NOTA KEBERATAN
atas
KEPUTUSAN DEWAN PERS
Oleh Reinhard Nainggolan
WARTAWAN HARIAN KOMPAS
“SELAMATKAN KEMERDEKAAN PERS”
SAYA, REINHARD NAINGGOLAN, wartawan Harian KOMPAS, melalui kesempatan ini ingin menjelaskan kepada publik dan rekan-rekan media tentang kondisi yang menimpa SAYA terkait dengan pernyataan DEWAN PERS yang dimuat media massa pada 1 Desember 2010.
Hal ini, SAYA lakukan selain sebagai upaya untuk mempertahankan profesiSAYA sebagai jurnalis yang memiliki harkat dan martabat, juga untuk menyelamatkan KEMERDEKAAN PERS yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1990 tentang Pers, dari sebuah hal yang SAYA tidak lakukan sama sekali.
Perlu SAYA jelaskan kasus ini bermula akibat laporan Sdri HENNY LESTARI, Direktur Utama KITA Communication (Kitacomm) selaku Public Relations Consultant IPO PT Krakatau Steel Tbk yang kemudian dijadikan alasan oleh Dewan Pers, menuduh tanpa dasar, tanpa konfirmasi dan tanpa cek and ricek, bahwa SAYA (bersama tiga wartawan dari media MetroTV, Seputar Indonesia dan Detik.Com) yang bertugas meliput di Pasar Modal telah melakukan PEMERASAN terhadap HENNY LESTARI untuk mendapatkan kemudahan dalam membeli saham PTKrakatau Steel Tbk ketika melakukan penawaran umum perdana (initial public offering/IPO)beberapa waktu lalu.
Untuk meluruskan tuduhan itu, yang kemudian menjadi konsumsi publik secara sepihak, izinkan SAYA memberikan klarifikasi berupa fakta-fakta yang bisa dipertanggungjawabkan baik secara hukum maupun prinsip jurnalistik.
1.ADUAN KE DEWAN PERS DILAKUKAN DI SEBUAH RESTORAN DAN TIDAK TERTULIS
Sesungguhnya tidak pernah ada fakta hukum bahwa HENNY LESTARI, dalam posisinya sebagai Public Relations (PR) Consultant PT Krakatau Steel Tbk, telah melakukan pengaduan secara resmi dan formal kepada Dewan Pers sebagaimana diatur dalam PROSEDUR PENGADUAN ke DEWAN PERS sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan DEWAN PERS No 01/Peraturan/DP/I/2008.
Yang ada dan menjadi fakta adalah yang bersangkutan pura-pura mengadu dan sekadar curhat lalu melakukan gosip murahan kepada dua anggota DEWAN PERS, yakni BAMBANG HARYMURTI (Redaktur Senior TEMPO) dan AGUS SUDIBYO yang dilakukan di luar Gedung DEWAN PERS, tepatnya di RESTORAN SUSHITEI, Plaza Senayan, pada Jumat 12 November 2010. Hal itu diakui sendiri oleh HENNY LESTARI, sebagaimana tercantum dalam suratnya kepada Ketua DEWAN PERS, Bagir Manan. (salinan surat terlampir-page 6-7)
SAYA berkali-kali meminta Kepastian mengenai pengaduan secara resmi dari HENNY LESTARI, antara lain kepada Anggota DEWAN PERS Bekti Nugroho. Namun, Sdra Bekti Nugroho tidak pernah menjawab secara tegas apakah HENNY memberikan pengaduan secara resmi/tertulis atau lisan/curhat.
Ketika memenuhi pangilan DEWAN PERS pada 23 November 2010, untuk dikonfrontasi dengan HENNY LESTARI, SAYA juga kembali meminta DEWAN PERS untuk menunjukkan pengaduan tertulis dan isi pengaduan dari HENNY. Karena DEWAN PERS tidak bisa menunjukkan pengaduan tertulis itu dengan alasan yang tidak jelas serta tidak dapat dipertanggungjawabkan siapa pelapor dan apa yang dilaporkan, SAYA tidak bersedia dikonfrontasi.
Pada 24 November 2010, SAYA kembali memenuhi panggilan DEWAN PERS untuk melakukan konfrontasi dengan HENNY LESTARI.Saat itu, SAYA kembali meminta bukti laporan tertulis dari pelapor, namun DEWAN PERS dan HENNY LESTARI, tidak juga memenuhinya dengan berbagai alasan, antara lain : (1) DEWAN PERS bisa menerima pengaduan secara lisan (pernyataan UNI LUBIS, Pemimpin Redaksi ANTV). (2) Buat apa harus ada pengaduan tertulis (pernyataan AGUS SUDIBYO dan BEKTI NUGROHO). (3) Apakah pengaduan tertulis itu penting dan prinsip bagi saudara (pernyataan AGUS SUDIBYO dan BEKTI NUGROHO).
DEWAN PERS memang menjanjikan akan memberikan laporan tertulis kepada SAYA setelah konfrontasi dengan HENNY LESTARI, pada 24 November 2010. Namun hingga konfrontasi berakhir, DEWAN PERS tidak memenuhi janji tersebut. HENNY LESTARI, juga menolak memberikan laporan tertulis tanpa alasan yang jelas, bahkan meninggalkan ruangan (walk out) ketika konfrontasi masih berlangsung, padahal SAYA baru mengajukan dua pertanyaan dari 20 daftar pertanyaan yang SAYA siapkan untuk konfrontasi.
Yang ditunjukkan DEWAN PERS kepada SAYA hanya surat HENNY LESTARI kepada Ketua DEWAN PERS, Bagir Manan, yang isinya menjelaskan kronologis “CURHAT-nya” kepada dua anggota DEWAN PERS, BAMBANG HARYMURTI dan AGUS SUDIBYO, dalam pertemuan di Sushitei, Plaza Senayan, pada 12 November 2010. Surat tersebut bukan aduan/laporan tertulis dan tidak ada menyebut nama SAYA atau penjelasan mengenai tudingan “PEMERASAN” yang dilakukan wartawan untuk mendapat jatah saham, sebagaimana disampaikan WINA ARMADA dan AGUS SUDIBYO dan kemudian dipublikasikan media massa.
SAYA memang sengaja menyampaikan pertanyaan mengenai laporan tertulis itu karena menurut SAYA hal itu penting apalagi sebelumnya,DEWAN PERS maupun ALIANSI JURNALIS INDEPENDEN (AJI) telah membuat pernyataan dengan menuding adanya “PEMERASAN” seperti diberitakan tempointeraktif.com pada 17 November 2010 dengan judul “Gerombolan Wartawan Diduga Peras Saham KS” (sumber : Wina Armada-Anggota Dewan Persdan Umar Idris–Sekretaris AJI Jakarta).
Hal itu, juga mengacu pada Peraturan DEWAN PERS No 1 Tahun 2008 tentang PROSEDUR PENGADUAN ke DEWAN PERS pasal 1 ayat 3-5 yang menyatakan,“Pengaduan dapat dilakukan secara tertulis atau datang ke DEWAN PERS” (ayat 3); “Pengadu wajib mencantumkan nama dan alamat lengkap” (ayat 4); “Pengaduan ditujukan kepada DEWAN PERS, alamat Gedung DEWAN PERS Lantai VII-VIII, Jalan Kebon Sirih No 32-34, Jakarta” (ayat 5).
Surat/pengaduan/laporan resmi, jelas penting bagi SAYA karena selain menghormati peraturan DEWAN PERS, laporan tertulis juga dapat menjadi acuan bagi SAYA dalam melakukan konfrontasi. Itu juga sekaligus sebagai upaya klarifikasi SAYA di kantor tempat SAYA bekerja di HARIAN KOMPAS. SAYA tentu keberatan memberikan klarifikasi jika tuduhan yang dialamatkan kepada saya hanya secara lisan atau lebih tepat disebut curhat yang kemudian terbukti berubah-ubah, mulai dari pemerasan, meminta uang Rp 400 juta, melakukan pemaksaan meminta jatah saham, sampai ke penggunaan hak istimewa.
Dengan demikian, SAYA menduga ada sesuatu dibalik tuduhan-tuduhan itu kepada sejumlah jurnalis, termasuk SAYA yang selama ini dipersepsikan sebagaisekelompok wartawan yang melakukan pemerasan, tekanan, meminta jatah saham, serta membuat berita yang tidak berimbang dan proposional, dengan hanya berdasarkan pada “CURHAT” HENNY LESTARI. Apa yang dituduhkan kepada SAYA menjadi tidak jelas. DEWAN PERS dan HENNY bahkan terkesan mencari-cari kesalahan SAYA. Ataukah sejak awal saya dikondisikan HARUS BERSALAH?
Pertanyaan berikutnya adalah, ada apa denganDEWAN PERS yang terkesan terburu-buru menghakimi dan mengeksekusiSAYAtanpa pernah memeriksa bahkan membaca tulisan-tulisan SAYA yang diterbitkan KOMPAS, seputar IPO saham PT Krakatau Steel Tbk, apakah telah melanggar prinsip-prinsip dan kode etik jurnalistik.
Saat dikonfrontasi dengan HENNY pada 24 November 2010, SAYA beberapa kali bertanya kepada UNI LUBIS, AGUS SUDIBYO, dan BEKTI NUGROHO, apakah mereka sebagai Anggota DEWAN PERS telah membaca tulisan-tulisan saya yang diterbitkan KOMPAS, seputar IPO saham PT Krakatau Steel Tbk? Saat itu, tidak satupun dari mereka yang menjawab YA.
Hingga saat ini, konfrontasi SAYA dengan HENNY LESTARI, belum tuntas dilakukan DEWAN PERS. Klarifikasi data yang SAYA miliki juga belum sepenuhnya dilakukan DEWAN PERS. Proses konfrontasi dan klarifikasi SAYA dengan HENNY LESTARI, berakhir pada 24 November 2010, karena yang bersangkutan meninggalkan ruang konfrontasi saat saya bertanya “Apakah Mbak HENNY pernah menyatakan niat kepada saya untuk membeli saham Krakatau Steel dan mengajak saya untuk ikut membeli? Namun HENNY LESTARI tidak menjawab.
Ketika HENNY LESTARI meninggalkan ruang konfrontasi, SAYA sempat meminta agar dia tidak pergi begitu saja karena saya masih memiliki 18 pertanyaan lagi yang bisa menjadi petunjuk dan bukti, apakah HENNY yangBERUSAHA MENYUAP SAYA atau SAYA yang melakukan pemerasan/meminta jatah saham Krakatau Steel?
DEWAN PERS juga tidak berupaya menahan kepergian HENNY LESTARI dari ruang konfrontasi, sehingga konfrontasi antara SAYA dan HENNY LESTARY berakhir begitu saja tanpa kejelasan. Saat itu yang hadir di ruang konfrontasi adalah tiga anggota DEWAN PERS, yakni BEKTI NUGROHO, UNI LUBIS dan AGUS SUDIBYO, serta SAYA dan didampingi pimpinan HARIAN KOMPAS. Ketua DEWAN PERS, Bagir Manan tidak pernah hadir saat konfrontasi, baik pada 23 November 2010 maupun 24 November 2010.
Atas kondisi tersebut, SAYA patut menduga HENNY LESTARI, Direktur Utama Kitacomm selaku Public Relations Consultant IPO PT Krakatau Steel Tbk, telah memanfaatkan kedudukannya dan posisinya, bahkan kedekatannya dengan anggota DEWAN PERS untuk menyampaikan pengaduan tanpa bukti yang jelas untuk “menyingkirkan” SAYA dan teman-teman Wartawan Pasar Modal yang selama ini kritis terhadap proses IPO PT Krakatau Steel Tbk.
Patut diduga pula, oknum DEWAN PERS (BAMBANG HARYMURTI dan AGUS SUDIBYO) juga memanfaatkan posisi dan kedudukannya untuk kepentingan pribadi/kelompok/golongan, dengan memproses dan mempublikasikan “CURHAT” atau laporan sepihak (bukan laporann tertulis) dari HENNY LESTARI, melalui grup media yang dipimpinnya, yakni TEMPO (lihat berita tempointeraktif.com, “Gerombolan Wartawan Diduga Peras Saham KS” pada 17/11/2010, “Wartawan yang Minta Saham KS Harus Diberi Sanksi” pada 18/11/2010, “Dewan Pers Kantongi Nama Wartawan Pemeras Saham Krakatau Steel pada 18/11/2010).
Suatu hal yang menurut SAYA tidak lazim untuk ukuran sebuah lembaga Negara bernama DEWAN PERS, yang langsung memproses dan menuding SAYA tanpa meminta keterangan para pihak terlebih dahulu secara lengkap dan berimbang. Tindakan ini melahirkann sebuah tanda tanya besar bagi SAYA, “Ada Apa dengan DEWAN PERS?”
SAYA berharap publik bisa menilai secara jernih dan obyektif, bahwa kasus ini bukan murni kasus pelaporan pelanggaran biasa. Tapi ini upaya untuk menyingkirkan jurnalis dan media yang selama ini kritis dan melindungi kepentingan ekonomi negara.