Kapan perjumpaan terakhir kita ya? Tak tahulah, sudah terlalu lama. Dan ketika ku mengingatnya, sepaket pula dengan ingatanku yang terbata-bata menyusun hari demi hari yang melenakan, bersama kamu.
Kau masih sama. Klise. Padahal tahu kabarmu selama ini pun aku tidak. Sedang hidup adalah naik dan turun, baik dan buruk, bagaimana mungkin aku bisa menilaimu sama hanya karena malam itu aku melihatmu sekelebat mata. Aku melihatmu, tapi kamu tak melihatku. Jika posisinya kita sama-sama saling melihat, apa kau akan berpikir aku juga masih manusia yang sama seperti masa yang lampau? Masih sama-sama galak, masih sama-sama egois, masih sama-sama sama sekali jauh dari kata cantik, dan masih sama-sama pengkhianat c*nta?
Tidak. Karmaku sudah turun. Dan aku yakini semuanya karena sikapku yang negatif terhadap kamu waktu itu. Dan parahnya, aku belum sempat minta maaf. Bagaimana bisa? kau terbang ke kota ATLAS tanpa pamit, tentu dibarengi dengan gantinya nomor ponselmu. Berakhirlah sudah permintaan maafku hanya sebatas tenggorokan. Tidak, berkali-kali aku menuliskannya dibuku harianku. Iya,, berkali-kali.. sebuah permintaan maaf yang dalam bukan? (Hah!)
Bertemu manusia semacam kamu, tentu saja membuat sebagian pada diriku bergetar. Setiap orang akan memetik buah dari apa yang dilakukannya, dan musibah yang terjadi pada diriku tahun ini, aku yakini betul karena sikapku waktu itu padamu.
Tapi kau tahu, waktu itu kita masih muda, tak sedewasa sekarang. Yah sudahlah, sudah terjadi. Mau dibahas apanya lagi?
Tapi rinduku padamu ternyata masih lebih kalah ketimbang si minder. Karena si minder berhasil membuatku pada akhirnya memutuskan menghindarimu malam itu, ketimbang bertegur sapa, mungkin sedikit bertanya teman ini teman itu, teman yang pernah kita berdua kenal bersama, atau bertanya apa kabarmu? dan basa basi lain yang lumrah untuk orang yang merindu. Aku yang merindu maksudku, bukan kamu.
Goodnight Nobody, Hai Sepi.