Semenjak Bondan Winarno menjadi host Wisata Kuliner di Trans TV beberapa tahun lalu, kuliner tidak lagi dianggap sebagai persoalan makan dan pemenuhan kebutuhan subsistensi dasar belaka. Kuliner telah naik kelas menjadi satu ‘disiplin ilmu’ dan ‘layak’ didiskusikan secara ilmiah. Saat ini ada disiplin ilmu yang disebut gastronomi, yakni disiplin ilmu yang mencari perhubungan antara kebudayaan dan makanan. Gastronomi berasal dari kata gastros yang dapat kita artikan sebagai perut atau lambung, serta nomos, semacam logos, yang umum diartikan sebagai ilmu atau pengetahuan. Kuliner kemudian dikenal publik sebagai karya yang direproduksi dari tradisi, sistem nilai, dan budaya yang panjang. Begitu juga ketika kita hendak membincangkan Warteg. Warteg, sebagaimana Rumah Makan Padang, Lapo (Lepau) Tuak Medan, Lesehan Jawa (Sunda, Yogyakarta atau Solo), Warung Kopi, Warung Bubur Kacang Hijau (Burjo) atau Kedai sejatinya merupakan manifestasi dari budaya yang terangkum dalam tradisi kuliner.
Kekaguman saya pada kuliner bermula dari dapur rumah saya. Semenjak kecil ruang favorit saya saat pagi atau sore hari bukan di depan televisi, melainkan di dapur. Menemani ibu saya memasak. Saya umumnya menonton ibu memasak, sambil bercerita rupa-rupa hal. Sampai kini, ketika berkesempatan mudik di dapurlah secara efektif kami sekeluarga dapat bercerita. Selepas dari dapur, umumnya kami memiliki agenda sendiri-sendiri. Karena itu saya mengapresiasi tradisi saudara-saudara kita di Manado, yang kabarnya mengikat persaudaraan di rumahnya melalui meja makan.
Selain ibu, tak salah lagi saya mengagumi kuliner melalui Bondan Winarno, meskipun selain Bondan terdapat sejumlah nama yang juga dapat kita dudukkan sebagai pakar kuliner. Bondan dikenal publik lewat idiom mak nyus, satu idiom yang menurut pengakuannya ia kutip dari Umar Kayam. Bagi saya idiom mak nyus sangat pas komposisinya secara estetik dan melodius didengar. Karena itu saya tak pernah habis pikir, bagaimana mulanya dan bagaimana bisa sejumlah anak muda (dan selebriti) melafalkannya sebagai mak nyos. Mak nyos saya rasakan sebagai idiom yang dingin, hampa, dan tak melodius sama sekali.
William (Wirjaatmadja) Wongso, tentu satu nama yang harus disebut sebagai pakar kuliner terkemuka tanah air. Wongso yang dikenal luas setelah memandu Cooking Adventure with William Wongso di Metro TV ini termasuk yang jarang saya tonton. Bukan tak senang pada Pak Wongso, tetapi segmentasi Pak Wongso bagi saya terlalu tinggi. Acara masak-memasaknya umumnya menyajikan menu-menu yang tak sehari-hari, menggunakan bumbu-bumbu yang hampir tak ada di dapur ibu saya. Selain Pak Wongso ada Onghokham, sejarawan Universitas Indonesia (UI) yang gemar makan dan memasak. Pak Ong tak secara khusus menjadi ‘pakar kuliner’ yang dikenal publik, ia lebih tepat disebut sebagai ‘koki’ dan ‘penikmat kuliner’ alias ‘tukang makan’ yang kampiun. Menurut kata koran yang saya baca, Pak Ong selalu memasak makanan yang enak-enak saat ulang tahunnya. Sayang, karena saya sudah pasti berada di lingkaran luar-jauh kehidupannya, tak pernah sekalipun saya diundang dalam setiap pestanya. Sayang memang.
Tak lupa Hermawan Sulistyo. Bapak satu ini saya kenal betul melalui konsentrasi studinya, yakni gerakan sosial (dan gerakan mahasiswa), satu bidang kajian yang menarik hati saya. Saya selalu tak puas membaca buku-buku gerakan mahasiswa yang hanya berisi ‘sejarah’ dan ‘kutipan data’. Namun melalui bukunya Lawan! Jejak-Jejak Jalanan di Balik Kejatuhan Soeharto (2002), saya memperoleh gambaran lapangan, bagaimana ‘kelakuan’ mahasiswa di jalanan. Bagaimana satu demosntrasi di-setting, bagaimana muncul pertama kali istilah korlap atau jenlap, bagaimana mahasiswa bersitegang dengan aparat. Buku itu, dan Palu Arit di Ladang Tebu (2000) bagi saya adalah satu features yang paling enak dibaca. Setelah saya tahu Hermawan memandu Jejak Kuliner di TV One, minat saya pada kulinari semakin membuncah.
Sebelumnya, saya menyukai kuliner melalui acara memasak di televisi. Tak salah lagi, Sisca Suwitomo host Aroma di Indosiar adalah favorit saya. Acara memasaknya demikian hidup. Yang saya maksud hidup tak hanya cara penyampaiannya, tetapi apa yang dimasaknya. Bila ada acara memasak, namun yang dimasak aneh-aneh, sesuatu yang baru didengar ibu saya dan tak akan pernah direncanakan akan dimasaknya, segera saya tak tertarik pada acara itu. Bu Sisca favorit saya, di samping Haryo Pramoe, yang memandu Harmoni Alam di Trans TV. Haryo saya nikmati melalui cara memasaknya yang mengindikasikan saya bahwa Haryo mantan ‘anak Mapala’. Cara masak yang alami, mendekati ‘jorok’, dan suka melempar-lempar kompor serta penggorengan yang habis dipakai bagi saya khas, jantan. Tentu saya mengagumi acara Haryo, tak sampai mengagumi kejantanannya, agar anda tak salah persepsi.
Dengan tak mengurangi rasa hormat, saya masih sesekali menonton Bara Patiradjawane dalam Gula-Gula yang tayang di Trans TV, Ala Chef-nya Farah Quinn, dan beberapa acara Rudi Choirudin, terutama yang dulu di RCTI. Termasuk Benu Boelo di Trans TV, sebagai acara makan-makan yang kadang buat ngiler. Ngiler pada masakannya, bukan pada cara mengonsumsi Bang Benu.
Kembali ke Warteg. Sejarah Warteg dapat dilacak menurut beberapa versi. Sejauh ini, sebagian besar kalangan percaya Warteg bermula sejak tahun 1950-an hinggan 1960-an. Saat itu pembangunan infrastruktur di ibukota demikian pesat. Sejumlah proyek dikerjakan, yang menimbulkan efek berganda (multiplier effect) sejumlah pekerja (tukang dan kuli) yang cukup banyak. Pekerja bangunan ini umumnya mendirikan bedeng-bedeng sementara di lokasi proyek. Selain tempat tinggal, pekerja ini membutuhkan konsumsi yang dapat dijangkau koceknya: murah, dan banyak.
Peluang ini rupanya dibaca secara kreatif oleh warga Tegal. Kelompok imigran asal Tegal di ibukota mulai menyediakan layanan kuliner di lokasi proyek. Mereka mampu menjual produk yang murah dan banyak, yang kemudian menjadi satu stereotip Warteg yang dikenal publik hingga hari ini. Realitas ini kemudian menjadikan stereotip awal Warteg: berada di sekitar lokasi proyek, dibuat dari bahan-bahan semi permanen seperti halnya bedeng pekerja proyek, bersifat musiman mengikuti periodisasi pengerjaan proyek, dikerjakan oleh 3-5 pekerja boro yang umumnya laki-laki.
Ada catatan menarik soal karakteristik Warteg ini. Umumnya Warteg diusahakan oleh kelompok keluarga (family) yang bergantian mengelola. Bila tak kebagian mengelola, mereka pulang ke kampung mengelola lahan pertanian yang ada. Berbeda dengan Rumah Makan Padang yang juga umumnya dikelola oleh tenaga kerja laki-laki, pemanfaatan tenaga kerja laki-laki pada Warteg disebabkan oleh alasan praktis, tidak memperhitungkan sistem nilai matriarkhi di Minang yang kabarnya mendudukkan perempuan dalam posisi kultural yang tinggi.
Versi kedua merunut rentang historis yang lebih panjang lagi. Bermula dari setting gegeran Mataram-Batavia antara Sultan Agung dan VOC. Saat itu Tegal sebagai wilayah perbatasan Mataram dengan Cirebon, dan Batavia. Sudah diingat publik dalam pelajaran sejarah bahwa Sultan Agung dua kali menyerang Batavia secara besar-besaran, berturut-turut tahun 1628 dan 1629. Untuk kepentingan penyerangan ini, Sultan Agung memerintahkan pembukaan lahan sawah di wilayah Indramayu, Karawang dan sekitarnya, untuk menjamin ketersediaan logistik pasukan yang akan bertempur. Sultan Agung bahkan sampai mengerahkan kawula Mataram untuk menjadi petani di Indramayu dan sekitarnya, satu informasi yang saya dapat melalui Trilogi Rara Mendut gubahan Romo Mangunwijaya, menambahkan informasi yang selama ini saya duga: petani di Indramayu ya orang Indramayu sendiri. Bila informasi ini akurat, maka penduduk Indramayu dan sekitarnya hari ini masih bertalian darah dengan kawula Mataram, dengan mengandaikan petani Mataram kemudian bermukim di Indramayu hingga kini. Petani dan prajurit tentu berbeda. Prajurit datang, perang, menang (atau kalah), dan pulang. Sedang petani mempunyai kemungkinan domisili lebih lama.
Bupati Tegal kala itu, Tumenggung Martoloyo ditunjuk sebagai senapati panglima perang, sekaligus menyiapkan ubo rampe peperangan, termasuk penyediaan logistik. Meski belum ada bukti otentik, kuat dugaan Martoloyo mengerahkan warga Tegal juga menjadi petani yang menyiapkan lahan di Indramayu, hingga menjadi juru masak pasukan di Batavia. Informasi ini saya dapat melalui seorang penulis Tegal, Suriali Andi Kustomo yang menyinggung dalam bukunya Tegal, Kota yang Tak Pernah Tidur (2004). Meski demikian, hingga saat ini, realitas yang tercatat dalam sejarah memang hanya pengerahan warga Tegal sebagai prajurit penggempur VOC di Batavia.
Bangunan Warteg saat ini umumnya tidak lagi berbentuk bedeng darurat. Banyak bangunan Warteg dibuat semi permanen atau permanen. Ciri umum yang masih melekat adalah luas Warteg yang umumnya sempit sekira 15-20 M, serta bercat biru dan berada di lokasi yang ramai. Sajian yang disuguhkan umumnya terdiri dari banyak ragam sayur dan lauk, namun tak seperti Rumah Makan Padang sajian Warteg tak ada yang spesifik pasti ada pada setiap Warteg.
Seperti halnya RM Padang yang mengasosiasikan diiri dalam Ikatan Warung Makan Padang Indonesia (Iwapin) yang membawahi tak kurang 20.000 earung se-Jakarta saja, pengusaha warteg umumnya bergabung dalam Koperasi Warung Tegal (Kowarteg). Berbeda dengan RM Padang yang telah masuk mall, dan menggurita dalam franchise yang tersebar pada banyak kota seperti jaringan Garuda, Sederhana, Simpang Raya, Siang Malam, atau Pagi Sore, Warteg tak beranjak dari sela-sela kota. Soal cat biru pada Warteg, ada ceritanya. Kawasan Tegal sebagai daerah asal pengusaha Warteg berada pada topografi pesisir sekaligus agrarian. Topografi pesisir ini kemudian menginspirasi pengusaha untuk mengecat biru Wartegnya. Agar ingat selalu kampung halaman, begitu kira-kira pikir pengusaha Warteg.
Untuk sayur dan lauk, seorang mahasiswa IPB pernah meneliti, bahwa tak kurang terdapat 12 jenis sayur dan maksimal terdapat 4 jenis lauk yang disajikan. Bila pada RM Padang hampir pasti selalu ada rendang, daun singkong rebus dan sambal balado, pada warteg tak ada menu khusus yang menjadi ciri utamanya. Di Tegal, umumnya Warteg menyajikan sayur biasa disebut ’sambel tempe’ atau ponggol. Disebut ’sambel tempe’ sebenarnya kurang tepat, karena karakteristik sayur tersebut mendekati ’tumis tempe’ ketimbang ’sambel tempe’. Salah kaprah identitas ini juga terjadi pada tradisi kulinari Solo dan Yogyakarta untuk menyebut sajian serupa sebagai ’sambel goreng tempe’. Ponggol merupakan sajian yang dikenal luas di Tegal, yang dalam praktiknya sudah termasuk nasi putih yang dibungkus. Semenjak beberapa tahun terakhir warga Tegal mengenal sajian ’ponggol setan’, yakni nasi ponggol yang dijual malam hari seperti halnya nasi kucing di Solo dan Yogyakarta.
Jadi, kapan anda ke Warteg (lagi), dan mulai menghitung jumlah sayur dan lauk, mencermati (kembali) cat warteg, memperhatikan lagak lagu pekerja dan pengusahanya, meresapi kesahajaan pengusaha Warteg yang memiliki rumah permanen dan tak jarang mewah di Tegal namun tidur berimpitan di Wartegnya, mengenang sejarah Warteg sambil menyuap nasi, atau mengkomparasikan nilai-nilai yang terbangun dari tradisi panjang ini dari kesatuan ujud Warteg? Silakan. Tak perlu mengajak saya. Saya percaya soal kata bisa dicari lewat riset, dan soal lidah tak bisa bohong. Sayang, saya dibesarkan dalam tradisi berolah masakan dengan citarasa manis, sehingga cita rasa Warteg yang umumnya asin dan pedas tak dapat saya nikmati sempurna. Meski demikian, saya tak akan ragu bersama anda, mengagumi Warteg di bawah benderanya yang hingga kini masih berkibar.