"Bli Devan, bikin kaget saja! Ayah ke mana?" Kebiasaan seorang Andara, tidak langsung menjawab tetapi malah balik bertanya.
   "Itu di luar, lagi ngobrol dengan tetangga sebelah." Jawabnya sambil mengambil buku bacaan Andara. Membaca sekilas judulnya, lalu dikembalikan kepada yang punya.
   "Sudah berapa kali, enggak bosan ya?" tanya Devandra seraya mengempaskan tubuhnya di samping gadis itu. Kepalanya langsung bersandar di bahu menganggur yang ada di sebelahnya. Andara acuh, tidak menjawab pertanyaan Devandra. Baginya tidak ada kata bosan membaca buku-buku koleksi ayahnya, meski sudah puluhan kali. Dan Devandra tahu itu.
   "Lagi kangen sama Mbok Amerta ya?" Devandra mengangguk. Seperti anak kecil, laki-laki dua puluh tujuh tahun itu menghitung jari tangannya, sampai hitungan ke tujuh dia menunjukkannya kepada Andara.
   "Baru tujuh hari, jangan jadi laki-laki bucin. Enggak pantas!" ledek Andara yang langsung dibantah oleh Devandra. "Tujuh bulan, Gek! Mbok Amerta sudah meninggalkan Bli sudah tujuh bulan! Itu waktu yang sangat lama!" Katanya berapi-api. Andara tergelak, merasa senang pancingannya berhasil. Devandra terpaksa bangun dari posisi bersandarnya, karena tawa Andara membuat posisinya tidak nyaman.
   "Jangan tertawa! Pamali tahu menertawakan nasib buruk seseorang!" Devandra bersungut.
   "Sudah bucin, lebay pula! Mana ada ditinggal pacar menuntut ilmu dibilang nasib buruk!" ejek Andara.
   "Bli doakan, suatu hari nanti pas lagi cinta-cintanya, kamu ditinggal pergi pacarmu kuliah jauh. Bli bakal tertawa bahagia, kalau kamu mengadu, nangis-nangis!" balas Devandra sewot.
   "Makanya aku enggak mau pacaran! Nyusahin!" Andara menjawab cepat. Devandra menggeser pantatnya, badannya kini tegak menghadap gadis berumur lima belas tahun, yang masih asyik membaca. Setengah memaksa, tangan Devandra menarik wajah Andara agar menghadap ke arahnya.
   "Yakin, enggak ada cinta untuk dua cowok kemarin?" tanyanya menyelidik. Andara menggeleng.
   "Suka?" Andara kembali menggeleng ragu.
   "Enggak kangen?" Andara ingin menggeleng, tiba-tiba kepalanya kaku. Devandra masih menatap dengan atensi penuh.
   Andara mulai meragukan kejujuran perasaannya. Benarkah tidak ada suka atau kangen untuk mereka? Sena sahabatnya, Andara mengagumi cowok kalem itu. Hanya sekedar kagum, tidak boleh lebih dari itu. Sena cerdas, baik, perhatian, dan selalu ada untuknya. Andara hanya perlu meminta, cowok itu akan langsung datang. Rumah mereka tidak jauh, hanya beda kampung tidak sampai satu kilometer.
   Abimanyu Gading Bawana, cowok keren itu terang-terangan bilang mencintainya. Memintanya menjadi pacarnya, sayangnya Andara tidak percaya. Belakangan cowok itu menjadi satu paket dengan Sena, seperti dua malaikat yang menjaga di kanan kirinya. Andara merasa nyaman. Ketika tiba-tiba Abimanyu menghilang, dia tidak bisa tidur semalaman memikirkan cowok itu. Semua pesan yang dikirimnya hanya centang satu, tanda belum dibaca sama sekali. Andara gelisah, dan kehilangan semangat, seperti ada yang hilang dari dirinya. Itukah yang disebut kangen?
Andara tersipu, mengingat reaksi cepatnya ketika Abimanyu menelepon. Tanpa diperintah, jantungnya berdetak lebih cepat. Senyumnya terus mengembang, bahkan dia bisa tertawa lepas mendengar suara cowok itu. Andara terlalu bahagia, hingga melupakan sosok lain yang lebih dulu bersamanya. Apakah hatinya mulai berlabuh? .
   Padahal Abimanyu hanya minta maaf, tidak bisa ikut acara bersepeda yang sudah mereka rencanakan Minggu lalu. Hari ini seharusnya mereka bersepeda ke Sendang Mudal, yang terletak di desa Sarip Karangasem sekitar sepuluh kilo dari Wirosari. Andara memang berniat membatalkan rencana itu, karena tidak mungkin meninggalkan Devandra yang meluangkan waktu untuk berkunjung ke rumahnya, setelah selesai menjalankan tugas di Semarang. Mereka hanya mempunyai waktu hari ini, sebelum besok pagi Bli Devandra kembali ke Bali lewat Semarang. Â
   "Kayaknya ada yang lagi jatuh cinta, ini! Dari tadi senyum-senyum sendiri?" goda Devandra sambil mencolek hidung Andara.
   "Bli apaan, sih! Iseng saja!" Andara bergerak menjauh, menjarak jarak dari tangan usil kakak angkatnya itu. Devandra tertawa terbahak-bahak, sampai tersedak.
   "Makanya jangan iseng menertawakan orang. Pamali!" ledek Andara mengejek. Gadis itu tidak hanya diam. Tangannya bergegas mengambil gelas minum di nakas, lalu menyodorkan cepat ke arah Devandra. Laki-laki itu segera meminumnya sampai tandas, lalu menerima tisu yang diberikan Andara.
   "Sudah enakan?" Devandra mengangguk. Andara menepuk tengkuk Devandra untuk memastikan laki-laki itu baik-baik saja. Devandra mengambil tangan Andara dengan senyum menghiasi wajahnya. Â
   "Jegeg, jujur pada diri sendiri itu menyenangkan. Jatuh cinta itu tidak salah. Bli lihat, dia anak yang baik. Perhatian sama kamu, tidak posesif. Dia melindungi kamu dengan caranya, melihat kamu bermanja dengan Bli, dia tetap anteng. Enggak gusar seperti yang satunya. Kalau Bli jadi kamu, Bli akan memilih dia. Sepertinya, Ayah juga setuju punya mantu kayak dia."