" Vit, kamu ga pulang? " Sapa ayumi yang mengagetkan ku.
" Kamu duluan aja, yu" jawabku sambil memasukan buku-buku kuliahku kedalam tas.
" Nunggu Fian ya? " tanyanya sambil melangkah menuju pintu bersama Nova.
Aku menganguk sambil melambaikan tangan sebelum tubuh mungil Ayumi dan Nova , menghilang di balik pintu. Aku kembali termenung sambil memandang hujan yang mulai turun dari balik jendela. " Aku membeci hujan dan petir", bisiku pada diriku sendiri. Mataku mulai berkaca-kaca .
" Kamu menangis, sayang " Sapa Fian yang lagi-lagi tak kusadari kedatangannya.
Aku buru-buru mengusap air mataku yang terlambat kusembunyikan dari Fian. Dia hampir setahun telah mengisi hari-hariku selama berada di negeri sakura ini. Mahasiswa Visual Communication Design ini begitu menyayangiku.
" Kamu baik-baik saja kan, sayang ?" suara Fian memastikan. Sebelum aku menjawab suara petir itu serasa hampir membuat jantungku copot. Tidak ada yang dapat aku sembunyikan dari mata Fian yang menghujam menuntut jawaban dari muludku yang masih terkunci rapat.
" Fian, aku benci hujan dan petir" suaraku hampir tak terdengar karena leherku tersekat tangis yang membuat anak sungai di kelopak mataku yang belo. Fian mencoba menenangkan aku dengan merengkuhku kedalam pelukanya. Aku menangis sesunggukan.
" Kadang hujan itu diperlukan, bukan untuk menghidupkan kehidupan, tapi agar segenap kedamaian dan hawa dingin tetap kita rasakan, Vit"Suara Fian begitu bijak. Tanpa diminta bercerita, aku mulai mengisahkan kenapa aku begitu membenci hujan dan petir.
Masih segar dalam ingatanku, kejadian dua tahun yang lalu, sehingga mengantarkan ku sampai ke Japan. Sore itu aku selesai mengikuti pelajar kuliah, aku meminta , Leo ,adikku menjemputku di kampus. Langit begitu gelap dan hujan rintik-rintik mulai turun. Sesekali petir itu mengelegar membahana yang membuat aku mulai resah. Tiga puluh menit berlalu, aku semakin galao dengan perasaanku.
" Semoga, Leo baik-baik saja" bisikku diantara ketidak tenangan. Anak itu suka menerjang hujan dan tak mau berteduh. Aku masih ingat sore itu, ketika aku dan Leo dari rumah Oma. Cuaca tak bersahabat, dan hujan mulai turun. Tapi Leo tetap saja nekad mengendari motornya pulang denganku. Ketika aku meminta untuk berteduh sampai hujan reda, selalu saja dia beralasan " tanggung sudah terlanjur basah".
" Kak, Buruan! " teriak Leo dari gerbang kampus yang membuyarkan lamunanku.
Benar saja , ini anak hujan-hujanan seperti dugaanku. Sebelum kakiku melangkah dan membuka payungku, tiba-tiba dentuman keras menyambar tubuh adikku. Kejadian begitu cepat sekali. Petir itu telah meluluh lantahkan tubuh Leo hingga terpental. Tubuhnya membiru, dan membuat diriku terasa lemas dan limbung. Aku tak sadarkan diri . Ketika siuman, aku telah berada dirumah sakit. Aku menangis histeri dan memanggil-mangil Leo.
Sejak kematian Leo, aku tak mau pergi ke Kampus lagi. Tempat itu benar membuat aku trauma dan merasa bersalah terhadap adikku satu-satunya. Akhirnya papa membujukku kuliah di japan agar tidak selalu mengurung diri dikamar dan menyalahkan diriku sendiri.
" Fian, Akulah yang bersalah atas kepergian, Leo " ucapku sambil menyeka butiran- butiran kristal yang membasahi pipiku.
Disekanya air mataku dengan tangan Fian yang begitu halus.
" Vit, jangan menyalahkan dirimu terus. Setiap orang pasti akan menuju kematian dan tidak ada yang dapat menghalang-halanginya. Tuhan telah menakdirkan adik kamu menghadapnya lebih cepat" aku semakin terisak mendengar nasehat, Fian.
" Kalau kamu sedih terus dan selalu menyalahkan diri kamu sendiri, pasti Leo akan sedih disana. Doakan dia agar arwahnya tenang disisi yang maha Agung dan berhenti menyalahkan diri, sayang".
Hujan telah reda ketika mataku membuang tatapanku ke jendela. Fian menganguk sambil mengajaku beranjak pulang.
NB: Cerpen ini kupersembahkan buat sahabatku Nova, Jovita, dan Ayumi sebelum aku pergi meninggalkan Hongkong. Maaf ya cerpennya tentang kesedihan. Aku akan merindukan persahabatan kita, merindukan kebersamaan kita selama di negeri beton. Love You sahabat :) !
Salam
KR