Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerbung Pilihan

Biar Hati Bicara (Part 11)

19 November 2024   05:20 Diperbarui: 19 November 2024   10:42 66 2
Pelajaran Biologi yang biasanya menjadi favoritnya, tidak berhasil menarik minat Andara. Gadis itu terlalu fokus dengan gawai yang dibiarkan tergeletak di laci meja. Sesekali benda pipih itu bergetar tanda ada pesan masuk, dengan gesit tangannya menarik alat komunikasi canggih itu untuk melihat si pengirim pesan. Meski sudah beberapa kali kecewa, hatinya masih terus berharap, Abimanyu membalas pesannya.

     Oya, seharian ini Sena juga tidak menampakkan batang hidungnya. Kalau cowok satu itu, Andara tidak terlalu memusingkannya. Sena pasti lagi sibuk belajar, maklum anak kelas dua belas, ujian akhir sudah di depan mata. Apalagi tidak ada yang aneh pada kakak kelas, semalam mereka masih berkomunikasi dengan baik. Sena membalas semua pesannya, yang lebih banyak berisi kekhawatiran tentang Abimanyu. Sena menghibur dan menguatkan, Abimanyu baik-baik saja. Begitulah Sena, yang sudah seperti kakak kandungnya sendiri, yang selalu siaga satu.

     Kekalutannya hari ini, sengaja tidak dibagi dengan cowok berwajah manis yang selalu setia menemaninya. Sekali lagi, alasannya murni karena Andara tidak mau mengganggu Sena yang sedang fokus belajar. Biarlah itu menjadi masalahnya sendiri. Meski dia tidak tahu, harus ke mana mencari tahu tentang Abimanyu. Mau bertanya kepada Petra dan Boim, Andara malu. Mereka tidak saling kenal, hanya tahu saja. Andara tidak pernah tahu, kiprah kedua sahabat Abimanyu dan Danasti, di balik kedekatannya dengan cowok yang sempat dihindari itu.    

     "Andara, bisa jelaskan perbedaan tumbuhan lumut dan tumbuhan paku?" tanya bu Dewi lembut. Andara melonjak kaget, tidak menyangka guru favoritnya itu sudah berdiri di sampingnya. Tangannya membeku, sekian detik Andara tidak berani menoleh. 'Mati aku, malu-maluin! Aku kenapa, sih?' omelnya dalam hati.

     Terlalu asyik dengan pikirannya sendiri, Andara bahkan tidak menyadari suasana kelas tiba-tiba senyap. Tahu-tahu, bu Dewi sudah berdiri di dekatnya. Kenapa harus bengong saat jam pelajaran guru bermata elang itu?

     "Andara!" Panggilan penuh penekanan memaksanya menengadah, menatap guru cantiknya. Senyum Bu Dewi membuat Andara makin malu. Suara-suara berisik teman-temannya mulai terdengar. Bu Dewi segera mendiamkan dengan tatapan matanya ke arah sumber suara.

     "Bisa, silakan tuliskan perbedaannya dalam bentuk tabel!" katanya tegas. Diulurkan spidol yang dipegangnya. Andara mengangguk, tanpa mengalihkan tatapannya, perlahan tangannya melepaskan gawai yang masih dalam genggaman. Gadis itu mengambil spidol yang dipegang gurunya.  

     Setelah memastikan Andara siap, perempuan cantik dan anggun itu beranjak meninggalkan remaja putri yang diyakininya sedang bermasalah. Bu Dewi bukan tidak tahu apa yang dilakukan Andara dengan tangan di bawah meja. Dia tahu pasti apa yang dikerjakan gadis itu dengan gawainya, gerakan gelisah dengan berkali-kali menunduk menguatkan dugaannya. Andara bukan siswa seperti itu, yang biasa mengabaikan pelajaran. Karena itu, dia tidak ingin menjatuhkan mental gadis itu dengan melemparkan amarah. Keputusannya memberi tugas, meminta Andara maju ke depan pun sudah dipikirkan matang-matang. Dia yakin, Andara bisa mengerjakan tugas yang dia minta.

     Andara melangkah ragu-ragu, dengan spidol di tangan. Matanya melirik papan tulis yang menampilkan skema metagenesis kedua tumbuhan yang harus dibandingkan. Andara bersyukur, tugasnya tidak sulit, hanya perlu membandingkan kedua skema yang ada. Untuk seorang Andara yang hobi membaca, itu mudah sekali. Sebentar juga selesai, apalagi materi lumut dan tumbuhan paku ini, sudah pernah diajarkan waktu sekolah menengah pertama. Kebetulan, Pak Mulyono, guru Biologi-nya juga memakai teknik yang sama seperti Bu Dewi. Benar-benar gampang, yang tidak gampang adalah komentar teman-temannya setelah ini. Andara yakin, Mega dan Danasti akan mencercanya setelah pelajaran selesai. Andara tidak suka kemungkinan itu, saat dia tidak ingin keduasahabatnya terlibat dalam masalahnya.

     Andara menyelesaikan tugas yang diberikan Bu Dewi secepat yang dia bisa. Ingatan pengajaran Pak Mulyono, sangat membantunya. Bu Dewi mengamati pekerjaan gadis yang diyakini sedang galau itu dengan senyum mengembang. Keputusannya tidak salah, Andara bisa mengerjakan tugasnya dengan baik.

     "Jawaban yang bagus, Andara. Kalau perbedaan tumbuhan Lumut dan tumbuhan paku, yang tidak terlihat oleh skema metagenesis itu, kamu tahu?" Bu Dewi memperlebar pertanyaannya, untuk memancing suara remaja putri di depannya. Andara terdiam sesaat sebelum bersuara.

      "Secara struktur penyusun tubuhnya, tumbuhan lumut termasuk kelompok Thalopyta karena belum memiliki pembuluh angkut atau xilem dan floem. Sedang tumbuhan paku, sudah memiliki xilem dan floem, yang ada di akar, batang, dan daun. Tumbuhan lumut mempunyai spora yang homogen, sedang tumbuhan paku mempunyai dua macam spora yaitu mikrospora dan makrospora," jawab Andara mantap. Bu Dewi tersenyum lepas, kepalanya mengangguk setuju. Seketika kelas riuh, tepuk tangan membahana secara otomatis melihat reaksi Bu Dewi sangat mendengar jawaban tegas Andara.

      Mega dan Danasti yang sejak awal Andara maju ke depan terlihat tegang, menghela napas lega.  

     "Andara memang keren, boleh dong jadi pacar aku!" celetuk Anton lucu. Celotehan cowok berambut ikal yang menjadi musuh Mega itu, disambung gelak tawa teman-temannya.

     "Mimpi aja, Lo!" balas Mega sengit. Bukannya marah Anton malah tergelak, senang pancingannya ditangkap Mega.

     "Ada yang cemburu, Ton! Sudah jadikan saja!" teriak Soni sang ketua kelas, mendukung Anton.
"Kayaknya habis ini, bakal ada yang jadian!" timpal Kefas memperparah keadaan. Kelas menjadi sedikit tidak terkendali, suara suit-suit gerombolan anak laki-laki yang duduk di pojok membuat Mega makin emosi. Belum lagi, bisik-bisik anak perempuan yang biasa nyinyir mengomentari sikapnya. Mega sudah mau membantah, tetapi tertahan oleh perintah Bu Dewi dengan suara tegasnya.

     "Sudah, acara lamarannya dilanjut nanti. Sekarang kita kembali ke materi. Andara, Kamu bisa kembali duduk. Terima kasih" Andara mengangguk, lalu kembali ke tempat duduknya diiringi tatapan bangga Danasti.
Sementara Mega, masih menantang Anton dengan tatapan mematikan. Anton menyeringai senang.

      Bu Dewi segera mengambil alih kendali. Kelas kembali senyap, hanya terdengar suara guru muda berkarisma itu yang menjelaskan ulang, dengan menggunakan tabel yang dibuat Andara. Cara mengajar yang menyenangkan, dan sosok guru cantik di depan kelas dengan mudah membuat anak-anak kembali fokus. Hanya bunyi bel akhir pelajaran yang berhasil mengalihkan perhatian mereka. Sorak kemerdekaan bergema. Bu Dewi hanya , menanggapi suka cita mereka, dengan tawa tanpa suara.

     "Oke, bel tanda kebebasan sudah berbunyi. Kita akhiri pelajaran hari ini, jangan lupa beberapa istilah yang sudah saya garis bawahi, harus, wajib, kudu kalian pahami. Itu konsep dasarnya. Ketua kelas, silakan pimpin doa!"

     "Siap, Bu!" Soni berdiri, langsung diikuti teman-temannya yang sudah tidak sabar. Cowok berkacamata itu memimpin doa dengan hikmat. Begitu Soni bilang amin, serempak anak-anak mengucapkan salam. Bu Dewi membalas dengan senyum ramah, lalu meninggalkan ruang kelas yang kembali riuh.

     "Dara, tunggu! Jangan pergi dulu!" Danasti menahan Andara, sebelum gadis itu meninggalkan tempat duduknya. Andara diam di tempat, berpikir cepat alasan apa yang bisa dipakainya untuk menghindari kedua sahabatnya. Mereka pasti ingin alasannya kabur dari kantin tadi. Tentunya mereka tidak mau kecolongan lagi.

     "Hei, ada apa?" tanyanya sok santai, sementara otaknya terus berpikir mencari cara terbebas dari Danasti dan Mega, yang sekarang sudah berdiri di dekatnya.

     "Lo, hutang penjelasan kepada kita!" todong Mega langsung pada poinnya.

     "Tentang?" Tanya Andara dengan dahi berkerut. Mega berkacak pinggang dengan mata melotot. Bukannya takut, Andara malah ingin tertawa, tapi ditahannya agar tidak keluar.

    "Enggak usah pura-pura bego! Tampangmu enggak pantas jadi pemain sinetron!" bisik Danasti tepat di telinganya. Gadis berkulit putih itu memeluk pundaknya, sambil menggoyangnya lembut. Mega ikut bergabung, dan memeluk tubuh mungil Andara.  

      "Kami ada untukmu, Ra! Jangan simpan sendiri masalahmu," bisiknya menguatkan. Andara terdiam, tenggorokannya tercekat. Perhatian kedua sahabatnya membuatnya terharu. Dalam hati dia bersyukur memiliki dua sahabat yang perhatian, tetapi masalah ini terlalu memalukan untuk dibahas bersama mereka. Andara berkeras hati, tetap menyimpannya sendiri.

    "E, ada apa ini? Aku gapapa, aku baik-baik saja," katanya berbohong. Pelukan Danasti dan Mega terlepas.

     "Ra..."

     "Please, aku harus pulang sekarang. Di rumah ada bli Devandra, aku harus menemaninya," potongnya cepat.

     "Bli Devandra? Jadi, Lo gelisah hanya karena cowok Bali itu sedang di sini? Anjir, kirain Lo..." Mega langsung nyolot. Andara merespons dengan pura-pura tertawa lepas. Danasti tersenyum samar, apa yang dilihatnya tidak sama dengan yang dirasakannya. Andara menyimpan sesuatu dari mereka, dan dia menyadari tidak berhak memaksa.

     "Syukur kalau begitu, kita pulang yuk! Kasihan Bli Devandra sendirian!" putus Danasti bijak, yang langsung disetujui kedua sahabatnya. Untung ada Bli Devandra yang bisa dijadikan alasan, tanpa harus berbohong lagi. Andara merasa sangat lega, terlepas dari kekepoan sahabat-sahabatnya.

     Namun, apakah seseorang yang akan ditemuinya di depan pintu kelas, akan mudah dihindari juga?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun