Sistem pemilihan umum legislatif yang tidak lagi menggunakan nomor urut memberikan peluang yang sama bagi siapapun saja untuk dipilih masyarakat. Berbeda dengan dahulu, dalam sistem pemilihan umum legislilatif yang berdasarkan nomor urut. Tidak semua orang dapat begitu saja mencalonkan sebagai anggota legislatif. Terlebih dahulu, mereka harus berjuang untukmendapatkan nomor urut dalam partainya. Sepatutnya, kader partai politik yang telah lama memperjuangkan partai dengan konsistensinya dan militansinya berhak untuk mendapatkan nomor urut terdepan. Hal ini positif karena partai secara tidak langsung telah melakukan filterisasi kader partai terbaiknya untuk maju di pemilihan umum.
Tetapi pada kenyataannya, pada beberapa kasus sistem nomor urut tersebut dianggap sebagian orang sebagai pemasungan hak politik bagi kader partai baru. Dan tidak jarang pula terjadi jual beli nomor urut dalam intern partai politik. Jadi kader yang mempunyai banyak uang akan membeli nomor urut pertama supaya peluang menjadi anggota legislatifnya lebih besar.
Berbagai jalan dilakukan untuk bisa menduduki kursi empuk dewan legislatif yang terhormat tersebut. Praktik money politic menjadi seuatu ceremony tersendiri disaat pemilihan umum digelar. Untuk melakuakan praktik money politic tersebut tak jarang calon legislator tersebut menaruhkan harta bendanya untuk dikorbankan menjadi modal dalam pencalonan. Menjual harta benda, berhutang pada bank, kontrak-kontrak politis, datang ke orang pintar, berdukun semua dilakukan supaya dapat menikamati kursi dewan.
Pengorbanan yang sungguh luarbiasa ini patut kita hargai sebagai sebuha upaya keseriusan. Tetapi juga patut kita curigai, apakah benar mereka murni mencalonkan diri untuk menjadi para wakil rakyat yang akan menuruti aspirasi konstituennya. Lalu bagaimanakah mereka akan mengembalikan dana modal pencalonan yang menghabiskan dana sampai ratusan bahkan miliaran juta. Sulit untuk percaya kalau anggota dewan tersbut murni hanya mengharapkan gaji dan tunjangan anggota dewan. Pasti terfikir oleh kita bagaimana upaya-upaya penyeseran dana tambahan untuk menambah uang saku mereka. Meskipun tidak semua anggota dewan seperti itu.
Sepatutnya dengan proses awal yang begitu bertubi-tubi dilakukan dalam pencalonan, para anggota dewan akan menikamati kursi yang telah berhasil mereka duduki. Sepatutnya pula mereka mengerjakan tugas mereka untuk mengabdi kepada masyarakat dan memenuhi aspirasi konstituennya dalam membangun masyarakat yang sejahtera.
Tetapi ada yang aneh dengan anggota dewan yang berasal dari kota Tangerang Selatan. Pertemuan penulis dengan penggiat demokrasi muda tangerang selatan baru-baru ini mengungkapkan hal yang lucu. Di kota baru hasil pemekaran ini terdapat seorang anggota DPRD yang secara lugu mengatakan tengah bosan menjadi anggota DPRD. Tentu ada hal yang aneh dan lucu. Mungkin wajar jika yang berucap begitu adalah anggota dewan yang telah lama menjabat. Tetapi, si anggota dewan ini ternyata baru setahun menjabat resmi sebagai anggota dewan.
Coba pembaca sekalian tebak, apa alasan yang menyebabkan anggota dewan ini bosan.
"lebih enak menjadi penjual sapi dan menjadi makelar tanah, lebih enteng dan untungnya lebih banyak" kata si anggota dewan. Hehehehehe
Bapak dewan yang terhormat, boleh bosan tapi jangan lupa tugas utama anda, melayani aspirasi masyrakat. Jangan bosan, kemudian melalaikan tugas anda...!!
Pojok Ciputat, 25 November 2011