Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Gadis Salju

21 November 2013   21:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:50 127 2

Dia bukan orang
sembarangan. Dia bukan gadis seperti gadis lainnya yang pernah ku temui dalam
hidupku. Ia berbeda. Sangat berbeda. Memulai tentang dirinya, aku bingung.
Harus mulai dari mana? Jujur, aku mulai mengenal dirinya bukan semenjak kaki
ini menginjak Kota Surabaya. Juga bukan ketika memulai matrikulasi di Hotel
Delta. Bukan berarti aku acuh tak acuh. Bukan. Namun lebih karena ketika itu
kacamata ku sedang rusak, sehingga aku tak mampu melihat jelas teman-teman seperjuangan
di
kampus
ini. Terlebih kepada kaum hawanya. Mereka seakan kabur dipandangan mataku,
samar-samar. Mereka semua terlihat jelas ketika perkuliahan telah aktif,
sekitar dua bulan setelah masa matrikulasi di Hotel yang sekarang tinggal
bangkainya saja. Itu pun setelah aku mempunyai kacamata baru.


Seiring berjalannya
waktu, dengan beragamnya teman-temanku secara kultural dan geografis, tentunya
tidak bisa sekaligus aku mengenal mereka secara keseluruhan dalam waktu yang
sama. Butuh waktu lama untuk bisa beradaptasi dengan orang-orang yang datang
dari hampir se-Indonesia ini. Khususnya si gadis berkacamata
ini.


Sejak bisa menatap
wajahnya dengan jelas, aku merasakan sedikit kejanggalan darinya. Ia pendiam.
Dingin. Tak sama seperti teman-teman lain yang kukenal. Walaupun nggak semuanya
terbuka, tapi yang ini betul-betul beda. Ia seperti tak ingin diketahui orang
banyak. Ia seperti ingin mengasingkan diri dari kami. “Kalau
dia, mesti kayak gitu”
kata salah satu teman cewek ketika kutanya kenapa ia begitu dingin.


Pernah suatu saat,
aku iseng memanggil namanya. Hanya ingin mencoba benarkah ia dingin seperti
yang dikatakan teman-taman. Ku corongkan tangan ini ke mulut lalu berteriak
memanggilnya. Tak menoleh. Sekali lagi ku panggil dengan volume yang lebih
tinggi. Tak juga bergeming. Aku tak percaya kalau ia tak dengar panggilan ku.
Padahal jarak aku dan dia tidak terlalu jauh. Sampai-sampai aku berasumsi bahwa
benar apa yang teman-teman bilang, ia dingin. Tapi aku nggak mau su’uzhon
begitu saja. Mungkin ia memang tidak mendengar panggilanku. Karena ketika itu
memang suasana kampus sedikit ramai ditambah deru knalpot motor yang
lalu-lalang. “biarlah” ucapku lirih.


Berbulan-bulan sudah
kami lalui kebersamaan di
kampus
ini. Namun, belum ada sedikitpun tanda-tanda “es” itu mencair
darinya. Ia masih seperti yang aku temui saat pertama kali, dingin. Kulihat
juga tak banyak teman yang mendekatinya. Hanya itu-itu saja yang selalu
bersamanya. Sampai segitu tertutupkah dirinya? Sampai-sampai ia begitu sulit
menerima teman yang lain. Hhm….
Entah kapan itu, aku sedikit
lupa kejadiannya. Ketika itu aku sedang keluar hendak membeli sesuatu. Dengan
ditemani sepeda, aku segera meluncur ke tempat tujuan. Sesampai di persimpangan
pabrik kulit, aku berpapasan dengan gadis berkacamata ini bersama teman
akrabnya. Sebenarnya ingin hati ini untuk menyapanya. Namun entah bagaimana,
tiba-tiba ia yang menyapaku terlebih dahulu, “
Hai…..” Lho, aku heran. Benarkah ia yang menyapaku?
Benarkah gadis berkacamata ini yang me
nyapaku barusan? Apa aku yang salah dengar? Kulirik
ia. Benar. Bahkan ia juga tersenyum padaku. Sebelum wajah ini melewatinya,
kubalas sapanya, “Iya…..” balasku cepat. Selama perjalanan menuju tempat
tujuan, aku terus memikirkannya. Benarkah ia telah berubah? Apakah “es” itu
mulai mencair? Ah, bukankah setiap orang berhak untuk berubah. Itu hak dia. Aku
melanjutkan perjalananku.


Besoknya, ia
kembali “dingin”.


Bulan Februari
2013. Kami diwajibkan untuk mengikuti kursus bahasa inggris di Pare selama
sebulan penuh. Kegiatan pembekalan ini kembali memberikan pengalaman serta
pembelajaran yang tak ternilai bagiku. Berbagai macam ilmu mulai kuserap
perlahan. Dari yang pokok seperti materi bahasa inggris, sampai persosialisasian
kepada teman-teman. Disini jugalah aku mulai mengenal karakter asli teman-teman
yang lain bermunculan. Dari yang bersifat pemaaf, ramah, egois, emosian, loyal,
dan karakter-karakter lainnya. Campur aduk. Semuanya kupelajari, semuanya
kupahami. Dan di sini juga sedikit demi sedikit rahasia teman-teman ku mulai
terkuak. Ada
yang begini, dan ada yang begitu. Kesannya sedikit lucu.


Aku lupa, entah
minggu ke-tiga atau minggu ke-empat, pastinya malam hari ketika pelajaran
speaking di depan
asrama to male. Ketika itu kami disuruh untuk melakukan conversation.
Tiba-tiba aku kebagian jatah bersama
dia. Alamak! Apa nggak salah aku ini. Masak harus conversation
sama si gadis ‘salju’ ini? awalnya aku ingin menolak. Aku mau mencari pasangan
(sengaja aku menulis pasangan. Kalau kutulis lawan, kok kayaknya mau berantem.
Hehehe) yang lain saja. Tapi yang lain sudah keburu duduk dengan pasangannya
masing-masing. Aku bingung. “Ah, yang namanya tugas, ya tugas. Mau nggak mau
harus kukerjakan” batinku menggerutu. Ku kumpulkan segenap keberanian. Hap,
dapat! Akhirnya aku bisa juga memulai percakapan dengannya.


Awalnya sih agak
canggung, namun lama-kelamaan terbiasa juga, kok. Aku juga sudah bisa mengikuti
ritme bicaranya. Sesuai tema, kami membahas tentang peran bahasa inggris
terhadap kehidupan kami. Tidak banyak yang kami bicarakan, karena soal-soal
yang harus dipertanyakan sudah tersaji di papan tulis. “Kalau mau ditambah,
silahkan” kata
teacher menjelaskan tata cara conversation. Percakapan kami hanya dibatasi
10 menit. Setelah itu kami disuruh untuk mencari pasangan lain yang bisa diajak
berbicara.


Nah, disinilah
muncul masalah baru. Ketika tim aku dan
dia selesai, tim teman di sampingku dan entah siapa satunya lagi
juga selesai. Sekonyong-konyong
dia memanggil temanku untuk menjadi partner bicaranya. “Gak mau, ah. Aku takut sama kamu”
jawab
temanku
reflek. Tiba-tiba muka
dia sedikit berubah. Aku melihat muka yang tiba-tiba cemberut. Kayaknya
temanku salah
omong nih, pikirku. Ia terdiam sejenak. Lalu tanpa aba-aba, ia bertanya sesuatu
kepadaku diluar topik. “
Hai, benar ya aku ini menakutkan? Kenapa teman-teman banyak yang
menjauhi ku?” (kira-kira begitulah inti pertanyaannya. Redaksi aslinya aku
sedikit lupa) pertanyaan yang menohok. Aku bingung mau jawab gimana. Kalau
jawab begini, takut salah. Jawab begitu, takut bikin sakit hati. Tapi mau nggak
mau aku harus bilang yang sesungguhnya. Dan aku yakin ia sudah tahu apa yang
akan aku jawab. Simpel saja, “Kamu itu kalau kami lihat agak tertutup. Bisa
dibilang kurang memperhatikan lah… Jadi, kalau mau diperhatikan dan tidak
ditakuti, perhatikanlah teman-teman yang lain”. Lagak ku memang udah kayak
konselor. Tapi ini lah aku. Kalau ditanya seseorang, selagi aku mampu
menjawabnya, maka akan kujawab. Sebenarnya aku juga takut-takut mengatakan hal
ini. Takut kalau ia merasa tersinggung atau sakit hati. Ah, biarlah. Toh, juga
sudah terlanjur ku katakan. Kulihat senyum itu terbit dari bibirnya. Tapi ada
yang aneh dari senyumnya. Senyum terimakasih kah? Atau senyum keterpaksaan karena
jawaban pahit dari ku? Entahlah. Sampai sekarang masih begitu misteri.


Selama di Pare ini
juga, aku baru mengetahui kalau ia mempunyai bakat yang terpendam. Itu jelas
terlihat ketika kelas kami kebagian piket tuk performance shalawat. Awalnya aku
tak percaya ketika ia maju sebagai imam shalawat. Namun setelah memecah
keheningan dengan lengkingan suaranya yang tinggi, baru aku sadar, ternyata
gadis ini mempunyai talenta yang luar biasa. Inilah untuk pertama kalinya ia
membuat kami, aku khususnya, terkagum oleh penampilannya. Bakat yang dulu
pernah menjamah diriku. Namun setelah itu entah pergi kemana. Terkubur begitu
saja dalam-dalam. Hhm…


Baiklah. Seiring
berjalannya waktu, entah mengapa, tanpa disadari aku mulai terjerembab kedalam
ukhuwwah bersama gadis berkacamata ini. Aku lupa. Tapi yang pasti, selama
hampir satu tahun aku hidup di Surabaya,
namun baru belakangan ini aku memiliki nomer HPnya. Aneh, kan? Ya, aneh. Aku begitu takut hanya untuk
bertegur sapa dengannya. Walaupun hanya sekedar via SMS. Jangankan berteman
dengannya, untuk sekedar memanggil namanya saja butuh ribuan molekul keberanian
yang diteguhkan dengan keyakinan.


Namun, (lagi-lagi)
entah mengapa aku tiba-tiba aku mendapat segenap keberanian untuk meminta
nomernya dari salah seorang teman. Kayaknya ketika itu sedang urgent. Tapi
bermula dari sinilah komunikasi ku dengannya mulai terjalin. Terjalin hanya
sebatas sms.


Setelah itu kami
sudah agak terbiasa berkomunikasi (lagi-lagi) melalui SMS. Ternyata, di balik
ke’diam’annya, ia adalah orang yang enak untuk sekedar bercerita dan berbagi. Namun
yang anehnya, kami seakan tidak pernah berkomunikasi langsung. Ada bulan dan malam yang memisahkan kami. Ada bulan dan malam yang
menghantarkan sms kami. Entahlah. Tapi aku mulai menikmati gaya sms yang seperti ini. Seumur-umur baru
kali ini bersms-an dengan perantara bulan dan malam. Dari sini juga aku tahu,
ternyata ia memiliki perbendaharaan sastra yang sangat banyak. Ia seakan
seorang calon sastrawan besar yang sedang merajut mimpinya. Aku yakin, suatu
saat nanti bakalan banyak buku-buku yang terlahir dari ujung penanya. Aku yakin
itu.


Ironisnya, komunikasi
kami ini seakan hanya sebatas mimpi, sebatas dunia maya. Bagaimana tidak,
besoknya, dia yang ku kira sudah “mencair”, kembali “dingin”. Seakan malam
sebelumnya tak pernah terjadi apa-apa, mungkin pun tak pernah terjadi apa-apa. Ia
kembali kepada keheningan yang tetap bersemayam di dalamnya. Tapi aku nggak
akan pernah protes kepadanya. Ia adalah ia. Bukan aku. Kalau itu sudah menjadi
prinsip hidupnya, mungkin itulah yang terbaik baginya. Lagian, setelah
kupikir-pikir, diam bukan berarti tidak peduli. Mungkin saja disana tersimpan
rahasia besar yang belum boleh aku ketahui. Entahlah….

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun