Rindu berdiri tak bergerak di depan pembaringan, memandangi kekasihnya yang sedang terlelap di sela sisa deru nafasnya. Air matanya tak berhenti mengalir, juga tak berusaha diusapnya. Diam, adalah satu-satunya yang selalu dia lakukan dalam keadaan ingin menjerit bebaskan diri dari himpitan kian menyiksa.Waktu selalu menanggapinya dengan amarah, jika dirinya sedang mencoba membahas hubungan mereka.
-----
“Sampai kapan kita hidup seperti ini Waktu?”
“Apa yang kau inginkan?”
“Hidup sehat seperti yang selayaknya?”
“Apakah hidup kita tidak sehat? Tidak layak?”
“Ayolah Waktu, kamu tahu yang aku maksudkan.”
Waktu hanya tertawa.
“Apa sebenarnya yang menghalangimu untuk meresmikan hubungan kita?”
“Ayolah Rindu, jangan selalu membuatku lelah dengan membahas yang bukan urusan kita ini. Nikmati saja apa adanya, biarkan mengalir apa adanya.”
“Bagaimana mungkin kamu mengatakan ini bukan urusan kita? Apa yang harus aku katakan jika kedua orang tua kita mengetahui hal ini?”
“Cukup kita berdua saja yang tahu mengenai hubungan kita.”
“Berkali-kali kamu mengatakan agar aku tidak menghianatimu, tapi kita menjalin hubungan dengan sembunyi-sembunyi. Usia kita sudah dewasa, sebentar lagi kita menghadapi sidang ujian di bangku kuliah. Apa yang harus aku katakan jika kedua orang tuaku menanyakan kenapa aku tidak juga menikah?”
“Sudahlah Rindu, jangan mencampuri urusan Tuhan, jangan merebut hakNya untuk mengatur. Biarkan semua mengalir apa adanya.”
-----
“Rindu! Tunggu sebentar,” Rasa berlari keluar dari ruang kuliah.
Rindu menundukkan kepalanya, memperlambat langkahnya, bersiap menerima pertanyaan yang sudah sering diterimanya, tanpa dapat dijawabnya dengan sempurna dan jujur.
“Kamu mau langsung pulang?”
“Ya, besok final-test kan, aku mau belajar. Kenapa?”
“Boleh aku belajar di kamarmu? Anak kost yang lain pulang, aku malas belajar sendiri. Kurang semangat.”
“Sepertinya, aku akan lebih konsentrasi kalau belajar sendiri Rasa, maaf.”
“Bukan karena ada Waktu?”
“Bukan,” jawab Rindu setengah berbisik, dengan tangan bergetar.
“Rindu, maaf kalau aku lancang. Kami seluruh rumah tidak buta. Kami tahu Waktu suka berada bersamamu dari pagi hingga dini. Kita sudah dewasa Rindu, jangan mengira bahwa semua akan percaya setiap kalian mengatakan bahwa kalian hanya berteman. Karena teman tidak akan melewati malam bersama, di dalam kamar yang sama. Maaf.”
“Rasa…”
“Maafkan aku Rindu, jika kamu tidak segera mengambil sikap, rasanya aku harus berpikir ulang untuk tetap menjadi sahabatmu.”
-----
Perlahan Rindu mengenakan pakaiannya, menatap sekali lagi Waktu, meraih tasnya sambil mengusap airmatanya. Dikuatkannya kakinya untuk melangkah, membawa cinta dan hatinya keluar dari tanda tanya dan berjuta alasan. Diletakkannya secarik kertas di atas pembaringan, berharap kelak Waktu mengerti apa yang akan dilakukannya.
------------------------------------------------------------------------------------
Pakaian kita sudah kotor sayang. Kapan aku boleh mencucinya agar layak dipakai? Dan jam tidur kita sudah sangat berantakan. Kapan aku bisa membuat jadwal yang benar agar hidup kita sehat? Apakah ini juga termasuk urusan Tuhan? Karena yang aku tahu, Tuhan tidak bicara seperti kita, tetapi membimbing hati kita untuk bicara. Sekarang aku ingin mendengarkan bisikan hatiku, mungkin pergi darimu adalah sehat buatku.
-Kit Rose 10122011-
“Jangan takut melangkah adik sayang, dengarkan kata hatimu,,,”
---
*Curhater kesekian sudah pulang, saatnya ngopi sambil menyusun kata*
Selamat bermalam Minggu temans ^_^