Sekolah menggunakan kata ‘sumbangan’ tapi dalam prakteknya ‘sumbangan’ itu ditentukan sepihak oleh sekolah, jadi kewajiban (keharusan), dan juga tidak disesuaikan dengan kemampuan orang tua.
***
Sekolah Itu Tidak Gratis
Menurut Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, sumber pembiayaan pendidikan berasal dari pemerintah (pusat), pemerintah daerah dan masyarakat.
Sekolah negeri itu TIDAK GRATIS karena dibayar oleh pemerintah dan masyarakat.
Gaji guru yang merupakan PNS merupakan pembiayaan terbesar yang dibayar oleh pemerintah pusat, sedangkan pemerintah daerah antara lain membiayai apa yang sudah biasa disebut SPP bulanan. Sementara komponen biaya pendidikan itu bukan hanya gaji guru, DSP dan SPP. Secara langsung, masyarakat juga mengeluarkan biaya pendidikan untuk kebutuhan langsung anak-anaknya. Karena pemda baru membayari SPP untuk tingkat SD/MI dan SMP/MTs, masyarakat juga menjadi pihak yang membayar SPP untuk tingkat SMA/MA/SMK.
“Biaya transportasi dan konsumsi anak ke sekolah kan ditanggung orang tua. Biaya seragam juga oleh orang tua…. Itulah kontribusi masyarakat....”
“Apabila diperlukan kontribusi para orang tua murid berupa DSP di awal masuk sekolah dan SPP bulanan untuk tingkat SMA/MA/SMK, maka itu bersifat TIDAK WAJIB. Namanya sumbangan, ya serelanya dan seperlunya. Karena itu dalam menentukan jumlah sumbangan harus ada rapat kesepakatan dengan orang tua murid. Selain itu juga harus ada transparansi dan pertanggungjawaban penggunaan dana sumbangan masyarakat atau para orang tua murid itu….”
Begitulah penjelasan dari Ketua Persatuan Orang Tua Peserta Didik Kota Bandung (POTPeDIK), Mansurya Manik S.Pd. kepada para orang tua yang berkumpul di Gedung Indonesia Menggugat Bandung pada hari Selasa, tanggal 12 Agustus 2014 .
***
Membayar dan Menyumbang Itu Beda
Ada orang tua yang keberatan karena nilai DSP yang dikenakan kepada ortu mencapai angka Rp 6 juta sedangkan SPP mencapai angka Rp 500 ribu per bulan di tingkat SMA/MA/SMK pada tahun 2014 yang sedang berlangsung ini. Angka yang sangat tinggi bila dibandingkan pendapatan (gaji) kebanyakan masyarakat kita di Kota Bandung. Coba bandingkan dengan gaji seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang jujur, apakah seimbang biaya pendidikan anak-anaknya dengan pendapatan yang diperolehnya?
Orang tua murid tidak berkewajiban membayar DSP dan SPP. Namanya juga sumbangan ya serelanya. Inidisebut sumbangan kok ditentukan jumlahnya, mengikat (jadi keharusan), sepihak,dan tertutup karena para orang tua tidak tahu bagaimana dasar perhitungannya dan cara menggunakannya.
“Bapak dan Ibu tidak membayar DSP dan SPP pun tidak apa-apa. Tidak melanggar aturan…. Silakan membaya ketentuannya pada pasal 55 PP 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan,” Kata Mansurya Damanik.
Berikut ini cuplikan 55 PP 48 tahun 2008 yang terkait dengan 2 pasal lainnya sehingga ketiga pasal dicuplik semua.
Seorang bapak pensiunan PNS berkata dengan agak emosi: “Komite Sekolah itu Cuma jadi suarra sekolah atau kaki tangan sekolah. Bukan mewakili para orang tua murid….”Sementara orang tua yang lain mengatakan bahwa ketua Komite Sekolah di sekolah anaknya itu seorang Bupati di luar Kota Bandung. Hahahaha, aneh ya.
***
Setelah pertemuan di atas, POTPeDIK , Fortusis, dan para orang tua murid kemudian melanjutkannya dengan berunjuk rasa ke Kantor Walikota Bandung pada hari Jumat, 15 Agustus 2014. Tujuan dari aksi ini adalah untuk menyampaikan aspirasi agar praktek sumbangan/pungutan di sekolah negeri di Kota Bandung harus dihentikan terlebih dahulu sebelum ditempatkan sesuai dengan ketentuan yang sebenarnya. Berita dapat di baca di sini.
Apabila Anda orang tua di Kota Bandung yang memiliki aspirasi terkait sumbangan/pungutan atau isu pendidikan yang terjadi pada anak Anda di SD/MI, SMP/MTs dan SMA/SMK/MA Negeri, silakan konsultasi kepada Mansurya Manik S.Pd., Ketua Persatuan Orang Tua Peserta Didik Kota Bandung, Kontak: 081223222215, Sekretaris Oji Nanang Sumantri, Kontak: 082128182333.
***