Sejak masa kanaksaya sudah terbiasa dengan irama keroncong dan tentu saja Mus Mulyadi. Adalah bapak ibu saya yang memang suka membeli kaset-kaset keroncong. Setiap sore sebuah tape recorder kecilmodel jaman semana yang kami punya selalu saja tampak mengagumkan: tegak di atas lemari pendek, suaranya cemengkling nyaris tanpa suara bass-nya. Keroncongnya Mus Mulyadi pada waktu itu adalah juga menjadi penyebab ketika entah kapan kemudian kami serumah menyadari: tidak tahu juga siapa yang telah meminjam kaset-kaset keroncong itu, dan memilih lupa untuk mengembalikannya.
Musik keroncong memang lembut, membuai siapa saja yang merelakan diri untuk mendengarkannya. Iramanya yang tak pernah tergesa-gesa itu sangatlah jauh dari kesan riuh dan apalagi gaduh. Dipadu dengan suara emas Mus Mulyadi, musik keroncong menjadi pilihan yang pas untuk menunjukkan pada dunia bahwa setiap orang punya hak untuk tidak selalu berkeinginan atas nama apa saja. Keroncong mengajak dan nampaknya memang mampu untuk meringankan segala apa yang telah dikerkah oleh manusia sebagai beban beratnya. Sejenak, meski sejenak. Tetapi yang sejenak itu cukuplah untuk sekedar menghela napas mengumpulkan ingat bahwa di dunia ini ada banyak kegembiraan dan salah satunya adalah keroncong.
Tentu saja tak hanya keroncong, tak hanya Mus Mulyadi. Ada juga langgam jawa, juga Waljinah, perempuan yang suaranya membuat hati tak berkedip. Memasuki dentingan dawai-dawai siter Waljinah seakan memperilakan pendengarnya untuk sejenak istirahat dan jika perlu: tidurlah dulu. Ya!, irama langgam jawa memang mudah sekali mendatangkan kantuk tetapi, bagi saya, itulah kehebatannya. Ia mampu mengajak saya menepi, mampir sejenak meneguk rasa lupa sepuas-puasnya. Album Lorobronto dari Waljinah adalah pilihan tepat untuk menghindar dari dunia.
Tuan yang sudah terlanjur tua mungkin sekali memang mengenalnya, sangat.