Pengadilan di kota itu, terkenal megah dari luar. Pilar-pilar putih berdiri kokoh, bendera berkibar anggun, dan ruang sidang penuh wibawa. Namun, di balik kemegahan itu, tersembunyi kisah busuk tentang penjualan hukum. Hakim Suwang, Jaksa Matadut, dan Pengacara Jutar, mereka bertiga adalah pilar mafia pengadilan. Mereka tak hanya melicinkan hukum untuk yang mampu membayar, tetapi juga memperdagangkan keadilan seperti barang lelangan.
Hakim Suwang adalah pria gemuk dengan pipi menggembung seperti tahu goreng. Kekayaannya melimpah. Rumah mewah, mobil mewah, bahkan istrinya ada empat, tersebar di berbagai kota. Suwang selalu memastikan setiap keputusan hukum yang ia buat membawa keuntungan besar di rekeningnya.
Jaksa Matadut, pria dengan perut buncit yang aneh bertelinga caplang yang menyolok, dengan mata yang selalu berkilat seperti lembaran uang, adalah tukang ancam nomor satu. Setiap kali ada yang berurusan dengannya, Matadut selalu memastikan bahwa mereka merasa berada di ambang kematian. “Bayar, atau kau akan kubuat merana di penjara selama mungkin,” itulah ancaman khasnya.
Dan Pengacara Jutar, pria pendek gempal, berkumis tebal, berambuk cepak, dengan bentuk kaki O, yang terkenal sebagai pengacara berani mati. Maju tak gentar membela siapa saja yang mau bayar. Jutar ahli dalam menyusun skenario-skenario kasus, menyiapkan saksi palsu, menggoreng fakta, dan menciptakan ilusi hukum yang sempurna untuk menguntungkan kliennya—selama bayarannya tepat.
Deal di WC Pengadilan
Suatu siang, di sebuah WC pengadilan yang sepi dan jauh dari CCTV, ketiga begundal ini mengadakan pertemuan rahasia.
"Berapa kita dapat dari kasus ini?" Suwang membuka perbincangan dengan napas berat dan wajah licik.
"Klien kali ini, si Pukor, pejabat besar dengan simpanan triliunan," Jutar menjelaskan, sembari melirik ke arah pintu WC memastikan tak ada yang mendengar.
Matadut menyeringai, "Triliunan? Bagus. Ini berarti dia takut mati. Harus kita peras habis-habisan. Kalau dia mau keringanan hukuman, dia harus bayar mahal."
Suwang menepuk perut gendutnya, tertawa kecil. "Tarif biasa atau... kita naikkan? Bebas total seharusnya mahal, kan?"
Jutar mengangguk. "Kita mainkan tahapannya. Hukuman mati, kita tawarkan potongan jadi 20 tahun. Lalu, setelah dia kepanasan, kita naikin jadi 10 tahun, dan terakhir… kalau uangnya sesuai, kita buat bebas."
Matadut memotong, "Jangan terlalu pelan, Jutar. Kalau dia lari, kita kehilangan mangsa besar. Kita butuh kepastian uangnya cair dulu."
"Tapi, yang penting kita dapat potongan yang adil," Suwang menatap Matadut dengan mata tajam, "Aku minta 50 persen, sisanya kalian bagi dua."
Matadut langsung mendengus, "50 persen? Gila! Aku juga punya risiko besar di sini. Kau hanya mengetukkan palu, aku yang harus menekan setiap saksi, menggertak, mengurus dokumen palsu. Aku minta 40 persen!"
"Kalau kalian ribut begini, kita malah gagal dapat apa-apa!" Jutar memukul dinding WC. "30-30-40 saja. Itu adil."
Mereka bertiga saling menatap. Atmosfer di WC itu mendadak tegang, tapi Suwang akhirnya tertawa keras, menghentikan ketegangan. "Oke, oke. Demi kelancaran bisnis ini, aku setuju."
Setelah sepakat, mereka bersiap memainkan pertunjukan pengadilan untuk Pukor, pejabat korup yang saat ini tampak akan menjadi sasaran empuk berikutnya.
Pertemuan dengan Pukor
Keesokan harinya, Pukor, pria berkemeja rapi dengan rambut kelimis, duduk di ruang sidang. Senyum samar tersungging di bibirnya saat Jutar mendekat dan mulai bernegosiasi secara langsung.
"Kita bisa membantu meringankan hukuman Anda, Pak Pukor. Tentu saja, dengan biaya yang sesuai," ucap Jutar lembut, mengarahkan pandangannya langsung ke mata Pukor.
Pukor menghela napas, tampak pasrah. "Berapa yang harus saya bayar?"
"Hukuman mati, bisa kita turunkan jadi 20 tahun penjara. Tapi... kalau Anda ingin lebih ringan, mungkin 10 tahun, itu juga bisa diatur. Bahkan, jika angkanya tepat, kita bisa bicarakan soal kebebasan."
Pukor berpura-pura cemas. "Kebebasan? Apa mungkin?"
Suwang, yang duduk di seberang meja, melirik ke arah Matadut. "Sangat mungkin. Tapi tarifnya tidak murah, Pukor. Triliunan yang Anda simpan bisa jadi kebebasan Anda."
Matadut menambahkan, dengan suaranya yang licik, "Lebih baik Anda pikirkan matang-matang. Waktu tidak berpihak pada Anda."
Pukor mengangguk pelan. "Berapa yang kalian inginkan?"
Suwang, Matadut, dan Jutar saling melirik. Matadut akhirnya berkata, "500 miliar untuk mengubah hukuman jadi 10 tahun. Dan kalau Anda mau bebas... tambah 1 triliun lagi."
Wajah Pukor memucat, namun dia menutupi kegugupannya dengan cermat. "Baik, saya akan pikirkan."
Setelah Pukor pergi, mereka kembali ke WC untuk membahas bagi-bagi uang. Namun kali ini, suasana tegang. Suwang menuntut bagian lebih besar lagi, sementara Matadut merasa dialah yang paling bekerja keras.
"Suwang, kau gila? Aku yang mengurus jaksa-jaksa lain, memanipulasi semua berkas. Kau hanya mengetuk palu dan duduk santai," sergah Matadut.
Suwang, yang tidak mau kalah, melotot ke arah Matadut. "Tanpa aku, kau bukan siapa-siapa di pengadilan ini. Jadi aku pantas mendapat lebih!"
"Aku sudah lelah dengan ketamakanmu, Suwang!" teriak Matadut, meski tetap berusaha menahan suaranya agar tidak terdengar di luar WC.
Jutar mencoba menenangkan situasi, tapi perdebatan semakin memanas. Suwang bahkan mendorong Matadut ke dinding, hingga Jutar harus menarik mereka berdua agar tidak terjadi perkelahian.
"Sudah! Sudah! Kita akan mendapat uang banyak dari Pukor. Kita bagi sama rata saja, daripada gagal dapat apa-apa!"
Mereka bertiga akhirnya sepakat lagi. Sementara di luar, mereka tidak tahu bahwa Pukor telah memasang alat penyadap. Semua pembicaraan mereka, seluruh rencana kotor, telah direkam.
Jebakan Pukor dan Kejatuhan Mereka
Beberapa minggu kemudian, sidang berlangsung seperti biasa. Pukor, dengan wajah tenang, tampak pasrah di depan pengadilan. Suwang mengetukkan palunya, mengumumkan keputusan yang telah mereka sepakati: hukuman Pukor diturunkan menjadi 10 tahun penjara, dengan janji kebebasan penuh setelah pembayaran triliunan rupiah.
Namun, tak lama setelah sidang selesai, gedung pengadilan tiba-tiba digeruduk oleh petugas KPK. Mereka masuk dengan cepat, langsung menuju ke ruang Suwang, Matadut, dan Jutar. Ketiganya dibawa ke ruang interogasi, wajah mereka pucat pasi.
Dalam ruang itu, KPK membuka semua rekaman. Suara mereka yang memeras, mengatur harga, dan berunding tentang bagi-bagi uang di WC terdengar jelas.
Matadut terkejut. "Apa-apaan ini? Dari mana mereka dapat rekaman itu?"
Jutar tampak lebih pucat. "Pukor… Pukor itu mata-mata KPK!" teriaknya histeris.
Suwang, dengan wajah tegang, memaki mereka berdua. "Bodoh! Kau biarkan kita terjebak!" Ia menghantam meja dengan keras.
"Kita sudah selesai," bisik Matadut dengan suara rendah, tubuhnya gemetar. "Kita dijebak."
KPK memiliki bukti yang kuat. Tidak ada ruang untuk melawan atau memutarbalikkan fakta. Ketiganya, beserta antek-antek mereka, ditangkap dan dijebloskan ke penjara untuk waktu yang sangat lama. Uang triliunan yang mereka kumpulkan dari hasil menjual hukum disita, rumah-rumah mewah Suwang dan Matadut dirampas oleh negara, sementara Jutar kehilangan lisensi pengacaranya.
Tak hanya itu, publik menuntut hukuman mati. (KH)