informasi dan pengetahuan. Terutama bagi orang-orang yang menaruh minat pada bidang spesifik seperti budaya, militer, biologi, atau geologi. Namun bagi masyarakat awam museum menjadi tempat edukasi dan rekreasi.
Menurut Stephen E Weil dalam Making Museum Matter dengan memberikan konteks komersial pada museum, dimungkinan bahwa museum akan memproduksi dan menawarkan pengunjungnya hal-hal yang berbau rekreasi, pengalaman belajar, sosial, pengalaman “religi”, pengalaman yang tak terlupakan.
Museum dalam bingkai pariwisata
Sektor pariwisata kian hari semakin merasuk ke dalam tiap sendi kehidupan. Bisa dikatakan bahwa dunia pariwisata memberikan dampak pada ekonomi, sosial, lingkungan, dan politik hampir di seluruh dunia. Salah satu bagian yang mengalami pertumbuhan paling cepat ialah cultural tourism atau wisata budaya.
Dalam Cultural Tourism, Bob McKercher & Hilary du Cros menyatakan bahwa wisata budaya menjadi salah satu produk dalam payung besar pariwisata yang muncul di akhir 1970an. Ketika itu para penyedia jasa wisata dan peneliti pariwisata mulai menyadari bahwa beberapa orang pejalan melakukan perjalanan wisata khusus untuk tujuan memahami lebih dalam tentang budaya atau tinggalan sejarah di tempat yang dikunjungi.
Menurut Bob McKercher dan Hilary du Cros antara 35 % - 70 % pejalan internasional menjatuhkan pilihannya untuk wisata budaya. Aktivitas yang dilakukan meliputi wisata sejarah, wisata etnik, wisata seni, wisata museum, wisata arsitektur, dan wisata kuliner. Wisata budaya idealnya dicocokkan dalam pengembangan sebagai generator permintaan sektor pariwisata.
Sebagai salah satu elemen dalam wisata budaya museum harus menawarkan produk mereka di mana aset cultural heritage ditransformasikan ke dalam produk wisata budaya. Begitu menurut Bob McKercher dan Hilary du Cros. Pemberian nilai bisnis pada museum ini juga dilontarkan oleh GJ Ashworth dalam salah satu artikel di The Construction of Heritage. Sementara Eilean Hooper-Greenhill dalam Museums and Their Visitors menyepakati ide tersebut. Museum menawarkan produk berupa pameran, edukasi, program-program untuk publik/masyarakat, dan pengalaman berbeda ketika menikmati museum.
Dalam ringkasan master disertasinya, Museums and tourism: Stakeholders, resource and sustainable development, Guðbrandur Benediktsson menilai bahwa museum harus menjadi tempat yang mampu menawarkan pengalaman, ide-ide, dan kepuasan yang tidak akan dijumpai di tempat lain. Jika dilihat dari sudut pandang pejalan, museum harus mampu menjadi titik awal untuk mengeksplorasi sebuah kota atau tempat. Tampilan koleksi yang menarik bisa menjadi cinta pada pandangan pertama terhadap destinasi yang bersangkutan. Hal itu menjadikan pejalan memiliki keingintahuan lebih jauh tentang budaya dan masyarakatnya.
Di Inggris museum menjadi salah satu kunci kesuksesan dunia pariwisata. Museum-museum di sana mampu menarik pejalan lokal maupun asing untuk berkunjung. Museum mampu menjadi tempat di mana pejalan dimanjakan dengan cerita-cerita lokal dan global.
Kerjasama Lintas Sektor
Berbicara mengenai museum tak bisa dilepaskan dari kementerian yang menaunginya, yaitu kementerian pendidikan dan kebudayaan (saya ikut istilah Menteri Anies saja). Dalam hal ini, ketika museum dikawinkan dengan pariwisata tentunya harus ada kerja bersama di antara dua instansi. Tidak bisa jalan sendiri-sendiri. Citra “penjual” –sekedar menjual- yang lekat dengan kementerian pariwisata harus digeser menjadi “penjual cerdas”.
Sebagai pihak yang akan memanfaatkan aset, maka kementerian pariwisata juga harus pro aktif untuk menjadi mitra dalam hal pengemasan dan pemasaran. Sebagai penjual mereka harus mengerti produk yang dijual. Jadi, ketika ada pejalan yang datang untuk mencari informasi ke Pusat Informasi Turis, petugas mampu “menjual” museum-museum sebagai titik awal yang harus didatangi sebelum menjelajah kota. Otomatis waktu tinggal akan semakin lama jika mereka tertarik dengan apa yang ditawarkan oleh museum. Museum harus dibuat sebagai “jendela” untuk memahami budaya, sosial, dan masyarakat daerah destinasi.
Barangkali pula Kementerian Pariwisata memiliki inisiatif untuk melakukan survei mengenai hal apa saja yang dilakukan oleh pejalan selama berada di sebuah destinasi. Hal tersebut misalnya meliputi usia responden, jenis kelamin, latar belakang, tempat-tempat yang dikunjungi, tipe perjalanan yang dilakukan (pejalan beranggaran ketat, pejalan yang mengambil paket wisata). Mungkin dari sana akan terlihat seberapa besar tantangan yang dihadapi oleh museum untuk menjadi magnet pejalan seperti yang terjadi di Inggris.
Kembali lagi ke pengalaman saya bertemu pejalan Kanada di Museum Sonobudoyo. Setelah memuji kekayaan sejarah dan budaya Indonesia yang melimpah ruah, beliau menyampaikan kritik membangun untuk museum –khususnya Sonobudoyo-. Menurutnya, museum seolah tak bisa menyuarakan atau manarasikan kekayaaan Indonesia. Saya sangat setuju.
Sebagian besar museum di Indonesia tidak dilengkapi dengan alur cerita sehingga menyesatkan pengunjung. Selain itu banyak koleksi yang sepertinya sengaja “dibungkam” sehingga cerita menarik di baliknya tak bisa diketahui pengunjung. Jika ada informasi yang disertakan bersama koleksi biasanya sangat terbatas, sedikit sekali. Belum lagi menyangkut pemandu museum. Biasanya kita tidak diberi tahu apakah pemanduan bersifat gratis atau berbayar. Hal tersebut mengkibatkan pejalan beranggaran ketat memilih untuk mengeksplorasi museum secara mandiri. Padahal bisa jadi museum tersebut meyediakan pemandu secara gratis.
Rasanya bahagia jika melihat kondisi museum di luar negeri –terutama di negara maju-. Mereka memiliki museum dengan kualitas baik. Mereka melengkapi diri dengan amunisi lengkap: kesiapan akan produk, branding, dan strategi pemasaran.
Padahal jika berbicara mengenai koleksi, museum di Indonesia itu koleksinya wah banget, seabrek. Tak bisa dibandingkan dengan koleksi yang dimiliki oleh museum-museum di Singapura. Namun mengapa mereka selalu bisa “bermain-main” dengan koleksi museumnya layaknya orang yang tidak pernah kehabisan ide. Tidak pernah buntu dan selalu produktif. Selalu ada tema menarik yang dimunculkan untuk diwujudkan dalam bentuk pameran temporer, festival, serta acara-acara terkait dengan koleksi museum. Lagi-lagi jauh dari hanya sekedar lomba menyanyi dan menggambar atau acara musik tanpa konsep.
Seperti mimpi buruk jika membandingkan dengan kondisi sebagian besar museum pemerintah di Indonesia. Kondisi museum di sini seperti mati segan hidup tak mau. Yang anehnya pemerintah seperti punya hobi membangun museum tiap tahun namun lupa mengurus yang sudah ada.
Lantas apa yang bisa dilakukan dengan kondisi minim dana untuk sekedar memperbaiki tata pamer atau desain museum? Salah satu cara ialah memberdayakan pekerja museum. Suruh mereka berpikir kreatif untuk menciptakan program. Karena jika koleksi sudah tak memikat mata maka program museum bisa menjadi penarik perhatian.
Jikalau mereka masih juga tak produktif maka beri ultimatum mutasi dengan pangkat yang lebih rendah. Mungkin dengan begitu mereka mulai melek dan baca-baca referensi. Kita tidak lagi bicara soal tata pamer koleksi museum. Tapi kita mencoba untuk membicarakan hal-hal kecil nan kreatif yang bisa diciptakan untuk menarik sebanyak mungkin pengunjung ke museum. Aktivitas di museum sejatinya merupakan roh dari museum itu sendiri.
Sekarang pertanyaannya, “Kan ga semua orang yang kerja di museum itu mempelajari museologi. Terus gimana donk?” Betul sekali. Saya anggap sebagian besar sudah mengerti bahwa orang-orang di balik layar museum-museum –pemerintah- di Indonesia itu biasanya tidak mempelajari museologi secara khusus. Otomatis tidak semuanya paham dengan bidang museum. Sebagian besar dari mereka bisa bertugas di museum juga tersebab “dimuseumkan” karena berbagai faktor.
Pernah saya bertanya pada seorang teman yang magang di sebuah instasi Kebudayaan. Sepengetahuannya, museum-museum belum dilengkapi dengan museum educator atau orang yang khusus memikirkan tentang program atau aktivitas di museum. Mungkin benar juga. Kalau mereka hadir di museum tidak mungkin acara di museum berkisar dari lomba menyanyi atau menggambar saja. Saya jarang menemukan museum yang mengajak pengunjungnya untuk membuat interpretasi terhadap koleksinya.
Nah, lalu bagaimana untuk memulai perancangan program museum tanpa sumber daya yang mumpuni? Untuk langkah awal bolehlah museum menyisihkan sedikit dana untuk mempekerjakan konsultan yang ahli di bidang perancangan program, pengemasan produk, dan pemasaran. Namun perlu diingat bahwa konsultan ini tidak bakal selamanya bekerja untuk museum. Mereka hanya digunakan sebagai pemancing yang akan mentransfer pengetahuan.
Hal tersebut sebenarnya sudah dimulai oleh Museum Nasional dengan program Akhir Pekan di Museum. Program tersebut nyata mampu menyedot perhatian masyarakat dan pejalan baik lokal maupun manca.
Jika ada pekerja museum yang berprestasi maka bolehlah diberikan tiket gratis untuk belajar ke luar negeri. Ketimbang membiayai studi banding ke luar negeri yang hasilnya seringkali nol ya mendingan dibuat kompetisi sekalian biar adil.
Apakah saya utopis? Bisa jadi iya. Tapi daripada berlama-lama mengharapkan dana dari pemerintah untuk membenahi koleksi museum lebih baik memikirkan hal-hal kecil untuk mengembangkan museum.
Hal yang tak kalah penting ialah terkait dengan kepala museum. Orang yang mengisi jabatan itu harusnya punya inisiatif-inisiatif spektakuler macam beberapa kepala daerah saat ini. Harus ada terobosan dan niat untuk bekerja seperti slogan yang selalu disebut-sebut oleh kepala negara, “Kerja Kerja Kerja!”
Semua pihak hendaknya mulai menyadari bahwa museum ini aset penting untuk mendongkrak dunia pariwisata Indonesia. Kita selayaknya selalu memperbaiki produk, mengemasnya, dan memasarkannya. Seperti sebuah lingkaran yang tak terputus. Proses kreatif harus selalu dilakukan. Sehingga orang datang ke sebuah tempat di Indonesia lagi-lagi bukan karena keindahan alam semata melainkan karena sisi sejarah, heritage, dan budaya yang ditawarkan.
Semoga Kementerian Pariwisata bisa mempelajari apa saja yang sudah dilakukan pemerintah Singapura dalam hal mengembangkan sektor pariwisata. Jadilah pedagang yang cerdas, yang menguasai produk yang akan dijualnya, tahu cara mengemasnya, dan paham strategi pemasarannya.