Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Arti Sekufu

7 Mei 2013   11:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:58 2131 0

Akhir-akhir ini saya disibukkan dengan membaca artikel-artikel tentang pernikahan. Ternyata, saya pernah membuat tulisan di note FB yang kemudian mengundang banyak komentar dari teman-teman. Di sini saya mencoba mengkolaborasikan pemahaman yang saya dapatkan dari membaca Novel karya Tere Liye dan artikel dari Penulis buku, Salim A. Fillah.

Novel karya Tere Liye, “Bidadari-Bidadari Surga”. Alhamdulillah, sangat cukup  menginspirasi. Dalam novel tersebut, saya sangat tertarik dengan dialog ini;

"Kau tahu, jika suami merasa tersiksa melihat wajah dan fisik istrinya, dan juga sebaliknya, mereka tidak akan pernah menjadi keluarga yang baik. Bukankah kau juga tahu kisah tentang sahabat Nabi, yang meminta bercerai karena fisik dan wajah pasangannya tidak menenteramkan hatinya—" Laisa tetap berkata ringan.

Dalimunte menelan ludah, menatap lamat-lamat wajah Kak Laisa. Tahun-tahun itu, Dalimunte sudah mulai sibuk dengan berbagai penelitian tentang transkripsi religius, jadi bagaimana mungkin dia tidak tahu berbagai kisah tersebut. Dia tahu. Dia juga tahu persis kalimat bijak kalau: ketika salah satunya justru memutuskan untuk bersabar atas pasangan yang tidak beruntung dari tampilan wajah dan fisik tersebut, maka surga menjadi balasan buatnya. Tidakkah hari ini, ada yang mengerti hakikat kisah tersebut.”

Untuk yang belum membaca Novel tersebut atau belum nonton Film-nya, sedikit informasi tentang Kak Laisa. Dia adalah Seorang perempuan yang tidak indah di pandang mata, intinya seperti itu. Hingga di usianya yang menjejaki angka 40, jodoh itu belum datang juga. Hanya satu kekurangannya, fisik. Materi, dia mempunyai perkebunan Strawberry yang luas. Keturunan, meskipun tidak berdarah ningrat tapi asal-usul keluarganya jelas. Agama, subhanallah, tidak perlu diragukan lagi.

Dari ilustrasi di atas, mungkin ada yang bertanya, lalu apa hubungannya dengan kata SEKUFU? Menurutku ini sangat berhubungan. Kata teman saya, “Yang sempurna itu juga cari yang sempurna, Ky”. Kemudian, teman lainnya bilang gini; “ada yang memahami bahwa ayat yang mengatakan yang baik-baik itu untuk yang baik-baik pula diartikannya, ketika dia berpendidikan S2 maka jodohnya juga haruslah S2”. Hmmm... 

Sebelum membahas pengertian sekufu, mari kita simak dulu sebuah kisah nyata dari kehidupan Rasulullah SAW. Sebenarnya hampir semua kita sudah familiar dengan cerita ini, hanya saja, seberapa jauh kita memaknainya...entahlah... 

Sejarah dan catatan hidup orang-orang sholeh terhampar begitu banyak. Merekalah contoh-contoh sejati. Tetapi sebagian kita masih saja berpikiran kerdil, sempit dan egois. Bahkan terkadang, kita menjadikan sejarah untuk mendukung ambisi pribadi. Memilih wanita hanya karena kecantikannya, karena Rasulullah SAW memilih Aisyah RA yang cantik dan pintar. Memilih calon hanya dari keturunannya dengan alasan Rasulullah SAW memilih Zainab binti Zahsy yang bangsawan. Atau memilih pasangan hidup dari kekayaannya melihat Nabi menikahi Khadijah yang kaya dan mapan. 

Lalu mengapa tidak mengambil pelajaran dari kisah Rasulullah saat memilih Saudah binti Zam’ah? Wanita itu sama sekali tidak secantik dan secerdas Aisyah, tidak sekaya Khadijah, dan bukan bangsawan seperti Zainab binti Zahsy. Saudah bertubuh gemuk dan tidak sedap dipandang mata, berasal dari keluarga sederhana, dan seorang janda. Hampir sama dengan penokohan Kak Laisa, hanya saja dia bukan janda.  Tapi apa yang dilihat Rasulullah dari Saudah? Beliau melihat pancaran pesona yang luar biasa. 

Dahulu bersama suaminya Sakran bin Amr, Saudah rela hidup susah meninggalkan Mekkah menuju negeri sebrang Habasyah. Saudah mampu mengganti peran Khadijah dalam mendidik putra putri kandung Rasulullah (Rasulullah hanya memiliki anak kandung dari Khadijah dan Mariyah Qibthiyah). Rasulullah tidak bisa mengharapkan itu dari Aisyah yang masih belum dewasa. Saudah bahkan rela menghadiahkan malam-malam gilirannya kepada Aisyah, istri Rasulullah yang paling pencemburu. 

Kini tanyakan pada kenyataan saat ini. Adakah yang demikian? Apakah kisah Saudah tidak cukup menjadi pelajaran per-sekufu-an (dalam menikah) bagi kita?! Ah itu kan Nabi! Kalau diberikan contoh sahabat Rasulullah; ah itu kan sahabat! Bila disodorkan contoh orang-orang sholeh; ah itu kan usdtadz! Dan bila diceritakan kisah teman-temannya sendiri; ah itu kan dia! Ah!! Dasar manusia! Allahu’alam. 

Itulah sekelumit catatan kecil. Mudah-mudahan ini hanya setetes minyak di samudera luas. Kumpulan perilaku yang semoga tidak mengotori kesucian agama ini. Semoga kita sekalian bisa menemukan kisah-kisah yang lebih baik dari itu. Lalu menjadikannya bahan teladan bagi kehidupan kita.   

Mengenai konsep “SEKUFU”. Konsep sekufu dalam pernikahan ditegakkan dengan tujuan memberikan keamanan, kemaslahatan & kenyamanan dalam pernikahan. Keamanan, kemaslahatan, & kenyamanan nan hendak dicapai dengan konsep sekufu, tertuju pada mempelai, keluarga, & masyarakat. 

Maka sekufu yang dimutlakkan hanya pada soal Diin. Sebab ianya adalah asas bagi semua keamanan, kemaslahatan, & kenyamanan. Ukuran sekufu dalam Diin bukan semata soal perbendaharaan ilmu, melainkan juga komitmen keber-agamaan ('ilmu->'amal->akhlaq). Jika sekufu dalam Diin telah dicapai; maka sekufu dalam hal lain menjadi relatif-subjektif sesuai kondisi & komitmen dari yang bersangkutan.  

Sekufu/kesetaraan selain soal Diin itu antara lain; Suku/Bangsa, Nasab/Keturunan, Status Sosial/Jabatan, Harta, Umur & Paras/Fisik. Jika memang keamanan, kemaslahatan, & kenyamanan bagi mempelai, keluarga, & masyarakat hanya bisa dicapai dengan sekufu, dalam kesemua soal itu, ya silahkan saja diupayakan mendapat pasangan yang sekufu dalam semuanya itu. Tapi sungguh ini sangat sulit. 

Maka setelah Diin; tiada sekufu yang dimutlakkan. Pasangan Kaya-Miskin asal siap saling mendukung hadapi ujian pernikahan, insya Allah berkah. Demikian juga tak sekufu; Tua-Muda, Bernasab Mulia-Biasa, Tokoh Pemuka-Jelata; selama Allah & Rasul jadi pemandu kehidupan, semoga semua tantangan jadi kebaikan dunia-akhirat.

Pun; tetap saja tiap masyarakat memiliki sensitivitasnya masing-masing dalam soal sekufu. Menyesuaikan diri dengan 'urf/kebiasaan setempat juga adalah kebaikan. Misal; tradisi masyarakat/keluarga tertentu tak mempermasalahkan soal harta, tapi sensitif tentang sekufu kebangsawanan atau sebaliknya. Atau tak mempermasalahkan berbagai hal, kecuali tentang sekufu/kesetaraan profesi kedua mempelai, dsb. 

Maka semua dikembalikan ke tujuan asasi; sekufu ditegakkan untuk keamanan, kemaslahatan, & kenyamanan kedua mempelai yang bersangkutan. Sekufu hendaknya jadi sintesis antara komitmen pada panduan Allah & RasulNya, serta musyawarah yang hangat dengan keluarga. 

Semoga kita tidak termasuk orang yang hanya menyukai tampilan fisik dan wajah saja. Seperti seekor lebah tertarik atas indahnya kelopak bunga, atau seperti seekor rubah yang tertarik pasangannya karena bau tubuhnya. Karena sejatinya, hewan-lah yang berperangai seperti itu. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun