Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Dana Mbojo/ Kota Bima Sampah untuk Dunia dan Indonesia

7 Februari 2014   05:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:05 261 0
Berawal dari sebuah rindu dan kesadaran akan tanah kelahiran, sejenak terlihat Kota Bima setelah ditinggal dua tahun semakin nampak  keeksotisannya. Jika akan memasuki kawasan kota tepatnya jalan Ama Hami akan terlihat dan terpampang besar gapura besar bertuliskan “Maja Labo Dahu Aka Rasa Dou ” (Malu dan Takutlah di Kampung Orang). Tulisan itu adalah salah satu filsafat dou rasa mbojo (orang Bima) yang di pegang teguh masyarakat mbojo.

Sejenak diri mengajak berbicara hati, “Apakah benar saya orang Bima?”. Jangan sampai hanya tahu nama kotanya saja, tapi belum mengetahui sejarah tanah kelahirannya atau Mengaku orang Bima tapi Bimanya sudah hilang. Maka timbulah rasa untuk mencari semangat yang tercecer dari sejarah yang terlupakan, mengapung kepermukaan benak untuk lebih banyak menggali. Berbahagialah mereka yang paham akan sejarah tanah kelahirannya.

Kelangkaan sumber sejarah serta terbatasnya oknum sebagai narasumber merupakan penyebab utama dari kekurangan data sejarah. Apabila keadaan tersebut dibiarkan, bukan mustahil pada suatu saat akan sirna sumber sejarah ini bersama pemiliknya. Sementara beberapa naskah tertulis yang masih tersisa berangsur-angsur lapuk dimakan hari. Dan yang patut direnungkan bahwa saatnya kelak akan terputus hubungan sejarah generasi masa lalu dengan generasi masa kini karena tidak ada yang menjembatani. Bukankah dengan Ilmu sejarah ibaratnya pengelihatan tiga dimensi yakni dalam penyelidikan masa silam itu kita tidak bias melepaskan dari kenyataan-kenyataan masa kini serta masa kini tempat berpijak guna membuat perspektifnya masa depan.

Teringat kembali pesan Bung Karno, “JAS MERAH” (Jangan Sekali-Kali Melupakan Sejarah), tergeraklah sanubari ingin tertumpahi jiwa dengan kearifan lokal dari sejarah Bima. Sejarah akan membuat jiwa semakin merekah, sehingga jalanpun semakin berkah.

Bangsa Indonesia dalam kontek sejarah antarbangsa dikenal sebagai bangsa bahari yang melanglang buana dari Madagaskar (Afrika) sampai ke Pas (Amerika): dari pulau Formosa/Taiwan sampai ke benua Australia hanya dengan mengunakan sampan bertangan (Bima: sampa soma). Bangsa Indonesia berbangga hati telah turut menghiasi dan mewarnai sejarah kelautan dunia. Bahkan terhadap tata kehidupan manusia, melalui perdagangan rempah-rempah. Dengan itulah, Indonesia “memberikan kebahagiaan” kepada dunia barat dan dunia timur.

Menelusuri perjalanan sejarah Modern, maka Indonesoa walaupaun baru berusia berpuluh tahun merdeka, ditengah pergaulan antarbangsa aktif berperan dalam turut menata kesejahteraan bersama dan perdamaian dunia. Bangsa dan Negara Indonesia dengan pandangan hidup berdasarkan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 yng mengantarkan pembangunan yang berhasil, tidak sedikit menyumbangkan piran dan pengalaman kepada sesama Negara berkembang dan dunia umumnya dibidang politik,social,ekonomi dan budaya bahkan dibidang pertahanan keamanan,

Barangkali dengan membaca sejarah local dalam hal ini Sejarah Bima, maka akan memperkaya perbedaharaan Sejarah Nasional. Patut diyakini bahwa banyak kejadian-kejadian sejarah yang terlupakan dan mengendap di ‘Dana Mbojo/kota Bima’. Kejadian yang mengendap itu terkadang erat kaitannya dengan sejarah nasional.

Bila Sejarah Nasional mencatat bahwa pahlawan nasional Sultan Hasanuddin dari Gowa, Admiral Cornelis Speelman dari VOC dalam kaitannya dengan Perjanjian Bungaya (1670), maka seyogyanya nama Sultan Abdul Kahir Sirajuddin dari Bima disebut-sebut. Bukankah Sultan Abdul Kahir ipar Sultan Hasanuddin, menjadi salah seorang panglima perang Gowa yang melawan Kompeni dalam Perang Sumba Opu, Perang Bone, Perang Buton. Ia satu-satunya Sultan yang menolak menanda tangani serta Perjanjian Bungaya tahun 1667.

Demikian pula tentang Perang Trunojoyo di mana Sultan Nuruddin Abu Bakar Ali Syah yang bahu membahu dengan Trunojoyo bersama Karaeng Galesung melawan Jendral Cooper mempertahankan benteng Kapar di dekat Porong Jawa Timur berminggu lamanya. Tiada banyak orang tahu dan khususnya masyarakat Bima bahwa dalam diri pahlawan nasional Pangeran Diponegoro mengalir darah Bima.

Letak geografis Bima yang terjepit antara Hindu yang datang dari barat dan arus Nasrani yang datang dari arah timur menjadikan bertambah kokohnya karang suar Syi’ar Islam dikawasan selatan. Diawali dengan berjual beli tembakau dengan dua kalimat syahadat, Bima melejit menjadi salah satu dari tiga sentra geneologi cendekiawan dan kyai-kyai terkenal di pulau Jawa dan Indonesia.

Kenyataan itu tidak bias dipisahkan dengan nama seorang tokoh intelektual Islam Syekh Abdul Ghani Al Bimawi yang tersohor di tanah Mekah. Syekh Abdul Ghani satu-satunya yang berani mengikuti sayembara maut yang digelar Masjidil Haram Mekah selama tiga hari. Dengan rahmat Allah ia memenangkan sayembara tersebut. Sejarah perlu mengungkapkannya bahwasanya beliau Al-Bimawi (Syeikh Abdul Ghani) yang merupakan Guru Besar  Haramain merupakan salah satu Imam besar di Tanah Makkah Al-Mukarrammah dan diantara murid dan ulama yang beliau luluskan adalah :

-Al-‘Alim al-‘Allamah asy-Syeikh Muhammad ‘Ali bin Hussin bin Ibrahim al-Maliki al-Makki dari Makkah,

-Syeikh Nawawi bin 'Umar Al-Bantani dari Banten Jawa (Imam Nawawi dari Banten),

-Pendiri Nahdlatul Ulama yaitu Kiyai Haji Hasyim Asy’ari,

-Syaikh Ahmad Khathib bin 'Abdul Ghaffar As-Sambasi,

-KH. Muhammad Kholil Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur,

-dan masih banyak lagi muridnya yang lain.

Untuk lebih lengkapnya tentang beliau bisa di baca di blog ini:

(http://fajrizal-armambo.blogspot.com/2013/05/syeikh-abdul-ghani-al-bimawi-al-bagdadi.html)

Jarum jam sejarah berjalan terus tanpa henti. Semakin banyak waktu terlampaui semakin banyak pula kejadian yang ditinggalkan, sekaligus menjadi bahan sejarah; dan tiba pada tahun 1942. pada tahun 1942 Sulltan Muhammad Salahuddin merebut kekuasaan dari tangan Pemerintah Hindia Belanda di Bima. Para pejabat dan orang Belanda ditangkap dan ditawan. Hanya tiga orang dari mereka yang berhasil meloloskan diri dan kemudian kabur ke Australia. Kelak pada tahun 1945 mereka bertemu kembali dengan Sultan Muhammad Salahuddin dalam “perkara” Indonesia Merdeka.

Sultan Hamengku Buwono IX seorang sultan di Indonesia dengan serta merta menyerahkan wilayah Kesultanan Yogyakarta kepada kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia Proklamasi 17 Agustus 1945. Barangkali Sultan Muhammad Salahuddin merupakan sultan kedua di Indonesia yang menyerahkan wilayah dan kekuasaan Kerajaan Bima kepada Pemerintah Republik Indonesia, dengan Maklumat 22 November 1945.

Dan sebagai kebetulan sejarah saja bahwa Putera Abdul Kahir Jena Teke (Raja Muda) menyaksikan kepergiaan Kerajaan Bima pada tahun 1950 yang telah di bangun dan dikembangkan oleh leluhurnya Sultan Abdhul Kahir Ruma Ma Bata Wadu (1640) pada 300  tahun lalu.

Dengan itu semua apakah Dana Mbojo/Kota Bima menjadi sampah untuk Dunia dan Indonesia?

Dana Mbojo mencamkan dan mengembangkan pesan sejarah dalam sikap dan perbuatan tentang pesan “katahoku wekiku sura dou mori na labo dana” (maksudnya biarkan  aku digarda depan asalkan untuk kepentingan orang banyak dan negeri); dijabarkan dalam bentuk “kasabuaku ra reba labo rawi di kandadi” (maknannya satukan kata dengan perbuatan yang akan di wujudkan); didorong dan diawasi oleh “maja labo dahu” (artinya tumbuhkan rasa malu dan rasa takut/takwa atau hayaa’u wa taqwa).

Bobot kepedulian terhadap pesan yang tersirat maupun tersurat dengan barometer “nggara lama sira nggahi sara samata, na rome ra dou labo dana” (apabila yang dilaksanakan itu hanya perintah, pertanda lemahnya masyarakat dan negeri). Dengan pesan tersebut akan membangun pribadi, bangsa dan Negara serta agama menuju hari esok yang lebih baik dan langgeng.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun