Saya ikut kebaktian karena ingin mendengarkan khotbah sang pendeta. Untuk apa lagi saya rela pergi malam-malam menerabas hujan ke Gejayan selain untuk memuaskan kerinduan akan pengajaran? Dan tiap Minggu, saya dapatkan pembelajaran yang luar biasa, seperti Minggu ini. Saya sengaja, tidak membawa Alkitab, baik konvensional maupun aplikasi Android. Bukan karena tas saya terlalu kecil untuk memuatnya. Bukan juga karena Alkitab saya sudah tak keruan bentuknya. Hanya karena satu hal sederhana: saya ingin belajar menyimak ketika bacaan dibacakan di depan. Apa gunanya lektor ketika masing-masing umat malah membaca sendiri? Ajaibnya, Tuhan menanggapi keinginan saya untuk belajar menyimak. Siapa sangka kalau khotbah hari ini tentang keajaiban “mendengar”?
Kemudian, filosofi di balik mendengar; mendengar suara Tuhan. Pertama, mendengar itu berarti mengerti. Kalau tidak mengerti, berarti proses mendengar tidak berjalan dengan baik. Sesungguhnya, mendengar dan mengerti (alias menyimak) ini sulit dilakukan, menurut saya. Dalam mata pelajaran bahasa, sistem pendidikan dasar di Indonesia terbiasa mengajarkan membaca dan menulis dengan porsi yang lebih banyak ketimbang pelajaran mendengar. Itulah mengapa, dalam TOEFL kebanyakan teman saya mengeluhkan tes listening. Skor TOEFL ITP saya juga paling rendah berada pada bagian mendengarkan.