Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

cerita silat dan kisah kependekaran saya (jilid 3 - tamat)

21 November 2010   06:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:25 3413 2
setelah tulisan pertama dan kedua, kini saya akan berbagi pengalaman tentang bagaimana membacai cerita silat tingkat tinggi. maksudnya bukan ilmu silatnya yang tinggi, tetapi cerita silatnya yang tingkat tinggi (untuk itulah tulisan ini sesungguhnya dibuat). satu dua nama pengarang mungkin akan baru saya sebutkan --meskipun (juga!) mestinya sudah saya sebutkan di tulisan pertama maupun kedua-- tetapi karena alasan tema tulisan ketiga inilah yang membuatnya baru disebutkan. demikianlah.

membaca cerita silat pada umumnya memang dilakukan karena menyukai cerita tentang bagaimana serunya pertarungan antara seorang tokoh silat melawan tokoh silat lainnya. pada cerita silat Wiro Sableng dan yang sekelas dengan itu memang hanya akan menemukan kisah pertarungan, perebutan pusaka, pembalasan dendam dan (kalau ada!) sekelumit kisah cinta. penceritaan yang demikian menghasilkan pembacaan yang "berhenti" dan "terpuaskan" untuk selanjutnya beralih kepada judul-judul bacaan lainnya dan demikian seterusnya yang terjadi. tidak lebih.

bagaimana dengan membacai karya Kho Ping Hoo (KPH)? sebelum menjawabnya, saya akan menyebutkan satu nama: Chin Yung. sedemikian terkenalnya karya-karya pengarang ini hingga banyak dari karyanya yang hadir dalam bentuk audiovisual: film layar lebar maupun film (serial dan bersambung) televisi, seperti yang terkenal itu: Kisah Pendekar Memanah Rajawali (bahkan jika salah tulis, harap maklum).

Chin Yung dikenal sangat produktif dan banyak karyanya. dari mulai cerita tentang Ang Cit Kong (saya lupa judulnya) sampai ke jaman Tio Bu Kie dan keturunannya (Pendekar Baju Putih) entah berapa judul yang ditulisnya. belum lagi judul-judul lainnya di luar serial itu. semuanya seru. tetapi yang menurut saya paling menarik ketika dibaca adalah: Kaki Tiga Menjangan. cerita tentang Wi Siau Po (yang di stasiun televisi Indosiar pernah muncul dalam judul Pangeran Menjangan) itu begitu menarik justru ketika ceritanya utamanya bukan tentang dunia persilatan tetapi intrik dan tipu muslihat dalam istana dan pemerintahan kerajaan dinasti Ceng. pada titik inilah kesadaran pengalaman saya membacai cerita silat sedikit terwarnai meskipun, tentu saja, cerita silat karya KPH masih lebih bagus. dan yang menjadi pembeda adalah seperti di bawah ini.

pertama, KPH mengajak kita berkelana dan menikmati pemandangan alam sebagai sesuatu yang murni dan tanpa penilaian. penggambaran lembah berbunga yang sunyi dan menukik dalam jurang-jurangnya yang sepi, kelebatan hutan-hutan yang tak terjamah manusia, ketinggian puncak-puncak gunung yang berselimutkan awan, atau kerimbunan tanaman-tanaman yang subur sepanjang sungai. diajaknya pembaca untuk menikmati "lukisan alam".

kedua, KPH mengajak pembacanya untuk berfilsafat dan merenungkan kebijaksanaan-kebijaksanaan hidup. meskipun dalam beberapa kesempatan terkesan menggurui, namun kenyataan yang dihadirkan untuk di-filsafat-i terasa sulit untuk dibantah. tentang "aku", cinta, suka, benci, kebaktian, ketuhanan, kesetiaan, kaya-miskin, pintar -bodoh, banyak lagi. cara KPH "mengajarkan" filsafat dan kebijaksanaan hidup itu seringkali tak memalui tokoh utama, tidak harus dari pendeta, tidak harus dari orang terkenal. simak saja bagaimana Bagus Seta dalam Sepasang Garuda Putih tidak berkutik di hadapan seorang petani: ketika mengejar kehausan pemikirannya tentang hidup. penyelipan filsafat dan pandangan akan dunia dan kehidupan ini seringkali tidak mudah dipahami dengan sekali pembacaan, meskipun banyak juga yang sangat mudah untuk dimengerti.

ketiga, KPH seringkali "menyengsarakan" si pendekar, tokoh yang dengan susah payah dia ciptakan. lihat bagaimana Kwa Sin Liong "harus" menjadi Bu Kek Siansu, atau lebih-lebih Lu Kwan Cu yang tertipu, terjebak, patah hati dan memilih menjadi Bu Pun Su (artinya Tiada Kepandaian, suatu gelar yang justru hanya akan disandang oleh seorang yang tak tertandingi, sekaligus kesederhanaan si pemakai gelar). kebiasaan ini menghadirkan pemahaman bahwa tidak semua orang sakti bernasib mujur dalam hal yang bersifat duniawi.

ketiga alasan itulah yang menjadi pembeda karya KPH dengan karya pengarang lain, bahkan termasuk di dalamnya Chin Yung. bahwa karya Chin Yung sedemikian menonjol memang diakui, tetapi hampir tidak pernah Chin Yung menyelipkan ketiga hal di atas. dalam Chin Yung hanya ada kelebat bayangan pendekar atau intrik pemberontakan, sesuatu yang juga ada di banyak karya pengarang lain.

tetapi benarkah KPH yang terhebat? tentulah saya akan dengan senang hati menjawabnya, IYA!, jika saja saya tak membacai Nagabumi 1-nya Seno Gumira Ajidarma (SGA). namun juga bukan berati SGA lebih hebat dari KPH. ada beberapa hal yang baru setelah membacai Nagabumi 1 yang memang tak terjumpai dalam KPH, dalam cerita manapun! bahkan dalam cerita silat karya siapapun! jika karya KPH adalah cerita silat tingkat tinggi, jauh lebih tinggi dibanding karya pengarang lain (tentu saja, apalagi!,  karya Batara tidak saya anggap layak untuk di"pelajari" cerita silatnya!), maka Nagabumi 1 adalah lebih tinggi dari kelas KPH, tetapi hanya dalam beberapa alasan. secara umum masih lebih nikmat "mempelajari" karya KPH.

cerita silat pada umumnya, termasuk karya KPH, mengisahkan dunia persilatan sebagai dunia persilatan yang mudah dipahami: ada pendekar, ada partai persilatan, pertarungan berujung hanya pada kalah menang meskipun mati dalam bertempur dianggap wajar, balas dendam. bahkan seringkali pertarungan dalam dunia persilatan digambarkan terjadi justru karena alasan yang datang dari luar ilmu silat itu sendiri. misalnya pemberontakan yang melibatkan keberpihakan pendekar kepada pihak pemberontak maupun pihak negara. atau perampok mengahadapi pendekar pembela kebenaran dan keadilan. atau pertarungan sebagai pembalasan dendam semata-mata.

pada Nagabumi 1 dunia persilatan dihadirkan sebagai dunianya orang-orang yang secara total menuangkan hidupnya ke dalam dunia ilmu silat dan dunia persilatan. pertarungan yang terjadi digambarkan hanya untuk alasan ilmu silat semata-mata, tidak yang lain. jikapun ada pertarungan di luar alasan itu hanyalah terjadi pada pendekar-pendekar yang belum menamatkan pelajarannya. jalan persilatan dianggap jalan kesempurnaan bagi para peminatnya, yang dengan itu pula terdapat anggapan kematian sebagai ujung dari kekalahan dalam pertarungan adalah jalan kesempurnaan hidup seorang pendekar. seorang pendekar hidup hanya untuk terus menerus mengolah dan mengasah kemungkinannya sebagai yang terbaik dengan cara berlatih, mengembara dan menempur siapapun yang dianggpnya patut sebagai batu ujian. dan tak ada tantangan yang tak bersambut, kecuali oleh para pecundang yang akan ditertawakan oleh dunia.

pengisahan seperti ini tentu saja menjungkalkan penggambaran tentang dunia persilatan seperti yang sudah mapan sebelumnya sebagai hasil pembacaan cerita-cerita silat sebelumnya, bahkan karya KPH sekalipun. pun keunikan ilmu silat dan proses kelahirannya hanya terjumpai dalam Nagabumi 1. dan puncaknya bagaimana pembaca bisa membayangkan bentuk dari Jurus Tanpa Bentuk? membayangkan orang berkelebat, berlari di atas rumput, seolah-olah terbang menyeberangi sungai, merayap naik mendaki dindin karang terjal....itu mudah. tetapi membayangkan bentuk dari Jurus Tanpa Bentuk?

kisah lahirnya Jurus Tanpa Bentuk itu memang belum tuntas karena Nagabumi 1 masih menunggu Nagabumi 2 yang entah kapan diterbitkan. tetapi kehadiran cerita silat yang pernah dimuat secara bersambung oleh Harian Umum Suara Merdeka itu telah "menggegerkan" dunia persilatan. para pendekar pembaca cerita silat pastilah tak pernah membayangkan ada dunia persilatan semacam yang ada dalam Nagabumi 1. pun demikian saya.

setelah membacai dunia persilatan berpuluh tahun lamanya, mengenal banyak tokoh-tokoh sakti ciptaan banyak pengarang, mempelajari ilmu silat tinggi dari berbagai kitab pusaka certa silat, ternyata ada dunia persilatan yang lebih sunyi dari sunyi, sesunyinya sunyi, lebih kejam dari kejam, sekejam-kejamnya kejam, dengan pertarungan-pertarungan yang dahsyat, sedahsyat-dahsyatnya dahsyat, meski ceritanya memang belum lengkap dikisahkan. karena itulah kisah kependekaran saya dalam membacai cerita silat tentulah tak pernah pasti sebelum Nagabumi-nya SGA terbit sampai halaman terakhirnya.

***

catatan:

pemaknaan sejarah dalam Nagabumi 1 memang menghadirkan pengetahuan baru akan sejarah yang disejarahkan oleh buku-buku sekolah. tetapi saya memang membatasi diri pada sisi cerita dunia persilatan.

silakan membaca apresiasi karya-karya cerita silat yang lebih bagus di:

http://hiburan.kompasiana.com/buku/2010/05/16/nagabumi-ilmu-silat-dan-ilmu-filsafat/

dan untuk tambahan pengetahuan: http://unik.kompasiana.com/2010/06/30/pendekar-kungfu-indonesia/

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun