Mohon tunggu...
KOMENTAR
Hukum

Puluhan Buruh di Aceh Datangi DPR Aceh Tolak Omnibus Law

7 Oktober 2020   15:51 Diperbarui: 7 Oktober 2020   15:56 154 5
Banda Aceh - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia sepakat menyetujui Omnibus Law rancangan Undang-undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) jadi undang-undang, Senin, 5 Oktober 2020.

Sebagaimana kita ketahui, palu paripurna dipercepat pengesahannya meski mendapat penolakan dari berbagai kalangan. Padahal, sebelumnya di jadwalkan rapat paripurna pengesahan akan dilaksanakan Kamis, 8 Oktober 2020.

Menanggapi hal tersebut, puluhan buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Aceh datangi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Bersama dengan Komisi V DPRA, Aliansi Buruh Aceh menyampaikan pernyataan sikap terkait penolakan atas pasal Omnibus Law.

Dalam pantauan penulis, pukul 11.30 WIB, para buruh yang berasal dari beberapa daerah di Aceh. Para buruh menyampaikan pernyataan sikap itu di gedung serba guna DPRA.

Adapun penyataan sikap Aliansi Buru Aceh kepada DPRA atas pengesahan RUU Ciptaker oleh DPR RI yang tidak peka terhadap suara rakyat Indonesia, yaitu, pertama, menolak pengesahan RUU Ciptaker.

Kedua, mendesak DPR RI dan Presiden RI mencabut atau membatalkan UU Ciptaker yang telah disahkan. Ketiga, mendesak DPRA, Wali Nanggroe dan Gubernur Aceh mengirim surat penolakan atas pengesahan UU Ciptaker karena tidak mengikuti proses yang partisipatif dan mengabaikan Hak Asasi Manusia (HAM) dan UU Ciptaker lebih buruk dari UU Ketenagakerjaan.

Kemudian, yang keempat, mendorong Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Aceh dalam penyelenggaraan dan perlindungan ketenagakerjaan menggunakan atau mengacu kepada Qanun Aceh Nomor 7 tahun 2014 tentang Ketenagakerjaan.

Dan, kelima atau yang terakhir, mendorong Pemerintah Aceh untuk meningkatkan pengawasan dan penegakan norma Ketenagakerjaan pada perusahaan di Aceh serta pengawasan ekstra terhadap Tenaga Kerja Asing (TKA) yang masuk dan bekerja di Aceh.

Sementara itu, Sekretaris Aliansi Buruh Aceh, Habibie Inseun mengatakan, terdapat banyak perbedaan yang lebih buruk antara Omnibus Law dengan UU No. 3 tahuh 2013 tentang ketenagakerjaan.

Disebutkan dalam Omnibus Law, lanjutnya, penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota dan Sektoral (UMK/UMKS) di hapus, jaminan sosial di hapus dan penghapusan tunjangan yang lain, Outsourching seumur hidup untuk semua jenis pekerjaan, tidak ada pengangkatan karyawan tetap.

Kemudian, penghapusan cuti (cuti hamil, melahirkan, pernikah dan lain-lain) dan tidak ada penggantian kompensasi cuti, pemutusan hubungan kerja secara sewenang-wenang oleh perusahaan, nilai pesangon dikurangi dari 32 kali menjadi 25 kali upah serta menjamin kemudahan investasi termasuk dalam kepemilikan atau penguasaan tanah yang akan menggusur rakyat.

"Atas dasar itulah, kami mengharapkan Pemerintah Aceh tetap memastikan dalam penyelenggaraan dan perlindungan buruh di Aceh," kata Habibi.

Perlindungan tersebut dengan tetap mengacu pada pasal 174-177 UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh serta Qanun Aceh No. 7 tahun 2014 tentang Ketenagakerjaan.

"Karena UU Pemerintah Aceh dan Qanun Ketenagakerjaan tersebut lebih spesifik dan khusus berlaku di Aceh serta menurut kami lebih baik dari UU Omnibus Law," ungkapnya.

Ketua Komisi V DPRA, M. Rizal Fahlevi Kirani menyampaikan, apapun bentuk UU yang terpenting saat ini adalah kesejahteraan lebih penting dari segalanya.

"Qanun di buat untuk di jalankan, kita berharap Pemerintah Aceh dapat menjalankan Qanun itu. Saya kira itu bentuk regulatif yang memang masuk dalam perundang-undangan, itu wajib di jalankan," tutur Fahlevi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun