Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Hasnun dan Potret Petani Kecil Nusantara

17 Oktober 2011   07:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:51 185 0
Usianya belum benar-benar renta. Tubuhnya masih tampak bugar. Tetapi kulit tubuhnya perlahan terkelupas. Jari-jarinya tak henti menggugat dengan garuk. mencabik-cabik kulit punggung, tangan dan kakinya "gatal sekali" katanya suatu ketika. "Kadang-kadang saya sesak napas kalau tidur malam" lanjutnya. "Saya tidak tau kenapa bisa begini, tapi biasanya kalau setelah pulang kebun, saya rasa seperti itu" tutupnya sambil sesekali menggaruk punggungnya.

***

Demikian sepenggal cerita yang hanya ditangkap sebentar dari Hasnun, seorang petani kelahiran Bima Nusa Tenggara Barat yang sudah sejak 1982 merantau dan akhirnya menetap di Merombok-Labuan Bajo Nusa Tenggara Timur.

Sudah sejak itu, hingga hari ini lelaki beranak empat itu bekerja sebagai petani sawah di ladang sewa pakai kepunyaan (pemilik tanah) orang lain. 'Sistem bagi hasil, tiga berbanding satu' katanya. "Tapi kadang saya rugi karena tidak semua hasil panen bagus" lanjutnya. Lantaran itu, untuk mengisi kekuarangan ongkos kerja dan pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga, Hasnun mengolah lahan sisa untuk beragam jenis sayur-sayuran.

"Namanya petani kecil, biaya kerja, biaya bibit, biaya pupuk dan pestisida terasa mahal sekali" Keluh Hasnun melanjutkan ceritanya tentang sistem pengolahan lahan. "Saya selalu menggunakan bibit dari toko dan pake pupuk-pupuk dari toko, karena tanah di sini cocok sekali untuk menanam bibit bibit unggulan itu dan biar lebih cepat pengolahannya"

***

Saya tersintak mendengar kisah Hasnun. Berkelebatlah dalam benak sederet tanya. Tidak hanya tentang keluhannya. Keluh kesah seorang petani kecil yang sudah sejak 1982 menjadi petani yang tidak beranjak gembira. Tetapi juga tentang  petani kecil di tengah kepungan pusaran sistem pertanian modern. Tentang petani kecil yang terjebak dalam kepungan 'toko' (dan koorporasinya) yang meng-ada-kan, menyalurkan dan menjual pupuk kimia, bibit pabrik yang kian mahal serta persaingan pasar yang selalu membuat petani kecil kalah dan berpasrah.

Pun berkelebat tanya tentang kulit tubuh Hasnun sendiri yang entah sadar atau tidak (mungkin) teradiasi/terkontaminasi zat-zat kimia. Tentang keluh sesak napasnya yang (mungkin) juga diserang zat-zat kimia hingga paru-paru pada rongga dadanya. Itu baru tubuh Hasnun, belum lagi jika digali tubuh tanah yang diolahnya, (rupa-rupanya) juga teradiasi zat-zat kimiawi sehingga cepat atau lambat akan tewas digerogoti 'gatal' dan 'sesak napas'.

Itu kisah Hasnun, seorang petani kecil yang jauh mengadu nasib di Nusa Tenggara Timur, sebuah propinsi kepulauan yang selalu mendapat label sebagai salah satu propinsi termiskin di Indonesia yang beriklim hutan hujan tropis yang kaya dan subur.

Pertanyaan lanjutan adalah apakah kisah yang dialami Hasnun adalah kisahnya sendiri atau jangan-jangan serupa itulah wajah petani kecil kita di tanah Nusantara ini. Wajah petani dan sistem pertanian yang secara perlahan-lahan meninggalkan sistem pertanian lokal, yang secara perlahan meninggalkan bibit-bibit lokal dan pupuk-pupuk alami (organik), kemudian beranjak secara instan lantas terjebak dalam kepungan sistem pertanian modern, yang tidak hanya membuat jutaan Hasnun di Nusantara mengeluh kalah didera persaingan pasar yang berlari kian cepat, tetapi juga terancam 'tewas' lantaran digerogoti radiasi zat-zat kimiawi yang mendera kulit hingga rongga dada mereka pada siang-siang dan malam-malam yang panjang.

***

Hasnun adalah (mungkin) potret umum petani kecil Nusantara yang adalah sebagian besar empunya negara yang bertajuk agraris ini. Potret petani yang terjebak dalam pusaran sistem pertanian modern dan kepungan kejaran sistem pasar modern. Menyoal Hanun dan potret petani kecil Nusantara, saya lantas mengerucut ke beberapa point.

Pertama, mayoritas petani Nusantara termasuk Hasnun adalah mereka yang mewarisi sistem pertanian alamiah seperti apa yang telah dilakukan nenek moyangnya. Mereka bertani bukan pertama-tama untuk merebut pasar, tetapi untuk pemenuhan kebutuhan hidup keluarga sehari-hari. Namun, ini poin kedua, dalam kedip hari yang seperti berlari, perubahan zaman yang sepertinya tidak mereka sangka, akhirnya 'memaksa' para petani kecil untuk segera berubah dari yang 'biasa-biasa saja' alamiah ke sistem pertanian modern dan serba jadi.

Selanjutnya poin Ketiga, perubahan yang terlalu segera itu ternyata bukanlah kunci yang pas, karena penguatan sumber daya manusia petani kecil kita tidak turut dan ikut serta. Petani-petani kecil kita terjebak dalam 'kebingungan' yang akhirnya memaksa mereka dan tanpa sadar 'disandera secara paksa' ke sistem pertanian modern. Agar tidak 'mati kelaparan' dan kalah bersaing instantisme perlahan menggerogoti kebiasaan mereka. Apa yang sudah tersaji dan siap jadi semisal pupuk-pupuk kimia, bibit-bibit produksi industri, termasuk perlengkapan dan peralatan pertanian modern dibiasakan.

Keempat, kebiasaan dan pembiasaan itu membuat petani kecil kian manja. Di satu sisi ada anggapan bahwa semuanya menjadi mudah dan tidak merepotkan, tambahan pula di sisi lain 'sistem pertanian karbitan' itu ternyata menghasilkan dan memproduksi secara melimpah. Pertanyaannya adalah petani mana yang tidak senang. Kesenangan itulah yang selanjutnya ditangkap oleh 'toko' dan koorporasinya untuk selalu menyajikan segala sesuatu tentang pertanian agar selanjutnya dibeli, ditanam, setelah itu jadi.

Kelima, Hasnun dan sebagian besar petani kecil Nusantara tidak pernah berpikir bahwa mereka adalah korban. Kegampangan yang mereka rasakan dan hasil melimpah yang mereka terima sesungguhnya adalah jebakan dari penyeragaman sistem pertanian modern yang menyesatkan dan bahkan korban dari praktek monopoli 'toko' dan koorporasi yang menjerat.

Keenam secara fisik pengaruh langsung dan tidak langsung dari segala jenis pupuk dan pestisida kimia adalah gangguan kesehatan. Hasnun mengeluh bahwa sesak napas sudah lama menderanya, selanjutnya ia merasakan gatal-gatal di sekujur tubuhnya. Radiasi zat-zat kimia sudah sedang mengenainya. Selanjutnya, apa yang dialami Hasnun menjadi parameter sejauh mana rusaknya tanah yang dikelolahnya. Bahwa tanah yang adalah sumber kehidupan, sekalipun tampak menghasilkan benih dan menumbuhkan kehidupan, secara perlahan pun sudah sedang digerogoti zat-zat kimia.

Ketujuh dan terakhir, gambaran kompleksitas persoalan Hasnun dan mayoritas petani kecil Nusantra adalah potret mata rantai 'saling membunuh' yang sudah sedang terjadi dalam senyap. Tanah dan para petani kecil adalah korban dan sebagai korban keduanya saling 'membunuh'. Selanjutnya 'toko' dan koorporasi-pasarnya serta sederetan para 'penonton' baik para pembuat kebijakan dalam negara maupun para penengah dalam masyarakat sipil dengan systemnya sudah sedang melakonkan tokoh yang ber-kura-kura dalam perahu.

***

Bayangkan, usia Hasnun belum benar-benar renta. Tubuhnya masih tampak bugar. Tetapi kulit tubuhnya perlahan terkelupas. Jari-jarinya tak henti menggugat dengan garuk. mencabik-cabik kulit punggung, tangan dan kakinya "gatal sekali" katanya suatu ketika. "Kadang-kadang saya sesak napas kalau tidur malam" lanjutnya. "Saya tidak tau kenapa bisa begini, tapi biasanya kalau setelah pulang kebun, saya rasa seperti itu" tutupnya sambil sesekali menggaruk punggungnya. Sampai kapan Hasnun tidak tahu tentang semuanya ini?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun