“Rokok” hanya sepatah kata itu. “Kopi” juga hanya sepatah kata itu. Berselang beberapa menit kemudian, seorang pelayan bertelanjang dada mengantarkan kepadanya dua pesanan itu. Sebungkus jisamsu sepuluh ribu dan segelas kopi tiga ribu.
Sebatang demi sebatang disulutnya, seteguk dua teguk kopi ditenggaknya. Asap mengepul-ngepul, abu rokok memanjang melekat erat jadi batangan debu. Tidak juga amblas dari puntungnya. Terbaca, kalau kehancuran, kesedihan, kedukaan itu begitu kuat melekat dalam rasanya. Pada asap yang selalu membasuh wajahnya, terbaca juga kalau tak ada jalan keluar, tak ada solusi, tak ada harapan. Pekat.
Kepada pekat kopi dan pengap asap rokok dia melarikan diri. Serupa itu setiap hari. Seperti bercerita kepada asap, bertutur kepada kopi, dia melepaskan sesak rasanya. Kepada kopi yang kian dingin dan berampas gelap dia benamkan diri. Kepada rokok, pekat asap dan debu abunya dia mengadu.
Mengapa kepada sesuatu yang terkutuk dia melepaskan semua rasanya. Ketika dia semakin larut, perlahan-lahan ampas-ampas kopi itu menindihnya. Kian hari, kian berat. Ketika dia semakin larut, perlahan-lahan asap-asap itu menarik jiwa dari raganya. Kian hari, kian sekarat.