Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Jelajah Lampung

31 Desember 2009   03:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:42 479 0
Lampung memang bukan termasuk daerah tujuan turisme yang dikampanyekan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata melalui Visit Indonesia Year. Lampung juga tak menarik perhatian backpacker sebagaimana mereka ‘menemukan’ Tana Toraja. Namun tak perlu menyesali situasi. Saya yang akan mengabarkannya kepada anda.

Cara paling taktis menikmati Lampung adalah menyusurinya dari selatan menuju utara. Diutamakan bila kita mengawalinya dari Jawa, bermula dari Pelabuhan Merak di utara Banten. Selepas Merak, kita akan mengarungi selat sempit yang paling sering disebut dalam perayaan arus mudik saat lebaran: Selat Sunda. Mengarungi Selat Sunda bagi saya adalah model ‘berlayar yang menyenangkan’: perjalanan laut hanya sekira dua jam, tepian horison yang beberapa saat menghilang kemudian berganti suguhan lanskap gugusan pulau-pulau kecil yang hijau, dan belum sampai jenuh di atas Ferry, Pelabuhan Bakauheni telah terlihat samar di ufuk.

Ferry membutuhkan waktu sekira 15 menit untuk membuang sauh, sandar dan berlabuh. Sesaat kita dapat menikmati hiruk pikuk pelabuhan dari atas kapal, termasuk remaja yang berenang memperebutkan uang logam yang dilemparkan penumpang ke laut. Menikmati Menara Siger di bukit kecil tepat di muka daratan. Menginsyaratkan ucapan selamat datang kepada anda di bumi Lampung. Anda dapat berganti bus AKDP di terminal pelabuhan menuju Terminal Rajabasa di Bandar Lampung. Terminal Rajabasa merupakan terminal induk, di mana konsentrasi penumpang akan dialokasikan menuju kota-kota tujuan di seantero Lampung.

Perjalanan antara Bakauheni menuju Bandar Lampung pada awalnya membosankan. Hamparan semak sambung-menyambung di kiri-kanan aspal yang membelah punggung bukit berkelok-kelok. Lampung terhitung bukan wilayah yang memiliki lanskap karunia Tuhan yang mengagumkan. Maklumlah, Lampung tak memiliki gunung berapi. Dari ‘teori’ yang saya ketahui, daerah yang berada dekat gunung berapi akan berpotensi menjadi lanskap yang menggoda fotografer untuk mengaguminya dalam berlembar-lembar potret. Gunung berapi yang mual akan meletus, menumpahkan rupa-rupa lahar, bebatuan, dan bentang alam yang berbukit dengan lembah-lembah yang hijau. Muntahan gunung berapi bukan rahasia lagi telah menjelma menjadi lapisan humus yang tebal. Tempat paling baik bagi flora tropis untuk tumbuh, berbiak, dan memamerkan keanggunannya kepada kita. Kawasan yang memiliki gunung berapi di Sumatera hanya Sumatera Barat. Tak heran, ranah minang, termasuk Tapanuli adalah tanah yang paling otentik tropis di Sumatera.

Jangan dulu mengeluh. Sekira satu jam perjalanan kita akan tiba di punggung perbukitan yang berbatasan langsung dengan Teluk Lampung. Di kejauhan terhampar Gunung Betung menjaga daratan Lampung dari celah sempit teluk. Memandangi Gunung Betung saya jadi teringat pengalaman saya ‘magang’ sebagai community organizer sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat peduli lingkungan hidup beberapa tahun lalu. Saya pernah bermalam di lereng gunung itu bersama ‘perambah hutan’ yang terimpit dua program: Sistem Hutan Kemasyarakatan yang diintroduksi lembaga tempat saya sempat belajar, dan model pengelolaan hutan a la Departemen Kehutanan. Menjangkau ‘komunitas rimba’ Gunung Betung tak mudah. Karena saya harus berjalan kaki tiga jam melalui jalan setapak, sesaat setelah jalan terakhir berujung pada sebuah sungai. Saya beruntung karena dijemput dengan motor trail oleh ‘masyarakat pemanfat hutan lestari’ ini. Saya hanya boleh duduk dan memejamkan mata, karena jalan setapak dari tanah berbatu yang licin oleh embun membuat saya berdoa untuk segera tiba dengan selamat.

Pantai-pantai di Teluk Lampung telah disulap menjadi daerah wisata air yang modern. Pionirnya tak salah lagi: Taman Hiburan Rakyat (THR) Pasir Putih, Pulau Pasir dan Merak Belantung. Kini THR itu mulai meredup pesonanya, berganti dengan Kalianda Resort yang dikelola secara lebih profesional oleh Group Bakrie. Belakangan Kalianda Resort dengan manajemen THR mengubah visi menjadi resort yang lebih representatif dalam Krakatoa Nirwana Resort. Lampung kini memang memiliki jualan baru: anak Gunung Krakatau (Gunung Rakata) yang menyembul dari lautan Selat Sunda. Obyek wisata ini terbilang menarik, karena jarang ada pulau-gunung di tengah laut menjadi daerah tujuan wisata, baik di Indonesia maupun di dunia. Menarik tentu saja berbanding lurus dengan mahal. Tetapi tanpa mengeluarkan sepeser pun kita tetap dapat menikmati bentang alam Teluk Lampung dari kendaraan di Jalan Lintas Sumatera ini. Pemandangan lepas pantai Teluk Lampung hilang timbul diantara kendaraan yang menyusuri punggung perbukitan hingga kita memasuki wilayah Bandar Lampung.

Bandar Lampung hari ini telah menjadi kota yang terus menyejajarkan diri dengan kota-kota besar lain di Indonesia. Bandar Lampung merupakan pintu gerbang Sumatera yang menghubungkannya dengan Jawa. Jarak yang hanya sekira 200 km dari Jakarta membuat Bandar Lampung menjadi ‘halaman belakang’ ibukota. Terlebih ketika Banten ‘merdeka’ dari Jawa Barat. Arus migrasi ekonomi dan budaya semakin tak terbendung lagi. Keberadaan Universitas Lampung (Unila) semakin menegaskan Bandar Lampung telah menjadi kota kosmopolitan baru. Saya tak punya data statistik asal domisili mahasiswa Unila, namun lebih dari separonya saya kira berasal dari luar Lampung. Sebagian besar berasal dari Banten, Jakarta dan Jawa Barat sebalah barat dan utara. Statistik ini juga berarti bahwa perubahan sosial sedang merembes ke semua sisi kehidupan Bandar Lampung.

Dalam sejarah Lampung yang dimulai beberapa abad lalu, kedudukan ibukota provinsi tidak ajeg. Saat Lampung dianeksasi Belanda abad ke- 18, Residen Lampung berkedudukan di Terbanggi Besar, wilayah Lampung Tengah saat ini yang berada di jauh pedalaman. Kemudian ibukota dipindahkan ke Teluk Betung, di tepi Teluk Lampung bersamaan dengan efektifnya Pelabuhan (Internasional) Panjang. Oleh sebab agresi militer Belanda dalam perang kemerdekaan, pejuang kita memindahkan ibukota yang telah diduduki Belanda di Teluk Betung ke Labuhan Maringgai, di laut timur Lampung. Setelah pengakuan kedaulatan Lampung memiliki dua ibukota: Tanjung Karang-Teluk Betung. Tanjung Karang merupakan pusat niaga dan geliat ekonomi kota, sedang Teluk Betung tempat pamong praja berkantor. Tanjung Karang dan Teluk Betung dipisahkan oleh jarak sekira 15 menit perjalanan dengan angkutan kota. Baru tahun 1985, ibukota Lampung secara definitif berganti nama menjadi Bandar Lampung, di mana Tanjung Karang dan Teluk Betung menjadi kecamatan di dalamnya. Saya kira model ‘kota kembar’ di republik ini hanya dapat kita jumpai di Bandar Lampung.

Bila anda berkesempatan berkunjung ke Bandar Lampung, sebaiknya bermalam di Teluk Betung barang satu atau dua malam. Teluk Betung merupakan kawasan kota lama di Lampung. Dalam satu kesempatan tahun 2006 saya pernah menginap di salah satu losmen murah di kota ini. Pada beberapa tempat kita dapat menikmati Teluk Lampung dari ketinggian bukit. Di dalam kota, kita dapat berjalan-jalan menikmati sisa kejayaan kota. Gedung-gedung kuno yang kusam, sebagian diantaranya kumuh dan tak dimanfaaatkan lagi dapat dengan mudah kita jumpai di sudut kota. Masih di Teluk Betung kita dapat singgah menikmati kuliner khas Lampung, seperti pempek di Jalan Mayor Salim Batubara (Salemba) di Kupang Teba, Teluk Betung Selatan. Lampung juga dikenal luas sebagai penghasil durian kelas satu di republik kita. Durian Puter Alam merupakan plasma nutfah durian dari kawasan Agrowisata Batu Putu, Teluk Betung Utara. Anda ingin mencicipi kerupuk kemplang dari ikan belida yang disajikan setelah dipanggang terlebih dahulu (bukan digoreng seperti umumnya kerupuk)? Atau menjajal lempok durian, dodol durian atau kopi lampung, keripik sejak bercitarasa keju, coklat, manis atau gurih hingga sambal Lampung home made yang banyak dicari wisatawan? Tak salah lagi anda harus mampir di Toko (Manisan) Yen-Yen Jalan Kakap, masih di kawasan Teluk Betung.

Perjalanan dapat kita lanjutkan menyusuri Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum). Jalinsum membelah Sumatera sejak Lampung hingga Aceh. Jalinsum sama maknanya dengan Jalan Deandles yang menghubungkan Anyer di Banten dan Panarukan di Jawa Timur. Bila Jalan Deandles panjangnya ‘hanya’ sekira 1.000 km, Jalinsum membentang sepanjang 2.500 km. Jalinsum bercabang empat menjadi Jalan Lintas Tengah (Jalinteng) sebagai jalan utama dan Jalan Lintas Barat (Jalinbar), Jalan Lintas Timur (Jalintim), dan Jalan Raya Lintas Pantai Timur.

Setelah Bandar Lampung kita dapat melanjutkan perjalanan menuju Metro melalui Jalinteng. Metro pada awalnya adalah ibukota Lampung Tengah, namun saat ini menjadi Kota Metro yang berdiri sendiri. Tata kota Metro paling menarik diantara kota-kota lain di Lampung. Metro juga satu-satunya kota yang memiliki alun-alun, dan tata kota yang menyerupai pola papat keblat lima pancer seperti umumnya kota-kota di Jawa. Tak heran, karena Metro merupakan daerah tujuan transmigrasi dari Jawa yang diberangkatkan sejak 1905. Populasi penduduk bersukubangsa Jawa di Lampung terhitung besar, 62%. Disusul penduduk asli Lampung sebanyak 12% dan perantau asal Sunda sebanyak 11%. Banyaknya populasi penduduk bersukubangsa Jawa di Metro pula yang meneguhkan identitasnya sebagai Jogja van Lampung, selain konsep tata kotanya tentu saja. Meskipun menurut sejumlah sumber, tata kota Metro sudah didesain pemerintah kolonial yang ingin menjadikan Metro sebagai poros atau sumbu bagi kota-kota satelitnya. Metro memang didesain menjadi ‘metropolis’, alias sumbu.

Selepas Metro jangan lewatkan Sukadana, dan terutama Menggala yang dapat ditembus melalui Jalintim. Sukadana merupakan ibukota Lampung Timur. Sedang Menggala yang berada di utara-timur Lampung merupakan ibukota Tulang Bawang. Tulang Bawang adalah kerajaan yang sejaman dengan Sriwijaya di Palembang. Sukadana dan Menggala merupakan kota tua di Lampung. Satu waktu saat akan ke Pusat Latihan Gajah (PLG) Way Kambas, saya melintasi Sukadana. Kota ini memang otentik Lampung: rumah-rumah panggung dari kayu ulin yang kukuh, halaman rumah yang luas, dan penduduknya yang masih memegang teguh tradisi. Menggala memang belum pernah saya kunjungi. Namun otensitas kelampungan Menggala lebih nyata. Rumah-rumah panggung penduduk masih banyak berjajar rapi di jalan-jalan sempit Menggala. Sungai-sungai yang membelah kota serupa kanal-kanal, apalagi di kota ini memang pernah terdapat pelabuhan transito internasional pada masanya, tepatnya sebelum abad pertengahan. Kondisi ini membuat Menggala mendapat julukan Parijs van Lampung. Di Menggala pula, Hollands Inlandsche School (HIS) atau sekolah dasar berbahasa pengantar Belanda pertama kali didirikan di Lampung selain di Teluk Betung.

Perjalanan dapat kembali melalui Jalinteng kembali. Menuju Kotabumi. Dan Way Kanan. Sesaat mendekati Kota Bumi kita akan melintasi Blambangan Pagar. Kawasan ini juga otentik Lampung: rumah-rumah panggung di kiri-kanan Jalinteng. Bahkan kita dapat mengintip nuwo sesat, rumah adat Lampung yang posisinya persisi di tepi jalan. Bila beruntung, ketika melintasi kawasan ini kita dapat bertemu dengan iring-iringan penduduk yang sedang melaksanakan upacara adat begawi, atau upacara pemberian gelar adat (adok) pada pemimpin adat (penyimbang atau saibatin).

Memasuki Kotabumi kita akan disambut bunderan, dengan tugu berornamen gajah tepat di tengahnya. Perjalanan masih panjang. Kita dapat meneruskannya hingga Way Kanan menuju Blambangan Umpu. Ibukota Kabupaten Way Kanan ini kini sedang mematut diri. Namun pesona otensitas Lampungnya belum pudar. Saya tak mungkin lupa, sebagian masa liburan sekolah saya saat kanak-kanak dulu dihabiskan di kota ini, di rumah kakek saya. Penduduk Blambangan Umpu umumnya orang asli Lampung. Kakek saya bermukim di kota ini sejak tahun 1960an. Hingga tahun 1990an, di pusat kota Blambangan Umpu populasi orang Jawa tak sampai sepersepuluh jumlah penduduk. Saya yang kerap berlibur ke kota ini beruntung dapat tinggal di kota yang otentik dengan nuansa Lampung. Rumah panggung berbaris rapi di kanan kiri jalan, dengan satu dua rumah yang menjejak tanah. Rumah kakek saya salah satunya dari sedikit rumah yang menjejak tanah.

Sesaat setelah mandi sore saya suka kerap diajak bibi silaturahim ke tetangga. Menaiki rumah panggung. Semula saya khawatir lantai papan yang tebal—anda dapat membayangkan serupa bantalan rel kereta api—akan berderak bila diinjak. Namun saya keliru. Rumah panggung ini semakin tua semakin kukuh. Lantainya licin dan mengilap, karena tetangga kakek saya umumnya cukup rajin, mengepel dua kali sehari. Saya masih ingat kadang-kadang diajak turut makan malam. Makan malam di wilayah ini dimulai sejak pukul 17.00. Agak berbeda dengan kebiasaan kami yang makan malam ‘selepas maghrib’, atau 18.30. Menu yang disajikan masih otentik Lampung. Salah satunya sambal seruit, yakni sambal terasi, diaduk menjadi satu bersama tempoyak—fermentasi durian, ikan bakar, dan terong bakar. Bila anda belum familier dengan tempoyak, bolehlah mencoba sedikit-sedikit. Saya baru mampu menikmati tempoyak—hingga kini—setelah menginjak kelas dua Sekolah Menengah Pertama.

Lampung memang tak lekang dari kenangan saya. Sambil menghimpit rindu untuk mengunjunginya lagi, saya terngiang syair Sang Bumi Ruwa Jurai karangan Syaiful Anwar: Jak ujung Danau Ranau, Teliu di Way Kanan, Sampai pantai lawok jaoh, Pesisir rik Pepadun. Teringat dengan kejayaan kopi, lada, dan bentang alamnya: Kik ram aga burasan, Hujau ni pemandangan, Kupi lada di pematang, Api lagi cengkeh ni, Telambun beruntaian, Tanda ni kemakmuran. Saya menundukkan kepala, hening sejenak. Teringat janji menggetarkan yang dipopulerkan Sjahroedin Z.P: Demimu Lampungku, Padamu Bhaktiku...

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun