Kebijakan ekspor pasir laut yang kembali mencuat di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menimbulkan kontroversi dan kritik. Namun, penting untuk menelusuri sejarah panjang ekspor pasir ini dan memahami bahwa Jokowi bukanlah presiden yang memulai perdagangan ini. Justru, langkah Jokowi membuka kembali ekspor pasir dilakukan dengan kerangka kebijakan yang lebih bertanggung jawab.
1. Â Sejarah Ekspor Pasir Indonesia
Ekspor pasir laut Indonesia, terutama ke Singapura, telah dimulai sejak tahun 1970-an. Kala itu, ekspor pasir menjadi salah satu komoditas penting bagi Indonesia, terutama untuk proyek reklamasi lahan di Singapura. Selama beberapa dekade, jutaan ton pasir dikirim dari berbagai daerah di Indonesia, terutama dari Kepulauan Riau, untuk memperluas wilayah Singapura. Pada puncaknya antara tahun 1976 hingga 2002, diperkirakan sekitar 250 juta meter kubik pasir diekspor setiap tahun.
Namun, dampak lingkungan yang signifikan mulai dirasakan. Banyak pulau kecil mengalami erosi dan beberapa bahkan tenggelam, seperti Pulau Nipah. Tekanan dari masyarakat dan aktivis lingkungan akhirnya memaksa pemerintah pada era Presiden Megawati Soekarnoputri untuk melarang ekspor pasir laut pada tahun 2003. Meskipun demikian, perdagangan ilegal terus terjadi selama bertahun-tahun setelahnya.
2. Kebijakan Jokowi dan Tuduhan yang Tidak Tepat
Pada tahun 2023, Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 26 yang kembali mengizinkan ekspor pasir laut dengan beberapa batasan ketat. Kebijakan ini bertujuan untuk mengelola sedimentasi di perairan Indonesia dan bukan sekadar untuk ekspor komersial. Jokowi menegaskan bahwa prioritas utama adalah memenuhi kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu sebelum mengizinkan ekspor. Pemerintah juga menekankan bahwa aktivitas ini akan difokuskan pada pengelolaan sedimen, bukan penambangan pasir secara besar-besaran seperti yang terjadi di masa lalu.
Namun, kebijakan ini memicu kritik keras dari berbagai pihak, termasuk dari aktivis lingkungan dan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti. Mereka khawatir bahwa pembukaan kembali ekspor pasir akan mengulangi kerusakan lingkungan yang terjadi sebelumnya. Namun, penting untuk dicatat bahwa Jokowi tidak membuka keran ekspor tanpa regulasi. Berbeda dengan era sebelumnya, kebijakan ini dilengkapi dengan pengawasan yang lebih ketat dan berorientasi pada pengelolaan lingkungan.
3. Peran DPR dan Pengusaha dalam Sejarah Ekspor Pasir
Sejak tahun 1970-an, banyak pengusaha yang terlibat dalam perdagangan pasir laut. Perusahaan-perusahaan ini memainkan peran penting dalam memanfaatkan potensi ekspor pasir, terutama untuk pasar Singapura yang sangat bergantung pada impor pasir untuk proyek reklamasi. Namun, sayangnya, tidak ada tindakan yang signifikan dari DPR untuk mengatasi masalah lingkungan yang muncul dari aktivitas ini selama bertahun-tahun. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang seberapa serius pemerintah dan parlemen pada masa itu dalam menjaga keberlanjutan lingkungan.
Sementara itu, ada dugaan bahwa pengusaha-pengusaha besar dengan kepentingan ekonomi di sektor ini telah mempengaruhi kebijakan pemerintah dari waktu ke waktu. Namun, pemerintahan Jokowi telah berjanji untuk menjalankan kebijakan dengan transparansi, dan memastikan bahwa ekspor pasir dilakukan dalam kerangka yang lebih berkelanjutan.
4. Â Kesimpulan
Menuduh Jokowi sebagai pihak yang membuka kembali ekspor pasir tanpa pertimbangan lingkungan tidaklah adil. Sejarah panjang ekspor pasir Indonesia telah terjadi sejak era sebelum Jokowi menjabat, dan tantangan besar bagi pemerintah saat ini adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan. Dengan regulasi yang lebih ketat dan kebijakan yang lebih terfokus, ekspor pasir di bawah Jokowi diharapkan tidak mengulangi kesalahan masa lalu. (KH)