Setelah mendengarkan bersama lagu yang saya maksud, maka saya diberi tahu bahwa kata aneh tadi sebenarnya bukanlah kata. Itu adalah kata yang saya penggal dan gabung paksa sehingga menjadi sebuah kata aneh. Saya lupa kata itu persisnya apa. Tapi akan saya memberikan contoh.
senja kala bersama dirimu
Sebagai anak kelas dua SD, saya tahu 'senja' itu apa. Saya juga tahu 'sama' itu apa. Saya pun tahu penggunaan kata 'dirimu'. Tentang kata 'sama', karena saya hidup di lingkungan berbahasa jawa, pengetahuan saya terbatas pada penggunanaan kata 'sama' pada kalimat "sama siapa?" sebagai terjemahan dari bahasa jawa "ambek sopo?". Saya tidak tahu bahwa kata 'sama' mempunyai saudara bernama 'bersama'. Akibatnya, saya membaca kalimat "senja kala bersama dirimu" sebagai "senja kalaber sama dirimu". Kalimat asalnya terlihat tidak sesuai untuk anak-anak (sebenarnya itu memang syair lagu orang dewasa), apalagi setelah saya jadikan versi saya. Itulah saya ketika kecil. Hanya membunyikan kata-kata. Tak selalu tahu apa maknanya. Demikian pula dengan saya dan Al-Qur’an.
Keluarga saya adalah keluarga baik-baik. Walaupun kami berusaha tidak meninggalkan sholat lima waktu, menjaga pekerjaan dan makanan kami halal, berusaha mengerjakan sunnah Rasulullah, saya tidak berani menyebut keluarga kami religius. Tidak ada seorang pun dalam kelurga kami yang tidak bisa ngaji. Bahkan si bungsu-lima tahun saya juga giat belajar ngaji. Kami yakin bahwa bacaan terbaik adalah Al-Qur’an. Namun, sulit sekali untuk menjadikannya bacaan favorit sepanjang waktu.
Saya tidak keberatan dengan gaya ngaji saya yang grathul-grathul. Saya juga tidak bermasalah dengan frekuensi ngaji saya yang bisa dihitung jari dalam satu bulan (bahkan mungkin satu tahun). Tapi itu dulu. Sebelum anak saya bersekolah di SDIT di kecamatan sebelah. Semenjak intensif belajar baca Al-Qur’an di sekolah, anak saya mulai memrotes makhroj saya yang amburadul. Dia mulai mekritik pedas tajwid saya yang berantakan. Belum lagi panjang pendek bacaan yang sering sengaja saya abaikan. Anak saya yang baru saja berulang tahun ke-8 membuat saya sangat gerah dengan ketidakmampuan saya dalam membaca Al-Qur’an.
Membaca Al-Qur’an tidak pernah benar-benar menjadi kegiatan membaca bagi saya. kepercayaan yang kuat akan kemuliaannyalah yang mampu memaksa saya untuk tetap membunyikannya. Membunyikannya? Iya. Bagi saya, selama ini saya hanya membunyikan Al-Qur’an. Saya tidak tahu apa yang saya baca. Memang tidak sulit untuk melengkapinya dengan membaca terjemahnya. Namun, tidakkah membaca terjemah itu juga sesuatu tersendiri?
Saya sadar seharusnya saya tidak perlu mengeluh. Sebenarnya saya sangat berkuasa untuk mengubah itu. Saya hanya harus belajar. Itu saja. B E L A J A R. Namun, siapa pun mungkin tidak akan menyalahkan kalau saya kesulitan menimbulkan niat belajar karena lingkungan saya. Pendidikan yang saya tempuh sejak kecil hingga sekarang adalah jalur pendidikan umum. Di kampung saya juga jarang ada kumpulan pengajian. Apa daya bapak ibu saya yang sudah menghabiskan suaranya untuk memaksa anak-anaknya mengaji walaupun hanya selepas sholat maghrib.
Percikan hasrat itu baru muncul. Saya iri pada anak saya yang mampu ngaji dengan nada merdu dan fasih (untuk seusianya, tentu saja). Saya menyemburui guru-guru lulusan pesantren. Saya ingin punya hafalan Al-Qur’an, minimal Surah Yasiin saja, supaya tidak malu mengikuti perkumpulan guru-guru di sini. Dulu saat hamil, saya pernah punya daya paksa luar biasa untuk menghafalkan juz amma demi anak saya. Tapi selalu berhenti di An-Naba (baca: hanya hafal An-Naba). Itu pun sekarang sudah lupa. Saat ini, ketika anak saya dan yayasan pendidikan yang saya ampu menggelitik saya, keinginan untuk menolak membunyikan Al-Qur’an muncul.
Saat saya membaca berita di koran tentang kegiatan rumah sakit tempat saya mengabdi dulu, saat itulah saya menemukan alasan untuk berhenti membunyikan Al-Qur’an. Direktur RS baik hati yang masih menganggap saya sebagai bagian dari keluarga besar RS, mengizinkan saya bergabung dengan sebuah pelatihan keren yang diselenggarakan di sana. Tadinya saya berpikir untuk menolaknya. Pelatihan itu sepertinya tidak sesuai untuk saya, terlalu keren untuk saya. Pelatihan itu adalah pelatihan terjemah Al-Qur’an.
Saya tidak bisa membayangkan bentuk pelatihannya. Bahkan saya tidak mampu membayangkan saya mengikuti pelatihan itu. Saya menerjemahkan Al-Qur’an? Saya yang masih grathul-grathul membaca Al-Qur’an ikut pelatihan terjemah Al-Qur’an? Terdengar sedikit mengerikan bagi saya. Untungnya saya punya sopan santun. Alih-alih menolak mission impossible ini, saya mengajak guru-guru untuk menemani saya. Dan saya bersyukur atas langkah yang saya ambil. Maka, pada tanggal 29-31 Maret 2014, berangkatlah saya bersama dua orang guru menuju RSI Hasanah Mojokerto untuk mengikuti Pelatihan Terjemah Al-Qur’an Metode Tamyiz.
Saya senang belajar, dan Tamyiz merupakan sebuah metode belajar yang menyenangkan. Tadinya, saya pulang hanya dengan perasaan senang. Senang bahwa saya punya pengetahuan baru tentang membaca Al-Qur’an. Senang mengetahui bahwa ayat yang saya baca dalam Al-Qur’an ternyata terdiri dari huruf, isim, dan fiil. Senang bahwa dengan berbekal itu saja saya sudah bisa mencari sendiri arti kata yang saya baca dalam kamus. Walaupun masih jauh dari pintar, tapi sudah bisa sudah membuat saya senang dan bangga. Tapi yang terjadi selanjutnya menurut saya sungguh ajaib. Senang dan bangga tak lagi ada artinya.
Saya adalah tipe orang yang selalu meminta penjelasan atas sesuatu. Tidak mudah memaksa saya untuk melakukan suatu hal tanpa saya tahu alasannya. Saya tidak suka bila saya tidak tahu. Dengan belajar Tamyiz saya tidak perlu menelan bulat-bulat apa kata buku tentang arti ayat Al-Qur’an yang saya baca, walaupun hampir pasti arti ayat yang tercantum dalam Al-Qur’an yang dilengkapi terjemah adalah benar. Namun melalui pengetahuan, saya mempunyai kekuasaan untuk mencari tahu tentang apa yang saya baca.
Rupanya kekuasaan itu menjadi tantangan yang menagih saya lagi dan lagi. Selepas membunyikan ayat, saya menuliskannya dalam buku tulis, lalu saya memretheli-nya. Selanjutnya prethelan-prethelan tersebut saya artikan berdasarkan kamus bahasa arab yang saya peroleh saat pelatihan Tamyiz. Tadinya saya hanya memuaskan hasrat saya untuk tahu lebih banyak ayat dengan cara yang menyenangkan. Namun, lama kelamaan, ketika saya membunyikan ayat yang saya lihat dalam Al-Qur’an, tiba-tiba saya merasa sebagian ayat itu saya baca. Iya! Saya membacanya. Tiba-tiba saya membacanya. Tanpa sadar saya membacanya karena saya tahu artinya, walaupun hanya sepenggal-sepenggal.
Saya sadar betul bahwa untuk menerjemahkan Al-Qur’an diperlukan lebih dari kemampuan memenggal kalimat dan mencari artinya. Namun saya yakin, tak lama setelah dahaga saya terhadap metode ini terpuaskan, saya akan mencari cara untuk mendapatkan lebih banyak lagi (walaupun saat ini saya belum tahu caranya). Saya tak ubahnya manusia lain yang selalu tidak puas dengan yang sedikit. Saya yakin, berawal dari sepenggal, saya akan melanjutkan pencarian hingga mendapatkan seluruhnya.
Sepenuh hati saya ingin berterimakasih kepada RSI Hasanah Mojokerto. Walaupun sekian lama jeda saya dengan keluarga besar RSI Hasanah, namun saya masih dihadirkan layaknya keluarga. Terima kasih, untuk kehangatan kapan pun saya datang. Terima kasih, untuk kesempatan belajar yang mengubah hubungan saya dengan Al-Qur’an menjadi penuh rindu. Sehari tanpa satu ayat Al-Qur’an menjadi siksaan bagi saya. Saya rindu membaca, rindu menulis, rindu rasa senang mengetahui artinya.
Terima kasih, untuk memberi saya mimpi baru. Mimpi membaca Al-Qur’an dan maknanya.