[caption id="attachment_149597" align="aligncenter" width="500" caption="
http://farm6.static.flickr.com"][/caption] Kita pernah membicarakan ini Dek? Saat lentera pudur dihempas angin dan gerimis. Saat kematianmu semakin mendekat. Saat tanah merah dihempaskan ke kuburmu yang abadi. Saat pendeta mengabarkan doa kepada langit gelap untuk mengundang malaikat menjemputmu. Aku tak lupa kenangan itu. Dek, kenangan serupa belati bermata ganda. Kuhidup dengan kenangan yang kau tinggalkan. Tiap detik hidupku, aku meraungi nasib jelek dan tanah merah kuburmu. Aku mati kelak juga karena kenangan itu. Tapi siapkah yang akan mengenangku setelah kuburmu tertutup kenangan yang kubawa mati? Dek, mengapa pula dalam gerimis di ujung malam ini kubuka lagi kenangan bersamamu? Tak paham iblis apa yang merasuk. Tak mengerti bahasa apa yang dinyanyikan kalbuku, namun airmataku berdesauan membasahi pipi yang makin keriput. Dek kenangan tentangmu membuatku hidup dan mati. Entahlah, Dek. Mungkin malam ini kita bisa berdansa sejenak di menara langit. Kita akan coba susuri kenangan yang kita simpan di relung terdalam. Dek, mungkin kita hanya akan diam. Kenangan itu sendirilah yang akan terbuka, menyuguhkan potongan-potongan. Sekolah, kereta bara, sawah dan danau. Mungkin juga hujan senja dan luka yang dalam. Dek, kenangan ini membuka luka. Kuingat kita nyatakan dalam cinta. Langit gemuruh, awan hitam dan hujan turun dalam sekejap mata. Dek merekalah yang menang, kitalah yang kalah. Dek, mengapa kenanganmu menyergapku dalam malam gelap di akhir sujudku? Adakah yang ingin kau katakan dari surga? Tidakkah engkau cukup puas melihat penderiataanku. Dek, Bisakah kita berdamai sejenak? Aku memohon.
KEMBALI KE ARTIKEL