Pertama-tama, sebagai seorang aktivis perdamaian, aku terpanggil untuk memetik makna totalitas itu. Menjadi pekerja perdamaian adalah sebuah keharusan dan kewajiban. Itu artinya bukan hanya sekedar tugas apalagi pilihan sikap atau tindakan setengah hati. Sebalinya merupakan, sebuah totalitas untuk terus mencari dan menjadi lewat pelayan dan pengabdian. Lantaran menjadi pekerja perdamaian adalah sebuah panggilan hidup yang harus disanggupi oleh manusia mana pun.
Kematian Corrie yang tragis, diremuk Buldozer Caterpilar D-9 Israel, menjadi bukti nyata, bahwa totalitas pengabdian yang diperankan Corrie memang tak terbantahkan. Yang mengagumkanku adalah bahwa Corrie melewatinya itu semua dalam usia yang masih sangat muda. Sebelum kisah naas itu datang, sudah jauh-jauh hari, Corrie sudah membuktikan itu.
Keberpihakan dan solidaritasnya pada Palestina, yang menurutnya adalah korban, telah menunjukkan ketegasannya kepada perdamaian dan keadilan. Demikian pula kebersediaannya untuk meninggalkan tempat kelahirannya, Olympia Washington Amerika Serikat dalam usia muda lantas menjadi bagian dari penduduk Kota Rafah yang tertindas adalah sebuah kerelaan yang mengagumkan. Bahasa dan pengungkapan yang terbaca dalam coretan, catatan dan lukisannya yang heroik memperjuangkan perdamaian dan keadilan, telah menunjukkan pula bahwa totalitas pengabdian itu serupa dua sisi mata uang yang tak terpisahkan: antara perkataan dan perbuatan.
Namun, sebagai catatan yang mencemaskanku, bahwa rupa-rupanya ada yang Corrie lupa, (bagiku, tidak hanya Corrie, hampir sebagian besar pekerja perdamaian melupakan itu seperti Corrie) bahwa menjadi pekerja perdamaian, selain harus total, tegas dalam bersikap dan keputusan, kebersediaan untuk terlibat dan kerelaan untuk melibatkan diri pada ketakberdayaan (korban), sambil tetap menjunjung tinggi pada kebenaran, perdamaian dan keadilan, seharusnya juga menyisahkan ruang perhatian pada ‘musuh’, ‘lawan’ dan atau ‘kejahatan’ sekali pun.
Bahwa setiap, sesuatu, sekelompok atau segolongan manusia, konsep atau padangan yang diposisikan sebagai ‘musuh’ atau ‘lawan’ ‘jahanam’ sejatinya memiliki kebenarannya sendiri dalam batok kepala mereka. Sesuatu itu atau mereka itu memiliki alasan yang cukup masuk akal, rasional, sehingga apa pun tindakan yang mereka lakukan, semisal, meremukkan kepala kita dengan Buldozer Caterpilar D-9 sekali pun adalah merupakan sebuah tindakan yang benar dan halal.
Sejujurnya, aku tidak sedang berpihak pada ‘musuh’ atau ‘lawan’ atau Israel dalam kacamata Corrie. Bagiku baik Israel maupun Palestina dalam porsinya masing-masing memiliki kebenaran-kebanrannya sendiri, pun kejahatan-kejahatannya sendiri.
Bagiku, sesungguhnya, menjadi aktivis perdamaian, yang harus ditakuti bukanlah musuh atau lawan, sehingga kita harus melawan, berteriak ‘jahanam’ mengarah kepadanya sambil mengumpat-ngumpat. Musuh utama aktivis perdamaian adalah kehilangan ruang perhatian, juga kealpaan ‘kasih sayang’ kepada musuh atau lawan.
Kepada musuh dan atau lawan yang kita sebut sebagai ‘jahanam’ seharusnya diberikan porsi perhatian yang seimbang sebagaimana kita peduli pada ‘sahabat’ atau ‘kawan’ yang kita sebut sebagai ‘yang baik’. Kita harus membiarkan telinga kita untuk banyak mendengar, dan mengatup mulut kita untuk sedikit bicara, apalagi berteriak, serentak membiarkan mata hati kita menemukan kebaikan-kebaiakan, dan mencoba untuk secara akal sehat menangkap kesamaan-kesamaan persepsi dan pandangan.
Kita harus membiarkan sebagian perhatian dan kasih sayang kita ‘disandera’ oleh musuh, walau sebenarnya kita harus selalu awas, seperti kita membiarkan dan menyerahkan diri kita diterima oleh sahabat dan atau kawan kita. Agar dengan demikian, kita punya kesempatan untuk membangun relasi, komunikasi, dan dialog yang kondusif di antara kedua belah pihak. Tanpa itu, tanpa porsi perhatian itu, bukan tidak mungkin totalitas pelayanan dan pengabdian kita akan menjadi sia-sia.
Tapi, itulah Corrie: Let Me Stand Alone (Biarkan Aku Berdiri Sendirian) seperti sudah menakdirnya. Namun demikian, Ketegasannya telah menyengatku untuk selalu memaknainya. Aku mengutip sekuplet dari sajak Corrie yang ditulisnya antara 1990-1993: “Aku mati saat malam tiba. Aku pergi saat pagi tiba, dalam ruang putih penuh tembikar dan gelas penh air. Aku berbaring di atas futon, di atas sebuah batu besar. Sekitarku penuh pakis dan bunga-bunga. Di atas kepalaku tumbuh pohon kecil. Aku menuju jendela teluk, melihat laut lepas, semua terlihat menjadi sorotan sinar”
Mimpi tentang sebuah kematian yang indah, walau sebenarnya tidak seperti fakta. Corrie mati secara tragis, pada puing dan rerentuhan ruangan. Tiada air selain gelas-gelas berserakan jadi beling, dengan air berhamburan. Corrie tak berbaring di atas futon, tetapi di bawah Buldozer Caterpilar D-9 yang berubah wujud serupa batu penggilas. Tiada pakis di sekelilingnya, pun tiada bunga-bunga. Bahu dan kepalanya remuk, menjadi tak layak untuk wadah yang ditumbuhi pohon kecil. Seperti menuju ke dasar samudera, Corrie meninggal dalam kelam.
Sebagai sebuah keyakinan ada pertanyaan tersisa: Apakah Corrie di surga? Pada bagian pengantar buku Corrie edisi bahasa Indonesia, Goenawan Mohamad sudah menjawab: saya bayangkan kini Rachel Corrie di surga. Aku pun meyakini itu karena totalitas Corrie dalam pelayanannya telah mengantarnya menuju jendela teluk, melihat laut lepas, semua terlihat menjadi sorotan sinar. Surga.
Di sanalah perdamaian yang sesungguhnya ada, keadilan yang kekal tercipta, dan kesejahteraan yang abadi terwujud. Dalam dunia, tentang semua itu, kita hanya menemukannya dalam mencari dan terus menjadi. Seperti Corrie yang telah mencari sampai meninggal dengan cara yang tragis, kita pun diwajibkan untuk mencarinya pula, sebab sejatinya kehidupan adalah sebuah pencarian tanpa henti.
Catatan: Let Me Stand Alone, di-Indonesiakan dengan ‘Biarkan Aku Berdiri Sendiri’, diterbitkan oleh Media Publisher, 2008. Pada terbitan Indonesia, Goenawan Muhamad memberikan catatan. Sumber utama tulisan ini: http://krisbheda.wordpress.com.