- Penduduk tanpa jaminan kesehatan
- Dilema peserta BPJS Kesehatan mandiri
- Menjelang 1 Januari 2015: pilih sanksi atau COB
- COB untuk kualitas pelayanan atau kenyamanan
- Advokasi memperkuat pelayanan primer
Menjelang akhir triwulan ketiga tahun 2014, kegelisahan di kalangan pengusaha dan pekerja tampak meningkat, terkait dengan kewajiban melakukan pendaftaran sebagai peserta Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) Kesehatan paling lambat tanggal 1 Januari 2015 bagi pemberi kerja pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), usaha besar, usaha menengah, dan usaha kecil.
Tercatat ada 138 BUMN (dan 1.113 Badan Usaha Milik Daerah). Jumlah usaha besar, menengah, dan kecil, pada tahun 2012 sekitar 683 ribu unit, dengan jumlah pekerja sekitar 10,95 juta orang. Jumlah usaha mikro pada tahun 2012 mencapai 55,86 juta unit dengan jumlah pekerja sebanyak 99,86 juta orang.
Batas waktu pendaftaran bagi usaha mikro, paling lambat tanggal 1 Januari 2016. Bagi pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja, paling lambat tanggal 1 Januari 2019. Paling lambat, berarti dapat dilakukan lebih awal, dimulai sejak 1 Januari 2014.
Cakupan universal (universal health coverage atau universal coverage) untuk seluruh penduduk Indonesia 100% akan menjadi kenyataan paling lambat 1 Januari 2019. Sebuah proyek mega yang membutuhkan perjuangan dan kerja keras dari semua komponen bangsa, mewujudkan “Health for All Indonesians by the Year 2019.” Akan sangat membanggakan ketika sebuah cita-cita ambisius terwujud.
Pada Peresmian BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan serta Peluncuran Program JKN di Istana Bogor, 31 Desember 2013, Presiden menyampaikan bahwa seluruh jajaran pemerintahan terkait perlu bekerja keras agar sasaran pencapaian universal health coverage pada tahun 2019 mendatang dapat diwujudkan.[1]
Penduduk tanpa jaminan kesehatan
Bagaimana arah kebijakan dan kerangka kerja kontekstual untuk kepesertaan bagi penduduk yang tidak mempunyai jaminan kesehatan? Pada tahun 2012, jumlah penduduk yang memiliki jaminan kesehatan sebesar 159,1 juta jiwa atau 65% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Penduduk tanpa jaminan kesehatan ada sebesar 85,7 juta jiwa atau 35% dari seluruh penduduk.
Penduduk tanpa jaminan kesehatan sebesar 85,7 juta jiwa mempunyai risiko kesulitan keuangan ketika membutuhkan pelayanan kesehatan, sehingga merupakan kelompok penduduk yang rentan risiko. Mencakup jumlah besar peserta dalam waktu singkat tidak mudah, tetapi bila tercecer di belakang akan berdampak buruk. Kelompok penduduk tanpa jaminan kesehatan rentan risiko tersebut terdistribusi di komunitas Pekerja Tanpa Upah, Bukan Pekerja, dan Usaha Mikro.
Kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) memiliki peran strategis. UMKM yang jumlahnya 56,53 juta unit mempunyai kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja sekitar 97,16 persen atau 107 juta orang, dan kontribusi terhadap produk domestik bruto sebesar 59,08 persen.[2]
Perlu perhatian khusus dan perencanaan kerangka kerja yang tepat untuk UMKM sehingga kelompok besar ini dapat memperkuat sistem pelayanan kesehatan demi keberhasilan program jaminan kesehatan nasional, bukan berfokus hanya pada target finansial dan kepesertaan.
Dilema peserta BPJS Kesehatan mandiri
Sebagian dari peserta BPJS Kesehatan adalah mereka sebelumnya tidak mempunyai jaminan kesehatan. Bisa jadi sudah memiliki tetapi dengan manfaat yang terbatas sehingga pindah ke BOPJS Kesehatan. Berasal dari berbagai status, dari peserta bukan pekerja atau pekerja bukan penerima upah, atau pekerja penerima upah dari usaha mikro, dan tidak menutup kemungkinan dari usaha kecil, menengah atau usaha besar.
Peserta BPJS Kesehatan mandiri pada 1 Januari 2014 baru ada 535 orang, kemudian meningkat menjadi 162.201 orang pada 15 Januari 2014.[3] Pada bulan Juni 2014 mencapai sekitar 2 juta orang.[4]
Kemudian muncul permasalahan. Kepala BPJS Kesehatan Divisi Regional I Sumut-Aceh, Oni Djauhari, di Medan, 14 Agustus 2014, mengungkapkan, saat ini jumlah peserta BPJS mandiri sekitar 500 ribuan dan 90 persennya adalah mereka yang sakit.[5] Kepala BPJS Kesehatan Cabang Pekanbaru, Mairiyanto, di Pekanbaru, 24 Agustus 2014, mengungkapkan, peserta kategori mandiri dan perusahaan banyak yang menunggak membayar premi, sehingga dapat mengganggu keberlanjutan program JKN. Saat ini lebih dari 50% peserta mandiri menunggak, (termasuk) kepesertaan yang dibayarkan perusahaan juga cukup banyak.[6]
Salah satu contoh: peserta membayar premi mulai Januari sampai dengan Juli 2014, setelah mendapatkan pelayanan kesehatan tindakan medis operasi melahirkan pada Juli 2014, pada Agustus 2014 peserta tidak lagi mau membayar premi.[7] Apakah mereka menunggak karena tidak mampu, atau sebelumnya mereka telah mengetahui akan menerima risiko jatuh miskin atau berhutang saat persalinan tiba (operasi persalinan). Atau sekedar “akal-akalan?” Bila benar kurang mampu, menjadi sebuah dilema antara harapan melahirkan dengan sehat atau menerima sanksi yang juga sulit dihadapi.
Padahal, penduduk tingkat sosial-ekonomi rendah lazimnya lebih bertanggungjawab terhadap kewajiban yang mampu ditanggungnya. Misalnya keberhasilan Muhammad Yunus membangun Grameen Bank (1976) di Bangladesh untuk kewirausahaan bagi penduduk miskin, sehingga menerima Nobel Peace Prize (2006).
Tetapi yang menghibur, BPJS Kesehatan mencapai surplus anggaran Rp.2 triliun, berasal dari pengumpulan premi sebesar Rp.18,412 triliun, per 30 Juni 2014, sehingga BPJS Kesehatan tidak kuatir untuk operasional karena dana lebih dari cukup.[8]
Menjelang 1 Januari 2015: pilih sanksi atau COB
Pemberi kerja selain penyelenggara negara wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS secara bertahap sesuai dengan program jaminan sosial yang diikutinya.[9] Pemberi kerja selain penyelenggara negara yang melanggar ketentuan tersebut dikenai sanksi administratif,[10] dapat berupa: teguran tertulis; denda; dan/atau tidak mendapat pelayanan publik tertentu.[11]
Sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu yang dikenai kepada pemberi kerja selain penyelenggara negara meliputi: perizinan terkait usaha; izin yang diperlukan dalam mengikuti tender proyek; izin memperkerjakan tenaga kerja asing; izin perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; atau izin mendirikan bangunan (IMB).
Dalam hal pemberi kerja tidak mendaftarkan pekerjanya kepada BPJS Kesehatan, pekerja yang bersangkutan berhak mendaftarkan dirinya sebagai peserta jaminan kesehatan.[12] Dalam hal pekerja belum terdaftar pada BPJS Kesehatan, pemberi kerja wajib bertanggung jawab pada saat pekerjanya membutuhkan pelayanan kesehatan sesuai dengan manfaat yang diberikan oleh BPJS Kesehatan.[13]
Kebijakan tersebut berpihak kepada pekerja dan keluarganya yang selama ini belum memiliki jaminan kesehatan, atau mempunyai tetapi menerima manfaat yang kurang dapat memenuhi kebutuhannya, dibawah standar BPJS Kesehatan.
Bagi pekerja atau peserta yang menginginkan kelas perawatan yang lebih tinggi dari pada haknya, dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan.[14]
Manfaat ruang perawatan Kelas II bagi pekerja penerima upah dengan gaji/upah sampai dengan 1,5 kali penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dengan status kawin dengan 1 anak (K1), beserta keluarganya. PTKP untuk status K1 tahun 2014 sebesar Rp28.350.000, maka premi maksimum sebesar Rp177.188 per bulan. Yang dibayar oleh pekerja maksimum sebesar Rp35.438 per bulan.
Manfaat ruang perawatan Kelas I bagi pekerja penerima upah dengan gaji/upah diatas 1,5 kali sampai dengan 2 kali PTKP, beserta keluarganya. Besaran premi berkisar diatas Rp177.188 sampai dengan Rp236.250 per bulan. Yang dibayar oleh pekerja maksimum sebesar Rp47.250 per bulan.
Bagi pekerja dengan status K-3 dengan pasangan yang tidak bekerja, maka premi yang dibayar oleh pekerja dengan manfaat ruang perawatan Kelas I hanya sebesar Rp9.450 per orang per bulan. Berbeda bagi pekerja status lajang, tetapi masih lebih rendah dibandingkan pekerja bukan penerima upah atau bukan pekerja, untuk manfaat ruang perawatan Kelas I harus membayar premi sebesar Rp59.500 per orang per bulan.
Banyak contoh yang memberi gambaran besaran premi untuk COB berlipat ganda dari premi BPJS Kesehatan. Bila harus ditanggung pribadi oleh pekerja tentu membebani, tetapi bila ditanggung oleh perusahaan tampaknya lebih mendekati pemborosan, atau menjadi tidak benar bila sampai ada double cost? BPJS Kesehatan tidak mungkin menanggung pembayaran untuk pelayanan kesehatan yang tidak sesuai prosedur yang telah ditetapkan, padahal azas efektif dan efisiensi harus diutamakan.
Kebijakan manfaat jaminan kesehatan mencakup manfaat akomodasi yang ditentukan berdasarkan skala besaran iuran yang dibayarkan[15] mungkin perlu dievaluasi, bila pada pelaksanannya bisa menimbulkan hambatan terhadap sistem jaminan kesehatan yang bertujuan mewujudkan cakupan universal, yang mengutamakan penguatan sistem pelayanan kesehatan, terutama pelayanan kesehatan primer.
Disparitas prinsip sosial dan ekuitas mungkin dapat menimbulkan hambatan dan kendala yang akan mempengaruhi sistem kesehatan mencapai tujuannya, termasuk program jaminan kesehatan dalam konteks nasional. Merujuk UU SJSN 2004 yang menyatakan bahwa jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas,[16][xv] dan jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.[17]
COB untuk kualitas pelayanan atau kenyamanan
Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) mengaku masih kesulitan pada penerapan BPJS Kesehatan di 2015 nanti. “Penerapan BPJS sangat berpengaruh pada peningkatan biaya operator. Kalau boleh kami minta ditunda penerapannya tahun depan,” kata Ketua Umum ATSI Alexander Rusli, dalam seminar bertajuk Manfaat dan Kelebihan BPJS Kesehatan bagi Anggota, di Jakarta, 21 Juni 2014. Seluruh operator anggota ATSI juga perlu mendalami lagi bagaimana penerapan coordination of benefit (COB) antara asuransi kesehatan komersial dengan BPJS Kesehatan yang dimaksudkan dalam SJSN, JKN dan BPJS Kesehatan. (Okezone, 2014).[18]
Ketua DPN Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofyan Wanandi, di kantor Apindo Training Center di Jakarta, 1 Juli 2014, juga menyampaikan, ternyata banyak tantangan dan hambatan dalam pelaksanaan BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan harus bisa lebih baik dari sistem jaminan yang berlaku sebelumnya. Apindo bersedia membantu BPJS Kesehatan mengatasi masalah, untuk mencegah berkurangnya manfaat yang diterima peserta. Sofjan berharap ada solusi agar pelaksanaan dan manfaat yang diberikan BPJS Kesehatan berjalan baik. (HukumOnline, 2014).[19]
Koordinasi manfaat atau COB melalui asuransi swasta komersial tampaknya akan menjawab banyak pertanyaan sekaligus menjadi solusi permasalahan menjelang tanggal 1 Januari. Awal Januari baru 5 perusahaan asuransi swasta yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, tetapi akhir Juni telah mencapai 30 perusahaan. Sejak awal Januari 2014, BPJS Kesehatan membuka ruang seluasnya bagi perusahaan asuransi komersial untuk mendaftarkan pesertanya dalam sistem JKN melalui produk COB. COB kan ada di peraturan Presiden, jadi harus dijalani.[20]
Sosialisasi dan promosi koordinasi manfaat makin gencar baik oleh BPJS Kesehatan, Dewan Jaminan Kesehatan Sosial Nasional (DJSN) maupun asuransi komersial.
Misalnya, diungkapkan benefit yang didapatkan peserta tidak hanya sebatas bisa naik kelas perawatan pada fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan saja. Peserta COB juga bisa mendapatkan benefit lain yang tidak dijamin oleh BPJS Kesehatan sesuai aturan yang berlaku pada program JKN. Contoh, kalau pasien ingin memasang ring jantung yang lebih bagus, yang harganya tentu lebih mahal …[21]
Benefit lainnya antara lain bisa langsung ke fasilitas kesehatan rujukan, bisa berobat ke fasilitas kesehatan swasta yang belum bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, alat kesehatan, alat kontrasepsi, penunjang medis, obat tertentu dan suplemen, transportasi. Selain itu juga mendapatkan tindakan spesifik seperti operasi batu empedu dengan laparoskopi, fasilitas bahan-bahan non medis, dan lainnya.[22]
Tampaknya persepsi pelayanan kesehatan berkualitas bergeser kearah pelayanan yang “nyaman” dan “memuaskan”.
Mendorong untuk berobat langsung ke dokter spesialis tanpa rujukan, menganjurkan pemeriksaan dan tindakan yang mungkin tidak dibutuhkan, alat kesehatan dan obat-obatan lebih mahal, dan menawarkan suplemen, seolah merestui penyimpangan profesionalisme medis ataupun Good Governance for Medicines (GGMs).
Kenyataannya, masyarakat umum dan komunitas kedokteran lebih berorientasi pada pelayanan rumah sakit dan dokter spesialis, fenomena hospital-centrism. Kompleks mediko-industrial menimbulkan fragmentasi dan komersialisasi pelayanan kesehatan, sumber inefisiensi dan mahalnya biaya kesehatan akibat pelayanan yang berlebih, pelayanan yang tidak dibutuhkan, pemberian obat tidak rasional, yang bahkan dapat mencederai pasien, selain mendorong terjadinya fraud. Pelaku fraud bisa oleh pemberi pelayanan kesehatan, perushaan asuransi atau peserta. Penyimpangan dalam bentuk upcoding, duplikasi klaim, unbundling, pelayanan berlebih, pelayanan yang tidak dibutuhkan, kickbacks, dan lainnya.[23]
Persaingan dan pemasaran yang agresif mendorong promosi tidak etis, termasuk gratifikasi. Direktur Gratifikasi KPK, Giri Suprapdiono pada Semiloka Koordinasi dan Supervisi Pencegahan Korupsi di Kantor Gubernur Sulawesi Utara, 2 Oktober 2013, menyampaikan bahwa praktik pemberian uang, komisi ataupun fasilitas lainnya dari perusahaan farmasi kepada para dokter merupakan bentuk gratifikasi dan dapat dikategorikan tindakan korupsi.[24] Tetapi di Indonesia sudah lebih baik, karena selalu dinyatakan sudah menerapkan GGMs.
Tampaknya menawarkan kenyamanan sulit dibedakan dari komersialisasi. Bagaimana dampaknya bagi sistem pelayanan kesehatan, tetapi siapa yang hendak peduli?
Seperti diungkapkan oleh Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan, Prof. Dr. dr. Akmal Taher, Sp.U (K), fasilitas kesehatan primer seperti puskesmas atau klinik masih lemah. Kementerian Kesehatan RI menilai pelayanan primer yang kuat masih jadi masalah besar di Indonesia.[25] Beliau mengungkapkan di Jakarta, 26 Agustus 2013, Kementerian Kesehatan berfokus pada penguatan pelayanan primer. Meski rumah sakit merupakan pelayanan sekunder dan tersier, namun dalam satu kesatuan sistem pelayanan kesehatan sangat tergantung dengan pelaksanaan pelayanan primer. Penguatan pelayanan primer ini akan memperbaiki sekaligus memperkuat sistem rujukan berjenjang. Hal ini tentu saja akan berdampak langsung pada pelaksanaan JKN.[26]
Kekurangan dan kelemahan pelayanan kesehatan primer merupakan kenyataan. Tetapi lebih baik mendorong percepatan penguatan pelayanan kesehatan primer, dan menghindarkan penyimpangan pelayanan kesehatan. Masih ada yang lebih penting untuk dipertimbangkan oleh para pejabat dan petinggi yang terkait dan berwenang.
Tantangan dan tekanan saat ini, menjelang 1 Januari 2015, seyogyanya menjadi sebuah momentum inisiasi gerakan perubahan perbaikan sistem pelayanan kesehatan. Bukan tidak mungkin, tetapi justru karena merupakan peluang yang langka, karena dinamika perubahan ini telah memberikan landasan dan pengungkit yang cukup kuat untuk menggerakkan perubahan perbaikan.
Saat ini BPJS Kesehatan sudah berkembang menjadi institusi yang sangat kuat, yang belum pernah terjadi dalam sejarah. Memiliki semua sumber daya untuk menggerakkan pembangunan kesehatan, bahkan bisa membuat iri Archimedes ketika minta diberikan landasan berpijak, sebuah pengungkit dan sebuah tongkat … untuk menggerakkan bumi…
Advokasi memperkuat pelayanan primer
Bila bukan karena “tekanan kuat” menjelang 1 Januari 2015, bagaimana sekian banyak BUMN bertemu, berdiskusi, dan bersepakat untuk ikut berkontribusi dan berperan serta dalam gerakan dan tindakan nyata memperkuat pelayanan kesehatan primer. Baru terjadi kali ini, para pejabat dan serikat pekerja BUMN duduk bersama untuk mengevaluasi dan mengkaji sistem kesehatan nasional (SKN).
Dalam acara workshop dan diskusi yang bertema Tatanan Benefit Kesehatan Untuk BUMN di Era Jaminan Kesehatan Nasional di Hotel Grand Aston Yogyakarta, 14-15 Februari 2014, para peserta tidak hanya mendiskusikan benefit, tetapi lebih kepada kesiapan BPJS Kesehatan menghadapi tantangan faktual progam JKN, dan bagaimana BUMN bisa ikut berperan dan berkontribusi dalam program SJSN. Membahas tentang pelayanan primer yang selama ini bagaikan kurang dipedulikan. Bertanya mengapa terabaikan dan sulit berkembang walau para pejabat dan para ahli di dunia kesehatan sepakat pelayanan primer sangat penting sehingga perlu revitalisasi.[27]
Pertemuan di Yogyakarta dilanjutkan dengan acara “Saresehan BUMN untuk Sinergi dan Mitigasi Masalah di Era JKN,” di Hotel Mercure Alam Sutera, Serpong, Tangerang, 13-14 Maret 2014. Manajer Kesehatan Pertamina, yang juga pimpinan Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), Ugan Gandar berujar bahwa tujuan JKN untuk kepentingan rakyat, jangan ada kepentingan lain akan merusak niat baik tersebut.[28]
Pada awal tahun lalu, tanggal 21–23 Januari 2013, diselenggarakan Workshop Peran Serta BUMN Dalam Revitalisasi Dokter Primer di Patra Semarang Convention Hotel, Semarang, atas kerja sama PT. Pertamina (Persero) dan Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (KPMAK) Fakultas Kedokteran UGM. Materi: Kolaborasi BUMN dalam pembangunan kesehatan menuju jaminan kesehatan nasional; Memperkuat peran dokter primer; Peran formularium dalam pengendalian biaya kesehatan dan penggunaan obat yang rasional.[29]
Apakah ada potensi yang dapat dibangun melalui kolaborasi BUMN? Bila kurang bisa ditambahkan usaha besar, usaha menengah dan usaha kecil, dan usaha mikro. Sebenarnya dapat dibuktikan yang lain, bahwa rakyat, terutama penduduk miskin dan tidak mampu, memiliki potensi yang jauh lebih besar. Potensi untuk perubahan dan perbaikan sistem kesehatan, memperkuat pelayanan primer.
Yang terutama, jangan ada “tekanan” yang membekukan kreativitas dan inovasi anak bangsa, karena dapat menimbulkan frustrasi. Jangan menghambat advokasi untuk memajukan dokter primer. Indonesia berkemampuan membangun sistem pelayanan kesehatan primer yang kuat. Siapa yang bilang Indonesia tidak bisa?
Delapan tahun sebelum Indonesia Merdeka, di Bandoeng diselenggarakan Conference on Rural Hygiene in Far Eastern Countries pada tanggal 2-13 Agustus 1937, oleh League of Nations Health Organization (LNHO, sekarang WHO). Peristiwa ini ternyata telah menginspirasi Konferensi Pelayanan Kesehatan Primer di Alma-Ata, USSR, pada 6-12 September 1978, melahirkan Deklarasi Alma Ata yang terkenal sepanjang sejarah. Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah…
Advokasi reformasi pelayanan kesehatan primer mewujudkan perubahan perbaikan sistem pelayanan kesehatan membutuhkan kepemimpinan untuk menggerakkannya, pimpinan yang berpihak kepada rakyat, pimpinan tertinggi.
2 September 2014 Kris Kirana, Mufidah Mansyur
[1] Presiden RI. (2013) Transkripsi Sambutan Presiden RI Pada Peresmian Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Dan BPJS Ketenagakerjaan Serta Peluncuran Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) [Online] 31th Desember 2013. Available from: http://www.presidenri.go.id/index.php/pidato/2013/12/31/2228.html [accessed: 16th January 2014]
[2] Samsul, UKM Indonesia (2013) UMKM Memiliki Peran Strategis. [Online] 13th September 2013. Available from: http://ukm-indonesia.net/umkm-memiliki-peran-strategis.html [accessed: 31st August 2014]
[3] Sekretariat Kabinet. (2014) Pendaftar Peserta Mandiri BPJS Kesehatan Tembus 162.201 Orang. [Online] 17th January 2014. Available from: http://www.setkab.go.id/berita-11788-pendaftar-peserta-mandiri-bpjs-kesehatan-tembus-162201-orang.htmlb[accessed: 31st August 2014]
[4] Riky Ferdianto, R., Tempo.co. (2014) Peserta BPJS Kesehatan Naik 6 Juta. [Online] 11th June 2014. Available from: http://www.tempo.co/read/news/2014/06/11/078584135/Peserta-BPJS-Kesehatan-Naik-6-Juta [accessed 1st September 2014]
[5] Harian Andalas. (2014) Sudah 2.900 Perusahaan Berintegrasi ke BPJS. [Online] 15th August 2014. Available from: http://harianandalas.com/kanal-medan-kita/sudah-2-900-perusahaan-berintegrasi-ke-bpjs [accessed: 27th August 2014]
[6] MenkoKesra. (2014) Peserta Mandiri Banyak Menunggak Premi BPJS Kesehatan. [Online] 25th August 2014. Available from: http://www.menkokesra.go.id/artikel/peserta-mandiri-banyak-menunggak-premi-bpjs-kesehatan [accessed: 1st September 2014]
[7] Ibid.
[8] BeritaSatu. (2014) Dari Iuran Peserta, BPJS Kesehatan Surplus Rp 2 Triliun. [Online] 23rd August 2014. Available from: http://www.beritasatu.com/ekonomi/202938-dari-iuran-peserta-bpjs-kesehatan-surplus-rp-2-triliun.html [accessed: 23rd August 2014]
[9] Peraturan Pemerintah RI Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara Dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, Dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial (24 Desember 2013), Pasal 3 Ayat (1) Huruf a.
[10] Ibid., Pasal 5 Ayat (1)
[11] Ibid., Pasal 5 Ayat (2)
[12] Peraturan Presiden RI No. 12 Th. 2013 Tentang Jaminan Kesehatan (18 Januari 2013), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden RI No. 111 Th. 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden RI No. 12 Th. 2013 Tentang Jaminan Kesehatan (27 Desember 2013), Pasal 11 Ayat (2)
[13] Ibid., Pasal 11 (Ayat (2b)
[14] Ibid., Pasal 24
[15] Ibid., Pasal 20 Ayat (5)
[16] Undang-Ubdabg RI No. 40 Th. 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (19 Oktober 2004) Pasal 19 Ayat (1)
[17] Ibid., Pasal 19 Ayat (2)
[18] Zubaidah, N., Okezone (2014) Pengusaha Telekomunikasi Minta BPJS Kesehatan Ditunda. [Online] 22nd June 2014. Available from: http://jakarta.okezone.com/read/2014/06/21/457/1002253/pengusaha-telekomunikasi-minta-bpjs-kesehatan-ditunda [12th August 2014]
[19] Ady, HukumOnline (2014) Pengusaha Keluhkan Pelaksanaan BPJS Kesehatan. [Online] 2nd July 2014. Available from: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53b3b94a49067/pengusaha-keluhkan-pelaksanaan-bpjs-kesehatan [accessed: 27th August 2014]
[20] Oktarinda, A., Bisnis.com. (2014) BPJS Kesehatan Ajak Asuransi Komersial Ikut Cost of Benefit. [Online] 8th January 2014. Available from: http://m.bisnis.com/finansial/read/20140108/215/196246/bpjs-kesehatan-ajak-asuransi-komersial-ikut-cost-of-benefit [accessed: 2nd February 2014]
[21] Herman, BeritaSatu.com (2014) Ini Benefitnya Bila Peserta BPJS Kesehatan Juga Ikut Asuransi Komersial. [Online] 26th March 2014. Available from: http://www.beritasatu.com/kesehatan/173981-ini-benefitnya-bila-peserta-bpjs-kesehatan-juga-ikut-asuransi-komersial.html [accessed: 27th August 2014]
[22] Ibid.
[23] FBI. Financial Crimes Report to the Public, Fiscal Years 2010-2011. [Online] Available from: http://www.fbi.gov/stats-services/publications/financial-crimes-report-2010-2011/financial-crimes-report-2010-2011#Health [accessed: 19th June 2013]
[24] Harian-Komentar.Com. (2013) KPK Soroti Gratifikasi Dokter PNS. [Online] 2nd October 2013. Available from: http://www.harian-komentar.com/slideshow/14162-kpk-soroti-gratifikasi-dokter-pns.html [accessed: 9th October 2013]
[25] Departemen Kesehatan. (2013) Kemenkes Perkuat Pelayanan Primer. [Online}. Available from: http://buk.depkes.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=409:kemenkes-perkuat-pelayanan-primer&catid=1:latest-news [accessed: 5th September 2013]
[26] Departemen Kesehatan RI, Bina Upaya Kesehatan. (2013) Kemenkes Perkuat Pelayanan Primer. [Online] 26th August 2013. Available from: http://buk.depkes.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=409:kemenkes-perkuat-pelayanan-primer&catid=1:latest-news | [accessed: 5th September 2013]
[27] KPMAK UGM. (2014) Workshop dan Diskusi: Benefit BUMN di Era JKN. [Online] Available from: http://kpmak-ugm.org/2012-05-12-04-54-35/2012-05-12-05-03-45/newsletter/688-workshop-dan-diskusi-benefit-bumn-di-era-jkn.html [accessed: 2nd March 2014]
[28] Pertamina.com (2014) Membangun Sinergi BUMN di Era JKN. [Online] 31st March 2014. Available from: http://www.pertamina.com/news-room/seputar-energi/membangun-sinergi-bumn-di-era-jkn/ [accessed: 30th August 2014]
[29] KPMAK UGM (2013) Peran Serta BUMN dalam Revitalisasi Dokter Primer. [Online] Available from: http://www.kpmak-ugm.org/news/404-memanusiakan-pasien-memanusiakan-dokter.html [accessed: 8th February 2013]