Dia tersenyum sebentar melihat tingkah kebat-kebitku sambil kembali menyeruput ice coffee-nya dengan bibirnya yang ahh aduhai itu. Aku ikut-ikutan tersenyum centil sambil mengaduk-ngaduk kopi pahitku yang sebenarnya tidak perlu untuk diaduk lagi. Mungkin ini jodoh, pikirku sambil memperhatikan lampu-lampu temaram yang mendominasi penerangan di cafe kecil ini. Diantara banyaknya bangku-bangku kosong yang lebih menarik untuk ditempati, dia-si mahatampan-memilih untuk duduk tepat disebrangku.
Sejak dia melewati pintu masuk, aku sudah terkesima melihat postur tubuhnya yang sangat yummy. Tingginya pasti tidak kurang dari 180cm dengan dada bidang yang samar-samar terlihat dibalik kemeja putih yang dikenakannya. Celananya kain warna hitam, ngepas di kakinya yang terlihat panjang. Kalau bukan karena jam tangan hitam dengan merk yang sangat mahal terpasang di pergelangan tangan kirinya, aku pasti sudah mengira dia adalah seorang sales promotion boy yang dipasang oleh toko-toko berlian agar dagangan mereka laku.
Tingkah lakunya simpatik dan senyum samarnya yang terbalut bibir merah itu terlihat sangat ramah sekaligus menggairahkan. Aku bergidik sendiri memikirkan satu kata itu, gairah. Gila. Lagi sendirian di warung kopi seperti ini malah memikirkan soal begituan. Kuketuk-ketuk kepalaku sambil memejamkan mata mencoba mengenyahkan pikiran itu.
"Mba, ada pesen dari bapak sebelah," suara berat pramusaji kafe tersebut menyadarkanku dari lamunan tidak pentingku tadi.
"Sorry?" tanyaku belum nyambung.
"Ada pesan mba dari bapak sebelah," jawabnya sambil menyerahkan selembar tisu berlogo kafe tersebut. Sudut matanya mengarah pada cowok ganteng yang sejak tadi jadi lamunanku. Aku terkesiap. Sedikit ingin protes kepada mas-mas pramusaji itu. Masa cowok muda ganteng kaya gitu dipanggil bapak?!
"Ok, thanks.." jawabku sambil tetap mempertahankan akting cool-ku. Gak mau kalah dengan sikap cool cowok itu yang sedang menoleh ke arah lain. Mungkin jengah karena aku memperhatikannya terus daritadi.
I'm Ethan..
Hanya itu yang tertulis di dalam tisu itu. Aku kembali memperhatikan cowok disebrangku itu. Sikapnya masih sama. Santai dan acuh tak acuh.
Cih! pikirku. Masa cuma begitu doang? Ga ada kata-kata lain dari sekedar kasih tahu nama? Bilang pengen gabung satu meja kek, pengen nganter pulang kek, apa kekk..
Tapi karena kadung penasaran, akhirnya aku balas dengan 2 kata juga.. I'm Santhi.
Dia membaca sebentar pesan yang aku tuliskan di selembar tissue tadi dan kembali memberikannya ke si pramusaji yang kelihatannya mulai bete karena sekarang ia double job menjadi messenger-ku.
I know what you want. My lips, right?
Aku mendadak ingin marah membaca pesan berbau sarkasme itu.Walaupun yang dia tulis itu memang benar, tapi bukan haknya untuk secara gamblang mengungkapkan keinginanku.
Dengan emosi aku menjawab: So??
Jawabannya membuat hatiku makin kebat-kebit: I want yours too..
Sedikit galau harus menjawab apa. Wajah si pramusaji mulai jemu menungguku menulis jawaban dari pernyataan barusan. Mungkin karena sekarang sudah hampir pukul 10 malam, sudah waktunya shiftnya selesai.
I still live with my parents.
Akhirnya aku jawab dengan sesuatu yang sebenarnya agak gak nyambung. Tapi hanya itu yang terfikirkan olehku.
Si orang asing namun ganteng itu tersenyum simpul melihat jawabanku lalu sedetik kemudian menggoreskan tintanya di atas tisu itu. Kancing kemeja atasnya kini terbuka satu dan aku bisa melihat sedikit dadanya yang ternyata bersih dari bulu. Tanpa sadar aku menghembuskan nafas lega, bulu dada yang lebat selalu berhasil membuatku turn off. Tapi yang satu ini memang sempurna. Wajahnya, tubuhnya, bahkan bulu dadanya.
In my place?
Aku menjilat bibirku sekejap setelah membaca pertanyaan darinya. Ini serius. Kalau aku jawab iya, berarti akan ada kemungkinan aku akan having fun dengan seseorang yang completely stranger. Complete stranger yang ehm--tidak bisa dipungkiri memang ganteng dan bikin kepingin.
Di sudut sana dia menunggu jawabanku sambil tersenyum simpul penuh makna. What a devilish smile! pikirku gemas. Di mejanya kini sudah tergeletak manis sebuah kunci mobil. Dia menungguku. Menunggu jawabanku.
Sejenak aku membetulkan letak rok pendekku yang kini sudah bergeser agak ke kiri. Kukibaskan rambut panjang ikal hitamku ke belakang agar memperlihatkan leher jenjang yang aku banggakan itu. Kubetulkan belt coklat yang melingkari pinggang kecilku. Sengaja aku berlama-lama membalas pertanyaannya agar dia gerah.
Tepat sasaran. Dia mulai gusar. Sikap cool-nya mulai meleleh, tergantikan dengan sikap tak sabaran. Berkali-kali dia mengetukkan telunjuknya di meja sambil memperhatikanku.
Aku masih bingung harus menjawab apa. Rasanya seperti wanita malam jika aku menjawab iya. Tapi akan menyesal juga kalau harus menjawab tidak. Dia itu seperti dewa asmara Yunani dalam bayanganku. He is just too good to be true dan yang paling penting, dia juga tertarik padaku.
Aku menggigit bibirku sejenak sebelum memutuskan untuk berdiri dan memberikan isyarat oke kepada si handsome stranger itu.
Dia tersenyum puas sambil mengambil kunci mobil dari atas meja.
"Hey..." sapanya sambil tersenyum. Aku meleleh. Bahkan suaranya pun sempurna. Berat dan sedikit serak.
Aku tersenyum simpul menanggapi sapaannya. Berusaha menguatkan hati bahwa aku tetap Santi si wanita terhormat bukan macam wanita murahan yang bisa tidur dengan pria manapun. Tangannya lalu erat merangkul pinggangku. Wangi kopi yang pekat bercampur manis menguar dari tubuhnya. Aku terhanyut dalam sensasi yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.
Hati kecilku lalu menemukan pembenarannya, "Ah sudahlah, Santhi! Sebodo amat! Sekali-kali jadi nakal ga ada salahnya. Lagian ini sama sekali ga bahaya. Ini bukan cinta kok, ini hanya nafsu!"
- sebuah catatan malam di riuhnya kafe starbucks -