Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Ini Aceh Bung, Bukan London!

26 Februari 2011   05:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:15 297 0
Kasus Razia terhadap kelompok anak muda punk yang dilakukan pemerintah kota Banda Aceh pada Jumat, 11 Pebruari 2011 masih menyisahkan kontroversi. Kontroversi bermula ketika Center For Human Rights and Democration Defender (Pusat Pembela Hak Asasi Manusia dan Demokrasi) mengeluarkan tudingan bahwa tindakan yang dilakukan pemerintah kota Banda Aceh tersebut telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

Seperti dilansir The Globe Journal (11/2/2011) Zulfikar Muhammad, Direktur Center For Human Rights and Democration Defender mengatakan tindakan tersebut bertentangan dengan kebebasan berekspresi dan berkumpul yang sering juga disebut hak untuk bertahan sebagai upaya mempertahankan nilai-nilai demokrasi. "Setiap manusia dijamin oleh Negara untuk memiliki wadah dalam menyampaikan nilai-nilai kebenaran yang dimilikinya," tegasnya. Lebih lanjut Zulfikar menjelaskan "Berilah kesempatan kepada mereka dalam menyampaikan aspirasinya disebuah forum diskusi, bukan malah merazia dengan sewenang-wenang seperti mencukur rambut, mengintimidasi dengan kata, menangkap secara serampangan dam lain-lain. Kami menilai pemerintah Aceh sampai saat ini, belum bisa menghormati hak-hak masyarakat yang beragam,"

Penegasan Ini sebagaimana termaktub dalam The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), dan Indonesia adalah salah satu Negara yang telah meratifikasi konvensi ini. Hak untuk kebebasan berekspresi diabadikan dalam hukum internasional dalam Pasal 19 dari Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi melalui media apapun, tanpa batasan. Ini juga merupakan alat penting untuk berkumpul secara damai, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 21 ICCPR.

Resolusi Hak Asasi Manusia PBB  menyatakan bahwa tidak pernah diperbolehkan bagi pemerintah manapun untuk membatasi demonstrasi damai dan kegiatan politik, termasuk berekspresi untuk demokrasi. Hadirnya kelompok punk di Aceh, harus dimaknai sebagai perkembangan pemahaman demokrasi di Aceh. bukan malah, pemerintah menggunakan kekuasaannya untuk mengintimidasi kelompok ini agar hilang dari Aceh.

Tanpa diminta untuk menanggapi kontroversi ini, saya sebagai pendatang (yang non Muslim) dan yang sementara ini menetap di Aceh merasa memiliki tanggungjawab moral untuk memberikan alternative penyelesaian. Kendatipun dengan jujur saya katakana bahwa bahwa saya memihak Gubernur dan pemerintah kota banda Aceh. Tindakan pemerintah kota Banda Aceh sangat tepat.

Bahkan jika dimintai pendapat, sebagai seorang yang untuk sementara waktu menjadi warga Aceh, saya akan mengatakan kepada punkers (sebutan untuk anak-anak Punk) 'Ini Aceh bung, bukan London!' selanjutnya kepada para pegiat HAM yang menentang dan melakukan protes akan diajukan pertanyaan 'Apakah prinsip HAM yang disebut universal itu harus mengabaikan kearifan local, kebiasaan dan tradisi sehat sebuah wilayah tertentu, serta nilai-nilai budaya dan moral-moral agama wilayah tertentu?"

Benar bahwa prinsip HAM bersifat universal/umum karena diyakini bahwa beberapa hak dimiliki tanpa perbedaan ras, bangsa atau jenis kelamin. Selanjutnya HAM juga bersifat supralegal, yang artinya tidak bergantung pada adanya undang-undang dasar, kekuasaan pemerintah bahkan memiliki kewenangan lebih tinggi. Namun perlu dicatat bahwa dalam penerapannya prinsip-prinsip ini tidak mesti mengabaikan diskusi-komunikasi dan bertindak seolah-olah kebajikan-kebijakan local atau wilayah budaya tertentu tidak ada. Mengabaikan konteks budaya dan tradisinya, lebih-lebih keutamaan-keutamaan moral sebuah budaya (juga) merupakan tindakan pelanggaran HAM.

Kita kembali ke kasus Razia Punk di Aceh sebagai misal. Jika pemerintah mengambil langkah tegas dengan (maaf) menggaruk punkers selanjutnya menggunduli kepalanya satu-satu, kita: pengamat, pendatang, masyarakat/rakyat, lebih-lebih para pegiat HAM harus terlebih dahulu melihat situasi dan kondisi wilayah, tradisi dan budaya, keutamaan-keutamaan dan kearifan local sebelum mengajukan dan atau mengemukakan pernyataan.

Hemat saya, langkah dan tindakan yang telah diambil pemerintah sungguh sangat tepat. Hal berangkat dari beberapa argument dasar. Pertama, saya menilik dari sisi sejarah. Bahwa tiga puluhan tahun lebih masyarakat Aceh hidup dalam situasi yang benar-benar tidak menggambarkan bahwa masyarakat Aceh butuh diakui hak-hak dasarnya. Konflik panjang tersebut telah mengabaikan prinsip HAM universal masyarakat Aceh. Hak persamaan hidup diracuni oleh intimidasi dan provokasi. Hak milik pribadi dalam kelompok social dicuri dan digadai. Hak untuk turut berpartisipasi dalam kebebasan sipil dan politik dicurigai sebagai kemauan untuk merdeka dan berpisah. Hak yang berkenaan dengan masalah social diceraiberaikan oleh senjata dan tebaran kata kecut.

Sekarang, baru enam tahun masyarakat Aceh keluar dari kekelaman itu dan mulai membangun diri seperti yang dikehendakinya. Masyarakat Aceh dalam hal ini pemerintah sudah sedang membangun system dan tata aturan yang sesuai. Syariat Islam kembali ditegakkan, jati diri kembali dipulihkan, luka dan trauma perlahan disembuhkan. Dan tentang semua ini butuh proses yang sebenarnya tidak singkat. Lantaran itu jika mengatakan menegakkan HAM, lantas HAM yang bagaimana? HAM harus disesuikan dengan arus proses masyarakat Aceh yang sedang bangkit dan tumbuh. Bagi saya, dalam situasi dan konteks masyarakat Aceh yang seperti ini Punk dan juga Pankers adalah racun. Jadi pantas untuk dibasmi.

Kedua, untuk sementara ini Aceh sudah sedang mencari potensi-potensi dasar yang terkandung dalam tradisi dan sejarah yang sudah nyaris hilang diamuk konflik. Aceh sudah sedang menyembuhkan luka. Ada banyak hal yang hilang dari tradisi sehat Aceh lantaran pupus dimakan peluru. Merasa kehilangan akan sesuatu yang disebut 'keacehan' itu tampak sangat besar dialami oleh generasi remaja. Dalam situasi dan kondisi dimana ketika mereka sudah sedang mencari identitas diri, masyarakat adat dan tetua Aceh, pemerintah dan juga elemen dan unsur agama bahu membahu memberikan contoh dan model, menghadirkan aturan dan hukum, membangunkan kebiasaan dan tradisi sehat.

Hal ini dimaksudkan agar generasi muda Aceh bisa belajar mengenal dan mengalami ke-Aceh-annya. Tradisi Punk dan Pankers bukan tradisi Aceh. Dan tentang itu untuk sementara ini tidak pantas hadir dan ada di Aceh. 'Ini Aceh Bung, Bukan London' Jika ditempat lain pegiat HAM merasa kesal dan sebal lantaran tindakan pemerintah yang merazia Punk, oh itu silahkan. Saya pun bisa menganggukkan kepala, mungkin ya melanggar HAM. Tetapi (belum) dan lebih disebut tidak untuk di Aceh. Generasi muda Aceh sudah sedang mencari model-model islami dan yang berakhlak, berbudaya dan bermartabat. Menurut hemat saya, Pun dengan punkers-nua secara sosiologis bukan reference group yang tepat bagi mereka.

Inilah dua alasan yang menurut hemat saya pantas untuk direfleksikan bersama. Bahwa HAM kendatipun berprinsip universal dan supralegal, dalam penerapannya harus 'tahu diri' dalam membaca teks dan konteks wilayah dan budaya tertentu, pun termasuk mempertimbangkan tradisi dan sejarah. Aceh berbeda dengan tempat lain. Aceh bukan Jakarta, apalagi London bunda Punk alias Skinhead dilahirkan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun