Fatima menarik napas dalam-dalam saat turun dari taksi. Setelah dua tahun bekerja keras di Arab Saudi, ia akhirnya pulang.
Dengan hati yang penuh harap, ia menarik kopernya dan melangkah menuju rumah yang telah lama ia rindukan.
Namun, langkahnya terhenti di depan pintu ketika mendengar suara riuh dari dalam rumah.
Alunan musik dan suara tawa terdengar jelas. Fatima bingung. Ia tidak tahu ada acara apa di rumahnya. Dengan hati-hati, ia membuka pintu dan masuk.
Ruangan itu penuh dengan orang-orang yang mengenakan pakaian pesta. Dekorasi pernikahan memenuhi ruang tamu.
Fatima tertegun, matanya mengamati setiap detail. Tidak mungkin ada pernikahan di rumah ini, pikirnya.
Namun, pandangannya tertuju pada panggung kecil di tengah ruangan, di mana Hans, suaminya, berdiri bersama adik tirinya, Safira. Keduanya mengenakan pakaian pengantin.
"Apa yang terjadi di sini?" suara Fatima bergetar. Semua mata tiba-tiba tertuju padanya.
Hans, yang tampak terkejut melihat kehadirannya, segera mendekatinya. "Fatima, ini tidak seperti yang kamu pikirkan," katanya dengan suara rendah.
"Fatima! Sudah pulang rupanya," suara nyaring ibu mertua Fatima, Dera, memecah keheningan. "Kau datang di saat yang tepat untuk melihat pernikahan ini."
Fatima merasa darahnya mendidih. "Pernikahan? Mas Hans, apa yang terjadi?"
Dera melangkah maju, dengan senyum sinis di wajahnya. "Hans dan Safira sudah menikah. Setelah lima tahun pernikahanmu yang tanpa hasil, kami butuh seseorang yang bisa memberikan cucu untuk keluarga ini."
Safira yang berdiri di samping Hans tersenyum puas. "Pada akhirnya kamu tahu juga, Mbak. Sekarang aku sudah menjadi istri Mas Hans. Dan aku bukan hanya menjadi adik tirimu, tapi juga adik madumu."
Fatima merasakan seakan-akan dunia runtuh di sekelilingnya. "Mas Hans, kamu sungguh tega melakukan ini padaku?" Air mata mulai mengalir di pipinya.
Hans tampak bingung dan penuh rasa bersalah. "Fatima, ini bukan keinginanku. Ibu terus mendesakku. Aku tidak bisa menolak permintaan ibu, bahkan ayah menyetujui pernikahan ini. Aku masih mencintaimu dan semuanya akan baik-baik saja."
"Tapi kamu menikahinya!" teriak Fatima, suaranya pecah oleh kesedihan dan kemarahan.
Bahkan ketika menoleh ke arah ayahnya yang duduk di kursi roda, ia tidak melihat rasa bersalah di wajah ayahnya.
Seakan sang ayah memang tidak lagi peduli padanya, kasih sayang yang dulu ia dapatkan penuh, kini terisi oleh Safira.
Bukan hanya hati sang ayah, tapi juga hati suami yang sangat dicintainya, yang sangat ia dukung dalam bisnisnya sehingga menjadi TKW.
Senyum sinis pun terlihat dari wajah ibu tirinya, yang sejak dulu selalu iri kepada Fatima, karena Fatima selalu mendapatkan apa yang tidak didapatkan oleh Safira.
"Ayah... kenapa Ayah melakukan ini padaku? Kenapa Ayah mengizinkan Mas Hans menikahi Safira, Ayah? Apa tidak ada wanita lain agar aku tidak terlalu tersakiti, Ayah?"
"Fatima, jangan bertanya-tanya dengan keadaan yang sudah terjadi di hadapanmu. Kamu tidak bisa memberikan cucu untuk Bu Dera, bahkan kamu juga pergi ke luar negeri di saat Hans terpuruk. Ayah malu dengan Bu Dera, karena menikahkan kamu yang tidak bisa membahagiakan Hans sebagai putra tunggal Bu Dera," jelas sang ayah panjang.
Begitu getir pernyataan dari ayahnya. Sehingga Fatima menoleh ke arah suaminya. "Mas, kamu juga seharusnya menolak."
Dera mendekati Fatima dengan tatapan dingin. "Kamu tidak pernah cukup baik untuk Hans. Kamu bahkan tidak bisa memberinya anak. Lima tahun menunggu adalah waktu yang cukup lama. Sekarang Hans sudah memiliki istri yang benar-benar pantas untuknya dan memberikan kebahagiaan untuk kami."
Cika, adik Hans, juga turut menghina. "Sudah waktunya kamu sadar, Fatima. Kamu tidak pernah cocok untuk keluarga ini. Bahkan kamu memilih pergi ke luar negeri di saat keadaan ek0nom1 terpuruk."
Fatima merasakan setiap kata sebagai pukulan. Ia memandang Hans dengan pandangan yang penuh luka. "Aku pergi untuk bekerja keras demi keluarga kita, demi masa depan kita. Dan ini balasanmu?"
Hans mencoba meraih tangan Fatima ketika celaan didapatnya, tapi Fatima menghempaskannya. "Jangan sentuh aku! Kamu mengkhianati cintaku, mengkhianati pengorbananku Mas!"
Fatima berbalik, berusaha untuk menahan tangisnya. Ia tidak bisa lagi melihat wajah orang-orang yang telah mengkhianatinya. Ia merasa terjebak dalam mimpi buruk yang nyata.
Saat Fatima berjalan menuju pintu, Hans berteriak, "Fatima, tunggu!"
Fatima berhenti sejenak, berharap ada kata-kata yang bisa memperbaiki segalanya.
Namun, ketika dia menoleh, dia hanya melihat wajah penuh rasa bersalah di antara sorak-sorai kebahagiaan palsu dari keluarganya.
"Dengar, Fatima," kata Hans dengan suara penuh putus asa, "Aku tidak punya pilihan. Mereka memaksaku. Aku masih mencintaimu dan tidak ingin kita berpisah. Tolong mengerti."
Fatima menggigit bibirnya, mencoba menahan luapan emosi yang hampir membuatnya meledak. "Kalau kamu benar-benar mencintaiku, kamu tidak akan membiarkan ini terjadi. Kamu tidak akan mengkhianati aku, Mas."
Dengan itu, Fatima bergegas keluar dari rumah, meninggalkan semua kenangan dan harapannya yang hancur.
Hatinya terasa seperti dihancurkan menjadi ribuan keping. Dia tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
"Fatima...!" Hans mengejar Fatima, namun langkahnya terhenti oleh teriakan ibunya.
"Hans, mau ngapain lagi? Fatima memilih pergi darimu sejak dulu, bahkan pernikahan kamu dengan Safira juga tidak akan dia sanggupi. Jadi, Ibu harap kamu lupakan Fatima dan fokus dengan Safira!" pinta ibunya menekan.
"Bu, aku mencintai Fatima. Walaupun aku tidak mendapatkan  keturunan dari Fatima, aku menerima kenyataan itu, dan aku tidak akan berhenti mencintainya," jawab Hans tegas.
"Mas..." Safira menghampiri Hans dan ibu mertuanya itu.
"Aku tahu kamu sangat mencintai mbak Fatima, tapi sekarang, aku juga sudah menjadi istrimu... Malam ini, juga malam pertama kita sebagai suami istri." Dengan wajah memelas seakan Safira menjadi korban di hari pernikahannya.
"Benar yang dikatakan Safira, sudahlah, biarkan saja Fatima berpikir. Yang terpenting saat ini kamu dan Safira segera memberikan cucu untuk Ibu." Dera terus meracuni pikiran Hans dan mementingkan perasaan Safira yang seolah tersakiti oleh kehadiran Fatima.
Hans tidak bisa berbuat apa-apa selain membalikkan badannya dan bersedia digandeng Safira yang kini menjadi istrinya.
Di luar rumah, di bawah langit senja yang semakin gelap, Fatima merasa kesepian dan kehilangan.
Ia duduk di pinggir jalan, menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Air mata tak lagi bisa dibendung, mengalir tanpa henti.
Beberapa saat kemudian, suara langkah kaki mendekatinya. Hansa, dengan senyum puas, berdiri di hadapannya. "Fatima, aku harap kamu mengerti. Aku dengan sengaja melakukan ini demi kebahagiaan Safira. Aku akan melakukan apa pun agar Safira bisa mendapatkan apa yang selalu kamu dapatkan."
Fatima mendongak, menatap mata ibu tirinya dengan pandangan penuh kebencian. "Kenapa Ibu tega melakukan ini padaku, Bu? Apa salahku?"
Hansa tertawa kecil. "Kamu selalu begitu idealis, Fatima. Tapi lihatlah kenyataan. Dunia ini tidak seindah yang kamu bayangkan. Aku membenci ibumu ketika dia menikahi lelaki yang sangat aku cintai, yaitu ayahmu. Sekarang, saatnya kamu merasakan apa yang aku rasakan dulu, walaupun aku tidak bisa membalaskan dendam pada ibumu, tapi kini aku bisa membalaskan sakit hatiku padamu."
Fatima merasa amarahnya semakin membara. Ia berdiri, menatap ibu tirinya dengan penuh kejutan yang menyakitkan.
Akan ada banyak kejutan di episode berikutnya, klik link di bawah, ya...!
https://read.kbm.id/book/detail/dbc0e227-ed53-4165-8a05-e426bd7698ce?af=9f7ebc48-3d44-44a2-f486-6df7b30ac6da
Judul Buku : Revenge
Penulis : Andrianikity
Platform : Kbm