tahun-tahun 1980-an radio-radio, baik milik pemerintah maupun radio swasta, ramai sekali dengan sandiwara radio. pilihan media komunikasi elektronik yang terbatas memang memungkinkan maraknya sandiwara radio. dari cerita anak-anak sampai untuk semua umur dan kalangan. yang terkenal masa itu adalah “saur sepuh” dengan brama kumbara dan mantili-nya.
sandiwara radio --yang karena radio hanya mengandalkan suara saja-- memberi kesempatan bagi pendengarnya untuk menyimak, membayangkan dan penasaran dengan jalan cerita. di kampung-kampung orang sudah bersiap di depan radio jika sudah waktunya, tidak masalah jika harus ikut numpang dengar di radio tetangga. keasyikan yang komunal dan murah sekali.
sekarang mungkin menjadi aneh jika orang membelakangi televisi hanya sekedar untuk menunggu siaran sandiwara di radio. bahkan televisi pada waktu sekarang hampir-hampir tak menyisakan waktu untuk barang sejenak meninggalkannya. acara-acara yang bervariasi pada berpuluh stasiun televisi merayu dan berhasil memikat orang untuk teguh sentausa di depan pesawat televisi. bahkan sampai jam tengah malam (bukankah konon kabarnya kaum ibu dan anak perempuannya di indonesia sangat doyan sinetron? beberapa stasiun televisi sepertinya mabuk kepayang dengan siaran mereka sendiri: sinetron sampai tengah malam!)
kembali ke sandiwara radio. dulu, saya membayangkan bagaimana seorang brama kumbara memacu kuda melintas belukar hutan dan menumpang malam di rumah seorang penduduk kampung. suara cenggeret dan guguk anjing malam terasa sekali. juga saya mengira-ngira seperti apa sih cantiknya mantili? mungkin tinggi ramping dan berselendang pada pinggangnya yang menyandang pedang setan. kilatan pedang yang menyebar bau…hmmm..ketika harus berkelit dari kilatan kilau kerlap pedang perak si tajibarnas.
atau auman mardian si manusia harimau dalam “misteri gunung merapi” itu sungguh menakutkan. saya yang masih kanak waktu itu benar-benar merinding dan tak berani tak berkawan di rumah, bahkan di siang hari! kekeh tawa meringkiknya mak lampir dan lolong srigala, juga suara gelegar cambuk saktinya sembara. benar-benar jaman dulu orang sakti berkeliaran di mana-mana. (sayangnya, misteri gunung merapi yang di-televisi-kan oleh indosiar itu sangat jauh berbeda dengan sandiwara radionya dan saya pun tak tahu apakah sandiwara yang dulunya "naskah karya s tijab" itu sengaja membajak lindu aji "alap-alap laut kidu" dari serial pecut sakti bajrakirana karya asmaraman s kho ping hoo?)
mungkin tuan pernah dengar “mahabharata”? ah, ingatkah tuan dengan “wathathithah” atau "hwarakadah"-nya jatugora? kemasan apik tentang epos mahabharata yang sayangnya tidak bertahan lama dan tuntas sampai penghujung kisah, bharatayuda jaya binangun. setidaknya “wathathithah” cukup mengasyikan sebagai tambahan kosakata untuk mengungkapkan sesuatu.
juga “jaka badak” yang berkisah tentang masa kerajaan kediri dengan prabu jayabaya-nya. masih ada “srigala mataram” yang menuturkan bagaimana senopati-senopati mataram di bawah sultan agung hanyakrakesuma –terpujilah beliau di swargaloka–, terlibat dalam riuhnya dunia persilatan bersamaan dengan perjuangan mengusir belanda kumpeni.
tidak ketinggalan adalah “tutur tinular” dengan arya kamandanu dan mei shin. kemelut runtuhnya imperium singasari dan awal bangkitnya trah rajasa mengibarkan majapahit. lainnya adalah seperti pangeran joyokesumo dalam “lowo ijo” yang mengembara bersama dyah karangsari. juga yang tak kalah asyiknya adalah sandiwara radio “butir-butir pasir di laut” yang disiarkan oleh rri (di banyumas, di daerah lain mungkin stasiun radio swasta atau rkpd?) “butir-butir pasir di laut” adalah sandiwara radio yang berepisode pendek, seringkali langsung tamat, tapi keasyikannya nyaris sama dengan sandiwara radio yang serialnya panjang-panjang itu.
dari semuanya "saur sepuh" lah yang paling diminati. meski "tutur tinular" juga pernah difilmkan, ia tak seheboh "saur sepuh" yang serial sandiwara radionya entah apa saja judulnya. ada “darah biru”, “perjalanan berdarah”, “sengketa tanah leluhur”, “banjir darah di bubat”, “istana atap langit”, “kembang gunung lawu”, ….wah, bahkan saya sendiri tidak hapal nama serialnya. barangkali tuan ingat? atau sekiranya sudi, kiranya tuan berkenan mengajari saya “thi-ki-i-beng” pemuncak “ajian serat jiwa” dan juga “ajian lampah-lumpuh”?
***
catatan:
(1) sandiwara api di bukit menoreh tak saya sebut dalam tulisan di atas, memang tak sepenuhnya mengikuti karena malam hari dan pas jam siarnya bapak saya pasti menyuruh saya belajar..
(2) tulisan ini sebagai jawaban atas "pertanyaan" mas Aris Kurniawan. tulisan ini aslinya pernah nampang di blog friendster saya: http://tiada-kepandaian.blog.friendster.com/2007/07/sandiwara-radio/