Mohon tunggu...
KOMENTAR
Healthy

Dakwaan MA pada Dr. Ayu dkk Salah Besar!

29 November 2013   13:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:32 289 2
(lebih jelas tentang Menguak Kasus Malapraktek Ala Deddy Corbuzier oleh Deirdra Sujono)
Saya menyadari sepenuhnya bahwa keributan yang ditimbulkan oleh kasus dr. Ayu dkk adalah akumulasi ketidak-puasan masyarakat terhadap profesi dokter dan timbunan ketidak-ikhlasan profesi dokter terhadap sistem kesehatan pemerintah Indonesia. Namun, saya ingin sekali menyajikan fakta bahwa sebenarnya inti dari permasalahan ini tidak pernah ada karena dakwaan yang diputuskan salah sasaran.
Jawa Pos Kamis, 28 November 2013 menulis judul ‘Surat Izin Praktik dr Ayu Palsu’. Benarkah? Saya akan menunjukkan faktanya.

Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 365 K/Pid/2012 tertulis:

"Bahwa Para Terdakwa, masing-masing dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI (Terdakwa I), dr. HENDRY SIMANJUNTAK (Terdakwa II) dan dr. HENDY SIAGIAN (Terdakwa III) baik secara bersama-sama maupun bertindak sendiri-sendiri, pada hari Sabtu tanggal 10 April 2010, pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut dalam dakwaan Kesatu di atas, dengan sengaja telah melakukan, menyuruh lakukan dan turut serta melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik (SIP),"

Pada surat Putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor 90/PID.B/2011/PN.MDO, masalah tentang tidak memiliki SIP ini sudah tercantum.

"Bahwa para terdakwa, masing-masing dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI (Terdakwa I), dr. HENDRY SIMANJUNTAK (Terdakwa II) dan dr. HENDY SIAGIAN (Terdakwa III) baik secara bersama-sama maupun bertindak sendiri-sendiri, pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut dalam dakwaan Kesatu di atas, dengan sengaja telah melakukan, menyuruh lakukan dan turut serta melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik (SIP),"

Jadi, mengapa Pengadilan Negeri Manado pada tahun 2011 memutus dr. Ayu dkk bebas?

Prof. Dr. Najoan Nan Warouw, Sp.OG, 66 tahun, adalah Ketua Program Studi Kandungan dan Kebidanan di Universitas Sam Ratulangi dan konsultan jaga saat kejadian terjadi. Sebagai saksi, beliau menyampaikan bahwa prosedur operasi tersebut dilakukan setelah melakukan konsultasi terlebih dahulu pada beliau. Dan disampaikan juga bahwa peserta pendidikan program dokter spesialis tidak wajib memiliki surat ijin praktek karena sudah memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dokter dan sudah bisa melakukan tindakan kedokteran dan prosedur usulan ijin praktek diusulkan oleh Dekan Fakultas Kedokteran kepada Dinas Kesehatan.

Hal ini senada dengan kesaksian yang disampaikan Kepala Dinas Kesehatan Kota Manado, dr. Ivone M. Kaunang, MA, 52 tahun. Bahwa proses perijinan dokter PPDS adalah Surat Tanda Registrasi (STR) diajukan oleh Dekan Fakultas Kedokteran kepada Kepala Dinas Kesehatan Kota Manado untuk diterbikan ijin praktek secara kolektif dan dasar Dekan Fakultas Kedokteran mengajukan permohonan ijin kolektif untuk dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis adalah Peraturan Menteri Kesehatan No.512 tahun 2007 Pasal 7 ayat 3.

Memang dr. Ayu dkk tidak memiliki SIP. Tapi, apakah SIP yang seharusnya dimilikinya secara otomatis ketika dia terdaftar sebagai PPDS itu harus menjadikannya sebagai pesakitan? Kalau ada yang harus disalahkan perkara ketiadaan SIP, maka itu adalah institusi tempatnya belajar. Tetapi, tidakkah itu adalah masalah administratif? Tepatkan jika diperkarakan secara pidana? Silakan menilai sendiri.

Tentang tuduhan tidak memberikan informasi perihal risiko tindakan operasi yang dilakukan pada Fransiska Makatey, saya punya ilustrasi untuk Anda. Suatu kali Bapak saya akan dioperasi. Tadinya beliau baik-baik saja menghadapi itu. Sampai ketika sehari sebelumnya dokter anestesi datang dan menjelaskan kepada beliau kemungkinan-kemungkinan yang mungkin terjadi pada beliau di meja operasi. Bapak saya menelepon dengan gelisah. Sempat terpikir untuk batal operasi saja. Mungkin kalau tidak didesak rasa nyeri yang sangat, bisa saja bapak saya memaksa untuk pulang. Kebetulan dokter anestesi itu adalah kakak kelas saya satu tingkat. Beliau saya kenal sebagai orang yang lugas dalam berbicara dan tanpa ‘tedeng aling-aling’ dalam menyampaikan sesuatu. Tidak ada salahnya jujur demikian pada pasien. Tapi, tekanan darah bapak saya sempat meningkat dan membutuhkan persiapan ekstra untuk operasi keesokan harinya dan tentu saja, dengan demikian risiko operasi bapak saya menjadi lebih besar.

Tidak semua orang siap menerima informasi tentang hal-hal yang mungkin terjadi pada dirinya. Dan tidakkah pasien datang berobat untuk mencari kesembuhan? Kebanyakan risiko tindakan medis kemungkinan terburuknya adalah kematian dengan berbagai sebab. Entah emboli udara (risiko dipasang infus), emboli lemak (risiko operasi tulang panjang), emboli ketuban (risiko melahirkan), syok anafilaktik (risiko alergi terhadap suatu bahan atau obat yang seringkali tidak diketahui sebelumnya), ataupun sebab lainnya. Sebenarnya tidak ada sulitnya bagi dokter untuk menerangkan itu. Tapi, apakah Anda yakin itu yang Anda harapkan ketika berobat ke dokter? Bahkan ketika Anda hanya batuk tapi harus menerima penjelasan bahwa dengan meminum obatnya maka mungkin Anda akan mengalami depresi nafas yang berat. Apa itu yang Anda cari?

Kalau Anda adalah orang berpendidikan tinggi, mungkin Anda bisa memilah dan memilih informasi yang Anda terima. Tapi, bagaimana kalau yang menjadi pasien dan keluarganya adalah orang semacam tetangga-tetangga saya yang hidup di desa, berpendidikan rendah, dan percaya pada apapun yang mereka dengar dan mengartikannya semau persepi mereka sendiri. Tidakkah hal rutin dalam dunia medis ini malah akan menimbulkan kehebohan?

Kembali pada kasus ini. Saksi Yulin Mahengkeng, 52 tahun, ibu Fransiska Makatey mengatakan bahwa sebelum operasi tidak ada penjelasan dari dokter kepada saksi tentang resiko operasi. Tapi, beliau menanda tangani surat persetujuan operasi pada hari Sabtu 2010 sekitar jam 9.00 malam. Ayah Fransiska, Anselumus Makatey, 53 tahun, juga mengatakan bahwa beliau disodori surat persetujuan untuk ditanda tangani sekitar jam 19.00 wita dan beliau mengatakan melihat tanda tangan istrinya di surat persetujuan itu.

Sepanjang pengetahuan saya ketika masih menjalani dokter muda di RSUD dr. Soetomo dan ketika bekerja di beberapa RS, form persetujuan tindakan medis bukanlah selembar kertas kosong. Dalam form itu terdapat tulisan yang menjelaskan tentang risiko tindakan medis secara umum. Memang, untuk setiap kasusnya, dokter harus menerangkan mengingat keunikan setiap kejadian. Tetapi, sebagai seorang dewasa yang sehat jasmani dan rohani, tidakkah seharusnya ayah dan ibu Fransiska bertanya apabila merasa belum mendapatkan keterangan dengan jelas? Terlebih, ketiga dokter menyangkal bahwa mereka tidak memberikan penjelasan pada keluarga Fransiska tentang kondisi Fransiska dan risiko operasi yang dijalaninya. Mungkin benar adanya bahwa para dokter ini telah menjelaskan hal-hal tersebut, namun tidak dipahami oleh keluarga Fransiska. Atau, mungkin saja memang komunikasi itu tidak dilakukan. Bisa saja. Saya tidak menampik bahwa sebagian dokter memang bukan komunikator yang baik. Tapi, apakah kalau dokter tidak menjelaskan risiko tindakan itu cukup untuk membawanya ke dalam bui? Coba tanya diri Anda yang pernah berada dalam situasi kritis, apakah Anda akan meminta keterangan panjang lebar tentang situasi kritis yang dihadapi anak, istri, atau suami Anda, ataukah memotong perkataan dokter sembari memaksanya segera bertindak alih-alih bicara? Jika kadangkala Anda memilih untuk pasrah, kenapa kali ini memilih ikut terbakar dan tidak terima saat keluarga Fransiska ‘merasa’ belum mendapatkan informasi?

Saya yakin, setelah kejadian ini para dokter dan tenaga medis lainnya tidak akan keberatan untuk belajar berkomunikasi lebih baik. Tapi, sebaiknya Anda mengembalikan kepercayaan pada dokter, karena untuk menyampaikan efek samping dan risiko pengobatan pada Anda diperlukan kebijaksanaan tersendiri dari dokter.

Tentang tanda tangan Fransiska yang dianggap palsu oleh Forensik, tidakkah para saksi sudah menyatakan bahwa mereka menyaksikan Fransiska menandatangani form persetujuan tindakan medis tersebut? Kalau ternyata tidak sama dengan yang tertera dalam KTP atau kartu ASKES yang bersangkutan, tidakkah perlu dipertimbangkan situasi kesakitan dan stres yang tengah dialami Fransiska? Saya saja ketika harus tanda tangan di perjanjian hutang piutang bisa jadi berbeda dengan tandatangan dalam KTP. Padahal saya tidak didera kesakitan. Tentang itu, saya pun tidak ada waktu itu. Dan saya pun bukan ahli menilai tanda tangan. Tapi, saya punya pendapat tentang itu berdasarkan nalar saya. Menurut Anda?

Masih di Jawa Pos.

"Penanganan oleh dr. Ayu cs juga dianggap sebagai penyebab meninggalnya Siska. Menurut pertimbangan majelis hakim, perbuatan mereka melakukan operasi terhadap Siska mengakibatkan timbulnya emboli udara yang masuk ke dalam bilik kanan jantung."

Dalam Putusan Nomor 365 K/Pid/2012 tersebut keterangan para ahli.

dr.Hermanus Jakobus Lalenoh, Sp.An. menyatakan dalam kesaksiannya bahwa emboli udara adalah masuknya udara dalam pembuluh darah balik. Setiap pembuluh darah balik yang terbuka bisa memungkinkan terjadinya hal ini. Seperti pada pemasangan infus dan pemberian obat via suntikan. Di bidang kebidanan, peristiwa ini sering terjadi pada proses operasi Sectio Caesaria dan kuretase. Ketika plasenta terlepas dari rahim, maka saat itu pembuluh darah balik terbuka dan mungkin ada udara yang masuk ke dalamnya. Prof. Dr. Najoan Nan Warouw, Sp.OG. menyatakan kemungkinan bahwa Fransiska mengalami fibrilasi akibat emboli. Yang mana proses terjadinya emboli adalah seperti yang sudah tertera sebelumnya. Saksi ahli lain, dr. Robby Willar, Sp.A. mengatakan bahwa pada saat plasenta keluar, pembuluh darah yang berhubungan dengan plasenta terbuka dan udara bisa masuk dari plasenta tetapi tidak berpengaruh terhadap bayi karena sebelum plasenta dikeluarkan bayi sudah dipotong/ bayi lebih dulu keluar kemudian tali pusat/ plasenta dipotong. Sedangkan ahli forensik, Johannis F. Mallo, SH. Sp.F. DFM. Menyatakan bahwa infus dapat menyebabkan emboli udara tetapi kecil kemungkinan.

Terjemahan mudahnya, Fransiska Makatey meninggal karena emboli udara. Dan emboli udara itu terjadi karena Fransiska melahirkan. Plasenta terbuka karena dia melahirkan, kan? Tanpa operasi, tidakkah dia tetap melahirkan? Tapi, tidakkah dia memang datang untuk mendapat pertolongan lebih lanjut? Sebelumnya Fransiska telah menjalani perawatan di Puskesmas. Dia dirujuk ke RS karena bayinya tak kunjung lahir. Kalau bisa melahirkan normal tanpa operasi, semestinya Fransiska akan melahirkan di Puskesmas itu bukan? Ditentukan situasi cito di RS Kandouw karena si ibu dan bayi terancam nyawanya apabila bayi tidak segera dilahirkan. Pemasangan infus adalah bagian dari prosedur operasi. Kalau tidak dipasang infus, tentunya kemungkinan buruk yang mungkin terjadi dalam proses operasi tidak bisa diantisipasi. Pemasangan IV line adalah prosedur penting untuk stabilitas sirkulasi seseorang. Kalau tidak dipasang infus, bisakah Fransiska berangkat ke kamar operasi untuk melahirkan? Kalau tidak dilakukan SC pada Fransiska, apa tidak mungkin dia tetap meninggal bahkan lebih buruk beserta bayinya? Bukan malpraktik yang terjadi pada kasus ini. Itu adalah risiko tindakan.

Jika suatu kali anda membawa anak Anda yang sedang dalam kondisi dehidrasi akibat diare, mana yang Anda pilih. Menolak dipasang infus karena khawatir risiko emboli udara dan menyaksikannya pelan-pelan jatuh dalam dehidrasi berat, gagal ginjal akut, dan bahkan meninggal dalam penderitaan ataukah menempuh tindakan infus dengan risiko emboli udara yang sebenarnya jarang terjadi ini sehingga dapat segera dilakukan rehidrasi padanya? Dengarkan kata nurani Anda. Layakkah upaya penyelamatan yang dilakukan dr. Ayu dkk ini diganjar dengan bui?

Satu lagi, untuk bapak Artidjo Alkostar yang terhormat. Anda menyakiti hati saya dengan mengatakan “Jangankan dokter, hakim pun tidak boleh ada di atas hukum. Kok mau-maunya merasa diatas hukum”. Kami ini orang terpelajar, Pak. Kami tahu bahwa hukum berlaku di negara ini. Tapi, hukum yang mana yang Anda maksud, ketika hakim, jaksa, pengacara, bahkan paniteranya tidak mengerti tentang kedokteran? Bagaimana Anda bisa memutus salah ketika tidak tahu kebenarannya bagaimana? Ilmu kedokteran tidak bisa dipahami hanya dengan membaca buku atau googling, Pak. Tidak ada satu manusia pun di dunia ini yang sama persis. Manifestasi teori di buku jelas berbeda pada tiap orang. Pemaknaan teori kedokteran oleh dokter baru lulus berbeda dengan dokter yang telah bertemu ribuan pasien. Pengalaman memegang peranan penting. Lantas, bagaimana bisa dilakukan pengadilan atas tindakan dokter yang Anda sendiri tidak mengetahui bahkan arti kosakatanya saja?

Sebaiknya ada pengadilan khusus untuk para dokter yang lalai layaknya pengadilan khusus untuk para pilot. Jangan khawatir dokter mengutamakan korpsnya dari pada kepentingan pasien. Kami ini juga bagian dari Indonesia yang menginginkan kemajuan bagi negeri ini. Kami juga tahu bahwa memelihara yang salah adalah awal dari kebobrokan. Kami ini dibesarkan dalam niat mulia. Mungkin ada sebagian dari kami yang Anda anggap jahat. Tapi tidakkah itu karena menurut Anda kami ini mata duitan? Menarif pasien mahal? Menulis resep obat paten? Itu pun hanya segelintir saja. Sejahat-jahatnya kami, tak pernah kami berniat mencelakakan orang, apalagi membunuh. Silakan Anda menilai sendiri.

Sekedar info tentang aksi solidaritas kemarin. Peristiwa itu terjadi pada tahun 2010. Putusan bebas oleh Pengadilan Negeri Manado diberikan pada tahun 2011. MA menvonis dr. Ayu dkk bersalah pada tahun 2012. dr. Ayu telah mengajukan PK sejak Februari 2013. Upaya-upaya damai telah ditempuh dan pengajuan PK dr. Ayu tak digubris. Yang memantik semua ini adalah ketika pada bulan ini dr. Ayu ditangkap ketika sedang bekerja di RS, digelandang bak kriminal, dan dinyatakan sebagai buron yang melarikan diri. Itu kronologisnya yang perlu Anda ketahui sebelum menilai kami.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun