Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Keteladanan dan Kejujuran

27 Mei 2012   16:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:42 694 0



Oleh:Inolllll

“Di Negeri ini hanya ada tiga Polisi yang tidak bisa di suap yaitu patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng.”

Kata-kata di atas adalah anekdot yang diucapkan oleh Gus Dur mantan Presiden Indonesia, anekdot yang mewakili persepsi dari sebagian besar masyarakat terhadap citra kepolisian. Di tengah citra negatif yang seringkali ditujukan kepada polisi, nama (Alm) Hoegeng menjadi legenda di masyarakat. Mantan Kepala Polri di era tahun 1968 – 1971 ini dikenang sebagai sosok polisi yang “keterlaluan” jujurnya, sederhana dan berdedikasi tinggi. Bukan hanya untuk kalangan Kepolisian saja, tetapi masyarakat umum pun dapat belajar dari kisah perjalanan hidup Jenderal Hoegeng.

Hoegeng lahir tanggal 14 Oktober 1921 di Pekalongan dengan nama Imam Santoso, ketika kecil ia sering dipanggil bugel (gemuk), lama kelamaan menjadi bugeng dan akhirnya menjadi hugeng. Ketika dewasa, bahkan sampai tua ia tetap kurus. Sejak kecil Hoegeng bercita-cita menjadi polisi karena melihat sosok kawan karib ayahnya yaitu Pa Ating yang merupakan Kepala Polisi di Pekalongan yang menurutnya gagah, suka menolong orang dan banyak teman. Tahun 1952 Hoegeng lulus dari PTIK dan ditempatkan di Jawa Timur, lalu tugas keduanya adalah menjadi kepala Reskrim di Sumut. Di Sumut kejujurannya mulai di uji, daerah ini saat itu terkenal dengan penyelundupan dan perjudian, ketika Hoegeng tiba ia “disambut” oleh para cukong perjudian dengan mobil dan rumah pribadi, Hoegeng menolak dan memilih tinggal di hotel sampai ia mendapatkan rumah dinas. Tidak sampai di situ usaha dari para cukong untuk menyuap Hoegeng, ketika rumah dinas telah di berikan ternyata rumah tersebut telah terisi perabotan pemberian para tukang suap tersebut. Maka gemparlah kota Medan, karena dengan “teganya” Hoegeng mengeluarkan perabotan tersebut dan membiarkannya begitu saja di pinggir jalan.

Setelah menyelesaikan tugasnya di Sumut, Hoegeng ditarik ke Jakarta untuk menjadi Kepala Jawatan Imigrasi. Ada

kisah menarik ketika Presiden Soekarno mengkaryakannya menjadi Kepala Jawatan Imigrasi (Direktur Jenderal Imigrasi). Sehari sebelum pelantikan, ia meminta isterinya, Merry (Marie Roselina), untuk menutup toko kembang isterinya itu di Jalan Cikini. Alasannya, karena ia akan dilantik menjadi Kepala Jawatan Imigrasi.

“Apa hubungan dengan toko kembang?” tanya isterinya.

“Nanti semua orang yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko kembang Ibu Merry dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya,” jelas Hoegeng. Isterinya pun memahami dan menutup toko kembangnya. Saat dikaryakan dari kepolisian ke Imigrasi itu, ia pun menolak diberi mobil dinas baru karena mobil jip dinas kepolisian yang dipakainya yang juga milik negara dirasa sudah cukup baginya.

Selepas menjadi Kepala Jawatan Imigrasi, Hoegeng diangkat menjadi Menteri Iuran Negara. Ketika menjabat Menteri Iuran Negara. Ia diminta pindah dari rumah pribadi di Jalan Prof Moh Yamin ke rumah dinas yang lebih besar. Permintaan pindah rumah itu ditolak dengan alasan rumah yang ditempatinya sudah cukup representatif sehingga negara tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuknya. Menurutnya, sebagai Menteri Iuran Negara dia bertugas mencari uang untuk negara, bukan sebaliknya, menghabiskan uang negara untuk rumah dan fasilitas yang bukan-bukan. Tahun 1966 ia kembali ke Kepolisian sebagai Deputi Operasi dan tahun 1968 menjadi Panglima Angkatan Kepolisian. Saat itu Hoegeng memprakarsai pemakaian helm bagi pengendara kendaraan bermotor yang ketika itu menjadi polemik. Kini terasa bahwa intruksi itu memang bermanfaat. Suatu cerita yang sering dikisahkan orang adalah soal kebiasaan Hoegeng—saat menjabat Kapolri–ikut-ikutan mengatur lalu lintas ketika laju kendaraan di jalanan agak tersendat. Tak terbayang betapa salah tingkahnya para anak buahnya ketika Pak Hoegeng beraksi. Salah satu anaknya, Reni mengaku sempat kerap terlambat ke sekolah karena ”kebiasaan buruk” ayahnya yang tiba-tiba turun di tengah jalan untuk mengatur lalu lintas.

Polisi Kelahiran Pekalongan tahun 1921 ini, sangat gigih dalam menjalankan tugas. Ia bahkan kadang menyamar dalam beberapa penyelidikan. Kasus-kasus besar yang pernah ia tangani antara lain, kasus pemerkosaan Sum tukang jamu gendong atau dikenal dengan kasus Sum Kuning, yang melibatkan anak pejabat. Ia juga pernah membongkar kasus penyelundupan mobil yang dilakukan Robby Tjahjadi, yang notabene dekat dengan keluarga Cendana. Kasus inilah yang kemudian santer diduga sebagai penyebab pencopotan Hoegeng oleh Soeharto. Bermula dari rencananya untuk menangkap seorang penyelundup besar, yang buktinya di Mabes Polri sudah cukup untuk ditahan. Namun karena si penyelundup itu disebut-sebut dekat dengan Cendana, maka ia ingin lebih dahulu melaporkan penangkapan tersebut kepada Presiden Soeharto. Lalu, ketika sampai di Cendana, ia kaget karena si penyeludup itu tengah berbincang- bincang dengan Soeharto. Sejak saat itu, ia sangat sulit mempercayai Presiden Soeharto.

Hoegeng dipensiunkan oleh Presiden Soeharto pada usia 49 tahun, di saat ia sedang melakukan pembersihan di jajaran kepolisian. Kabar pencopotan itu diterima Hoegeng secara mendadak. Kemudian Hoegeng ditawarkan Soeharto untuk menjadi duta besar di sebuah Negara di Eropa, namun ia menolak. Alasannya karena ia seorang polisi dan bukan politisi. Dia merasa, hal itulah yang mempercepat pemberhentiannya sebagai Kapolri. Walaupun alasan yang dikemukakan oleh Soeharto adalah untuk regenerasi. Alasan yang dibuat-buat. Sebab ketika dia menanyakan siapa penggantinya, Soeharto menyebut Mohammad Hassan, yang ternyata berusia lebih tua darinya. “Begitu dipensiunkan, Bapak kemudian mengabarkan pada ibunya. Dan ibunya hanya berpesan, selesaikan tugas dengan kejujuran. Karena kita masih bisa makan nasi dengan garam,” ujar Merry Roelani istri Soegeng. “Dan kata-kata itulah yang menguatkan saya,” tambahnya.

Barangkali sikap Hoegeng dilatarbelakangi oleh pendiriannya yang ditanamkan sang ayah dari sejak kecil, “yang penting dalam kehidupan manusia adalah kehormatan, jangan merusak nama baik dengan perbuatan yang mencemarkan.”. Ayahnya adalah seorang birokrat yang sampai akhir hayatnya tidak sempat punya tanah dan rumah pribadi. Agaknya baik untuk merenungkan pendapat Hoegeng, “Pemerintahan yang bersih harus dimulai dari atas. Seperti halnya orang mandi, guyuran air untuk membersihkan diri selalu dimulai dari kepala.”

Tanggal 14 Juli 2004 dinihari, Jenderal Hoegeng menghembuskan nafasnya yang terakhir, banyak tokoh menyatakan bahwa orang jujur di negeri ini semakin habis. Saya pribadi meyakini, bahwa masih ada tokoh-tokoh seperti Hoegeng di negeri ini, baik itu Polisi maupun lainnya. Seperti kata-kata Esa Hilang Dua Terbilang, semoga muncul Hoegeng-Hoegeng baru yang bisa lebih baik, muncul lebih banyak lagi orang-orang jujur yang menjaga kehormatan mereka dan tidak mencemarinya dengan perbuatan yang buruk walaupun

Mantan Kapolri dan penganjur pertama pemakaian helm bagi pengendara sepeda motor, ini dikenal bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Dia simbol keteladanan dan kejujuran Polri. Jenderal Polisi (Purn) lulusan pertama Akademi Kepolisian (1952), kelahiran Pekalongan 14 Oktober 1921, ini meninggal dunia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, Rabu 14 Juli 2004 pukul 00.30 WIB.

Sebelumnya, sejak 13 Mei 2004, dia dirawat intensif di RS Polri Kramat Jati, Jakarta akibat mengalami stroke, penyumbatan saluran pembuluh jantung dan pendarahan bagian lambung. Jenazahnya disemayamkan di rumah duka, Kompleks Pesona Kahyangan, Jl Margonda Raya Blok DH-I Pancoran Mas, Depok.

Kemudian dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Giritama, Desa Tonjo, Bojong Gede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu siang 14 Juli 2004. Menurut Aditya Soetanto, putera keduanya, "Ayah meminta dimakamkan di TPu bukan di Taman Makam Pahlawan." Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar dan pimpinan Polri lainnya turut menghadiri acara pemakaman.

Di tengah terjadinya krisis kepercayaan kepada Polri dan birokrasi, ia tampil sebagai seorang yang pantas dipercaya. Sampai-sampai ada guyonan di masyarakat bahwa hanya ada dua polisi yang tidak bisa disuap, yaitu Hoegeng dan polisi tidur.

Ia memang seorang pejabat (polisi) yang senantiasa hidup jujur dan bersahaja. Ia pantas diteladani. Ia simbol kejujuran dan keteladanan bukan hanya bagi kepolisian dan seluruh jajaran birokrasi, tetapi juga bagi segenap lapisan masyarakat.

Semasa menjabat Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri), dia pernah membongkar kasus penyelundupan mobil mewah. Dia pula orang pertama mencetuskan dan menganjurkan memakai helm bagi pengendara sepeda motor, serta menganjurkan kaki mengangkang bagi pembonceng sepeda motor. Ketika itu, dia banyak mendapat kritik. Walau kemudian, setelah ia pensiun, anjurannya berbuah dimana pengendara sepeda motor menjadi sadar betapa pentingnya memakai helm.

Dia seorang yang jujur dan konsisten dalam melakukan kewajibannya sebagai polisi (kapolri). Namun ironisnya, akibat kejujuran dan keteguhannya melaksanakan tugas, dia malah diberhentikan oleh Presiden Soeharto dari jabatan Kapolri sebelum selesai masa jabatan yang seharusnya tiga tahun.

Bermula dari rencananya untuk menangkap seorang penyelundup besar, yang buktinya di Mabes Polri sudah cukup untuk ditahan. Namun karena si penyelundup itu disebut-sebut dekat dengan Cendana, maka ia ingin lebih dahulu melaporkan penangkapan tersebut kepada Presiden Soeharto. Lalu, ketika sampai di Cendana, ia kaget karena si penyeludup itu tengah berbincang- bincang dengan Soeharto. Sejak saat itu, ia sangat sulit mempercayai Presiden Soeharto.

Dia merasa, hal itulah yang mempercepat pemberhentiannya sebagai Kapolri. Walaupun alasan yang dikemukakan oleh Soeharto adalah untuk regenerasi. Alasan yang dibuat-buat. Sebab ketika dia menanyakan siapa penggantinya, Soeharto menyebut Mohammad Hassan, yang ternyata berusia lebih tua darinya.

Dia seorang polisi yang jujur dan bersih dari korupsi. Terbukti, memasuki masa pensiun, ia tidak punya simpanan apa pun. Untunglah para kerabatnya menghadiahinya rumah dan mobil, tanpa diminta. Saat memasuki pensiun itu, ia pun ditawari menjadi duta besar di Belgia, namun ditolak karena merasa tidak cocok, dan lebih suka tinggal di negeri sendiri.

Lalu, ia pun menghabiskan hari-harinya dengan melukis dan bermain musik. Dia memang menyukai musik irama Lautan Teduh sejak muda. Maka setelah pensiun dia bersama istri dan rekan- rekannya mendirikan grup musik The Hawaiian Senior, 1975. Mereka sering tampil di layar TVRI dalam acara Gema Irama Lautan Teduh. Acara itu kemudian dilarang pemerintah sebab dianggap bukan musik Indonesia.

Namun banyak orang beranggapan alasan sesungguhnya pelarangan itu adalah karena sejak Juni 1978, Hoegeng bergabung dalam Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (LKB) yang didirikan atas inisiatif AH Nasution dan Proklamator Mohammad Hatta sebagai penasihat. LKB itu bertujuan melakukan pengawasan dan koreksi terhadap penyelenggaraan negara dan kekuasaan pemerintahan secara konstitusional.

Ia pun terpaksa meninggalkan hobi menyanyi itu. Kemudian sejak Mei 1980, ia bergabung dalam kelompok lima puluh warga negara RI, antara lain Mohammad Natsir, AH Nasution, Syafruddin Prawiranegara, H Ali Sadikin, Burhanuddin Harahap, SK Trimurti, Manai Sophian, Ny D Wallandouw, yang menandatangani "Pernyataan Keprihatinan" terhadap cara penyelenggaraan negara dan kekuasaan pemerintahan Soeharto, yang kemudian populer disebut "Petisi 50".

Mantan Menteri Iuran Negara (1966-1967), itu tak hanya ikut menandatangani, tetapi terlibat aktif dalam Kelompok Kerja Petisi 50, yaitu suatu lembaga kajian tentang masalah kehidupan bangsa dan negara yang didirikan Yayasan LKB. Dia rajin menghadiri pertemuan mingguan yang berlangsung di kediaman Ali Sadikin, di Jalan Borobudur 2, Jakarta Pusat.

Orang yang sangat disiplin soal waktu ini lulus HIS di Pekalongan 1934, MULO di Pekalongan 1937, dan AMS (setingkat SMA) Yogyakarta 1940. Dia sempat kuliah di RHS (Recht Hoge School - Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia (Jakarta) 1942, namun tidak sempat selesai karena Jepang mnyerbu Hindia Belanda dan memaksanya pulang ke Pekalongan.

Di kota kelahirannya itu ia mengecap pendidikan polisi Leeterling Hoofdagent Van Politie (Pendidikan Ajun Inspektur Polisi) tahun1943. Kemudian mengikuti pendidikan Koto Keitsatsu Gakko (Sekolah Tinggi Polisi) di Sukabumi (1944), Provost Marshall General School, AS (1950), PTIK (1952) dan Pendidikan Brimob, Porong (1959).

Dia memulai karier sebagai agen polisi. Kemudian ia menjabat Kapolsek Jomblang, Semarang (1945), Kepala DPKN, Surabaya (1952-1955), dan Kepala Reskrim Sumatera Utara, Medan (1955-1959).

Lalu sempat menjabat Kepala Jawatan Imigrasi (1960-1965). Kemudian, diangkat Presiden Soekarno menjabat Menteri Iuran Negara (1966-1967) dalam kabinet yang disebut Kabinet Seratus Menteri. Kemudian diangkat sebagai Deputi Operasi Menteri Muda Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak) tahun1967-1968. Dalam buku "Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan", karya Abrar Yusra dan Ramadhan KH, terbitan Pustaka Sinar Harapan 1993, disebutkan, pengangkatan menteri itu adalah atas usulan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Pada 1 Mei 1968, pangkatnya naik sebagai Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi atau bintang tiga, dan dua minggu berikutnya (15 Mei 1968) dilantik oleh Presiden Soekarno menjadi Panglima Angkatan Kepolisian RI (jabatan Kapolri saat ini) dengan Inspektur Upacara Jenderal Soeharto.Dia menjabat Kapolri tahun 1968-1971.

Ada kisah menarik ketika Presiden Soekarno mengkaryakannya menjadi Kepala Jawatan Imigrasi (Direktur Jenderal Imigrasi). Sehari sebelum pelantikan, ia meminta isterinya, Merry (Marie Roselina), untuk menutup toko kembang isterinya itu di Jalan Cikini. Alasannya, karena ia akan dilantik menjadi Kepala Jawatan Imigrasi.

"Apa hubungan dengan toko kembang?" tanya isterinya.

"Nanti semua orang yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko kembang Ibu Merry dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya," jelas Hoegeng. Isterinya pun memahami dan menutup toko kembangnya.

Saat dikaryakan dari kepolisian ke Imigrasi itu, ia pun menolak diberi mobil dinas baru karena mobil jip dinas kepolisian yang dipakainya yang juga milik negara dirasa sudah cukup baginya.

Begitu juga ketika menjabat Menteri Iuran Negara. Ia diminta pindah dari rumah pribadi di Jalan Prof Moh Yamin ke rumah dinas yang lebih besar. Permintaan pindah rumah itu ditolak dengan alasan rumah yang ditempatinya sudah cukup representatif sehingga negara tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuknya. Menurutnya, sebagai Menteri Iuran Negara dia bertugas mencari uang untuk negara, bukan sebaliknya, menghabiskan uang negara untuk rumah dan fasilitas yang bukan-bukan.

n memiliki jabatan yang tinggi dan mempunyai kuasa.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun