Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Air Mata Dinda

20 Desember 2010   07:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:34 394 7

Sepi kurasakan dalam pelupuk desah

Yang merayap ditepi dinding hati

Kubalut luka demi sepenggal waktu dan sedetik kisah

Tertuang dalam denting yang tak berdetak

Dan rintihan yang tak terukir

Apakah…..

Selamanya aku tak akan pernah dapat tuliskan kata bahagia

Karena kebahagiaan itu selalu menjauh

Haruskah setiap kata yang meluncur adalah kepedihan

Haruskah setiap kata adalah air mata yang mengering

Atau peluh yang harus bercucuran bersama gelap dan sepi

Dinda membenamkan wajahnya. Dia menangis diantara sunyi serta malam yang mulai beranjak menuju pagi. Ditangannya telah tergengam butiran obat tidur yang lumayan banyak. Dia berniat mengakhiri sakit atas sikap orang yang dia cintai. Dia lupa bahwa mencintai seseorang harus karena Allah. Saat Dinda ingin meminum obat-obat itu, sms masuk di hapenya.

Semoga Dinda baik-baik saja disana pesan singkat dari abangnya Dinda yang jauh di pulau Aceh.

Dinda melempar obat tidur itu seraya menangis sekencang-kencangnya. Dia menyadari seandainya dia bunuh diri, bukan kebahagiaan yang dia berikan kepada orang-orang tercinta, tapi sebuah duka yang lebih sakit yang mereka rasakan.

Berbisiklah kepadaku Tuhan, tentang dongeng-dongeng kebahagiaan yang tak tertulis. Tentang mimpi-mimpi indah dan harapan. Tuhan…bebaskanlah aku kedalam sebuah alam. Tempat dimana terdapat angin berhembus membelai dedaunan. Tempat dimana bintang-bintang bertaburan menghiasi malam”.

Setelah Dinda menguasai dirinya kembali, Dia melangkah menuju kamar mandi dan berwudhu. Ada ketenangan yang tersirat dari wajah Dinda.Kemudian, dia meraih mekena yang telah lama tak disentuhnya. Dia mengadukan semua beban kepada yang maha Agung dan memohon ampunan.

***

Pagi belum sepenuhnya usai pergi. Dan, sinar matahari juga belum cukup kuat mengeringkan sisa embun semalam. Di antara kelembutan waktu itulah Adinda meneteskan air matanya. Sayangnya, air mata keharuan itu tidak bisa kuseka dengan jemari ini. Jarak membuat dadaku ikut mendesak keharuan yang serupa. Malam itu, Dinda berterima kasih kepada Abangnya, karena telah memberi nasehat yang begitu berharga di hidupnya.

"Dik, kebahagian abang jika Dinda bahagia dengan perbincangan ini." Kalimat ini masih belum ingin ku kirim. Jemariku menyeka bulir air mata di pipiku sendiri. Tapi sungguh, tangan ini bagai menyeka bulir air mata Dinda. Akhirnya ku lanjutkan mengetik pesan yang tanpa perlu ku baca lagi langsung ku tekan tanda send yang tertulis di hape.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun