Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Hostel and Hotel Story

25 September 2013   21:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:24 730 0

Hostel and Hotel Story

Jauh hari..

Kira-kira 3 bulan sebelumnya, saya, Alex Komang dan Maruone sedang berada di sebuah travel agent di Pontianak untuk membeli tiket pesawat ke Jakarta karena akan ada urusan disana. Ide ke Singapore datang ketika kami memandangi poster-poster tempat liburan di luar negeri yang terpampang di tembok ruangan itu. Melihatnya saja, membuat saya mengiler dalam hati—slurp! Liburan ke luar negeri benar-benar menggoda iman. Kapan ya bisa ke luar negeri, pikir saya sambil melamun. Kami pun berbincang-bincang kecil tentang ide itu—kalau ada momen yang pas, siapa tahu ada rezeki, mengapa tidak? Ada begitu banyak poster yang menawarkan tempat-tempat wisata menarik khususnya di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur, tapi kami terlanjur jatuh hati pada Singapore. Alasannya karena dekat, kecil, dengar-dengar isunya sih tempatnya bagus, dan bisa dieksplor dalam waktu singkat. Cek n ricek harga tiket paling murah saat itu berkisar Rp.300.000,-an via Airasia untuk rute Jakarta - Singapore dan untuk direct flight Pontianak – Singapore via Batavia (waktu itu masih belum bangkrut) di harga Rp.1.000.000,-an. Ide telah tercetus, rencana perjalanan segera disusun, dan tinggal tunggu realisasinya saja.

Bugis Backpackers Hostel

Wahai sobat, kalau anda punya rencana jalan-jalan ke luar negeri dalam waktu singkat dan pergi bersama teman, anda sebaiknya memang sudah mempersiapkan rencana perjalanan dengan jelas ‘plan A and plan B-nya’.Kenapa pula? Jalan-jalan bersama teman bisa jadi petualangan yang seru. Namun, adakalanya kita harus berselisih paham untuk menentukan sesuatu—misalnya, kita mau menginap dimana, setelah dari tempat A kita kemana lagi.. mau makan dimana.. semuanya bisa jadi karena perbedaan selera, tujuan dan kepentingan diantara teman-teman seperjalanan, dan akhirnya tinggal lihat saja siapa yang mau mengalah. Untuk itu, sikap tenggang rasa dan mau berkompromi kadang dibutuhkan daripada ego pribadi. Ya, ceritanya sih jadi lain kalau teman seperjalanan kita orangnya asyik dan sehati—lha kalau tidak? Perjalanan kita ibarat layangan putus, terbangnya ke negeri antah berantah.

Pengalaman pertama ke luar negeri jadi sesuatu banget—jetlag buat saya, pas banget dengan lagu Jetlag-nya Simple Plan yang waktu itu lagi booming. Setelah turun dari pesawat, kami langsung naik MRT menuju Orchad Road. Bukan saya lho, tapi teman-teman saya yang bilang ‘belum ke Singapore kalau belum menginjakkan kaki di Orchad Road’. Seperti yang diduga sebelumnya (dugaan saya berdasarkan informasi di internet dari pengalaman para backpackers tentang kemungkinan masalah-masalah yang timbul jika pergi bersama-sama teman—dan ternyata masalah itu benar-benar ada!), dan setelah sampai di Singapore pun, kami belum klik dengan opsi-opsi perjalanan yang sudah kami buat sebelum berangkat alias rencananya berantakan, masih belum tahu mau kemana, mau ngapain aja, akhirnya banyak terjadi rapat kecil-kecilan hanya untuk menentukan arah dan jalur. Kami malah memilih jalan-jalan tanpa arah. Setelah betis mau pecah, baru pontang-panting cari hotel. Baru sadar, ternyata kami hanya menghabiskan waktu di jalan dan hari sudah mulai sore.

Nah, dari sinilah perdebatan sengit di mulai. Ada yang mau menginap di sekitar Orchad saja (katanya sih ada yang murah, tapi entah dimana), ada yang mau menginap di daerah Little India, ada yang bilang terserahlah—dimana aja boleh.Dahulu sebelum berangkat, saya sudah melakukan survei kecil-kecilan tentang hotel/penginapan murah di Singapore, dan banyak orang di dunia maya merekomendasikan jaringan hotel 81 dan Fragrance sebagai yang relatif murah dan berkelas—di samping keberadaan hostel tentunya. Saya sudah menyampaikan informasi itu tapi teman-teman saya ini mengabaikannya dan memilih cara ‘cari hotel sambil berjalan-jalan, kalau ada yang cocok—ya itu dia!’.

Karena perdebatan tak kunjung selesai, setelah cek hotel sana-sini tapi lokasi dan harganya kurang cocok, saya pun iseng-iseng memberi usul, “Gimana kalau kita nginap di hostel? Hostel kan biasanya murah. Fasilitas—ya seadanya sih biasanya. Nih, banyak hostel bertebaran di Singapore. Ada satu yang dekat sini, Bugis Street, kayaknya lokasinya dekat MRT.” Harap maklum, saya dan teman-teman memang kurang familiar dengan yang namanya hostel. Saya pun baru tahu hostel dari baca buku-buku traveling. Setelah berpandang-pandangan sejenak, kami pun langsung bergerak menuju Bugis street, turun di MRT EW12.

Bugis Backpackers Hostel terletak di lantai dua deretan ruko yang menghadap Rochor Street. Para penunggunya adalah wanita paruh baya dan seorang nenek. Si tante cukup friendly, sedangkan si nenek agak bawel. Dia mengoceh dalam bahasa inggris yang cepat, menjelaskan tentang kamar, AC, kamar mandi dan selimut. Setelah dia sadar kami adalah Indon, langsung deh dia nyeletuk pakai bahasa melayu. “Kenapa sih enggak dari tadi aja ngomongnya?” Pikir saya. Setelah kami selesai membayar dan menunjukan paspor kami, mereka kemudian menghilang begitu saja. Rasanya memang hampir seperti di rumah sendiri. Walaupun terletak di lantai dua, sebenarnya masih terdapat ruang lagi ke lantai tiga lewat tangga memutar di belakang. Mungkin induk semangnya tinggal disana, mungkin juga itu adalah roof top untuk tempat kongkow para tamu hostel—entahlah! Saya tidak memeriksa sampai ke atas. Saat itu cuma kami tamu yang menginap. Pintu masuknya punya sistem keamangan yang bagus—kalau kita keluar terkunci otomatis. Kamar mandinya shared, shower-nya standarlah. Dapurnya juga tersedia peralatan memasak yang bisa digunakan kalau mau masak sendiri. Ruang tengahnya cukup luas dengan deretan sofa-sofa dan TV juga tersedia. Kami tidur di kamar triple dengan double beds—satu bed besar dan satu bed kecil. Oh, astaga! Menurut saya, kamarnya untuk ukuran tiga orang ini kurang manusiawi (jetlag nomor dua!), bentuknya seperti huruf b dengan suasana kamar yang suram dan temaram. Jadi ingat kamar kos saya waktu kuliah dulu, agak lebih manusiawi daripada ini. Fasilitas hiburan yang ada di situ berupa WiFi gratis dan jendela besar di sudut yang mengarah ke Raffles Hospital, gunanya supaya bisa lihat pemandangan lalu lalang kendaraan dari kamar tidur kalau lagi bête. Tidur di situ, per kepala per malam dikenai $36 Singapore = $108 bertiga. Dengan harga segitu dan fasilitas yang demikian plus ‘sudah terlanjur bayar’, kedua teman saya mengomel bahwa semua gara-gara saya yang salah pilih tempat. Saya pun cuma bisa tertawa ha ha ha… nikmati saja!

"Pemandangan dari jendela kamar : Raffles Hospital"

Boleh dibilang, kalau mau traveling hemat, ini tempat yang cocok buat para backpackers. Intinya kan jalan-jalan dan pengalaman serunya, bukan kualitas tidur yang diutamakan. Toh, lagian kebanyakan backpackers kan cuma niatnya numpang tidur, setelah itu berpindah ke tempat lain. Bedanya, kami ini masih pemula yang tidak mau ambil resiko hidup ‘tidak mau susah sedikit’. Saya ingat sekali, sampai malam hari pun mereka berdua masih mengomel soal keputusan menginap di hostel—‘pokoknya besok harus pindah!’, duh, kata-kata itu kedengarannya sungguh revolusioner. Setelah puas mengomel, semuanya tidur terlelap. Bah!

*

Soal makanan, don’t worry lah about di Bugis Street. Sudah saya bilang, ini adalah kawasan ruko, banyak penjual makanan dan barang-barang lainnya, dan lokasinya bersebelahan dengan Bugis Street Market—tempat dimana kita bisa beli souvenir-souvenir murah ala Singapore. Pilihan makan termurah, tentu saja adalah makan di McDonald, dan itu berarti, menyalahi kaidah-kaidah perut orang Indonesia. McDonald di Singapore tidak pakai nasi, diganti kentang, dan itu sama artinya dengan ngemil. Kita sebagai bangsa yang besar, belum disebut makan besar kalau belum makan nasi. Itulah yang terjadi selama hari pertama di Singapore. Pagi, siang, malam—makan burger doang. Sudah pasti, perut tetap berbunyi krucuk. Sambil makan di McDonald, kami banyak berdiskusi tentang makanan dan cara bertahan hidup di Singapore—makan apa, makan dimana, harga makanan, whatever..makan tidak makan toh tetap jalan-jalan.

Sekedar info, saya baru tau lho kalo ternyata burgernya McDonald itu dijadikan standar harga makanan di seluruh dunia. Kalau negara tersebut punya ada McDonald, bisa jadi burger McDonald itu jadi standar harga paling murah atau secara umum harga makanan di negara tersebut cukup terjangkau. Kalau negara itu tidak punya McDonald, aduh merananya, bisa jadi negaranya miskin sampai penduduknya tidak bisa beli burger McDonald. Termasuk soal etika makan di restoran fast food macam McDonald begini, agaknya Singapore bermaksud meniru negara maju lainnya.

“Kalau pas abang di Ostrali dulu, kalo makan di tempat kayak gini, kita yang harus kemasin peralatan dan sisa-sisa makanannya. Tuh, dibuang sendiri kan ke kotak sampah gitu,” Kata bro Alex Komang sambil menunjuk seorang pengunjung yang sedang membuang sisa makanannya ke dalam tong sampah yang telah disediakan. Bro yang satu itu memang pernah tinggal di Melbourne sewaktu S2, sedikit-banyak berbagi pengalaman tinggal di luar negeri. Cobabayangkan kalau di Indonesia, sudah dilayani dengan ramah, malah kadang penuh basa-basi, setelah itu kita bisa semena-mena meninggalkan sisa makanan di meja dan biarkan pelayanan restorannya yang membereskan meja. Di negara orang, sebaiknya lihat-lihat situasi dulu deh, bisa-bisa kena damprat kalau salah bertingkah. Kan malu juga kalau kita ketahuan orang Indonesia, katanya bangsa yang berbudaya..

Ngomong-ngomong soal pelayan McDonald di tempat kami makan ini (McDonald di Bugis Street Market) banyak yang sudah uzur, muka cuek—it’s ok. Heloo, kemana ya generasi mudanya? Agak janggal aja sih kelihatannya dilayani dengan kakek-nenek yang raut muka seperti sudah hilang gairah kerja.

“Di beberapa negara maju punya aturan begitu, Ki. Memberikan kesempatan bekerja kepada orang tua yang sudah pensiun, untuk menekan angka pengangguran.” Kata bro Alex ketika melihat saya sedang melihat mereka.

“Oh, mungkin maksudnya, membuat usia non produktif menjadi kelihatan produktif ya,” Kata saya asal saja, sambil manggut-manggut. Di mata saya, semua ini tetap terlihat aneh.

“Wow, harga air putih di Singapore ternyata lebih mahal daripada di Indonesia. Bisa melonjak beberapa kali lipat lho. Kenapa ya kira-kira?” Saya coba melempar isu ketika kami terdiam sejenak menikmati makanan masing-masing.

“Bisa jadi, mereka (Singapore) memasok air dari Malaysia. Harganya mahal mungkin disebabkan karena biaya distribusi dari sumber mata airnya. Atau mereka mengimpor air minum dalam kemasan. Bisa jadi mereka mengimpornya dari Malaysia.” Alex Komang menganalisis

“Ya iyalah. Pasir aja mereka beli dari kita. Diambil dari Riau atau Kepri. Makanya harga properti disini mahal. Tempatnya kecil, pembangunannya gila-gilaan.” Timpal bro Maruone.

Pantas saja, ketika saya bercerita kepada beberapa teman bahwa saya mau pergi ke Singapore, mereka menyarankan saya untuk membawa botol air minum coz disana harga air mahal, tapi air kerannya bisa diminum. Sebagai ilustrasi, air Aqua botol besar harganya sekitar $2.5 / $3 Singapore, kali aja deh dengan $Singapore yang kisarannya sekitar Rp.7.000-an. Boleh dikata, dengan cara berpikir seperti ini, saya masih berpikir hidup ala Indonesia, dengan menghitung segala kurs pembelian barang ke dalam rupiah. Sudah jelas, ini Singapore, bukan di Indonesia. Harusnya pola pikir pun bisa mengikuti gaya hidup Singapore. Harusnya..

“Bayangin aja, misalnya gaji pegawai di sini paling rendah $1000-2000 Singapore. Mau sewa tempat tinggal per bulan, mungkin bisa mencapai $1000, belum untuk makannya. Kalo mau paket hemat bisa cari yang $4-6sekali makan, dikalikan 3, dikalikan 30 hari. Belum minumnya. Ya, itu bisa refill di keran deh. Biaya senang-senangnya? Transportasi enggak usah dihitunglah karena sudah bagus. Itu hitung-hitungan bodoh saja. Terus, bagaimana mau beli rumah?” Kata Alex Komang lagi.

Sisi Singapore yang jarang terlihat oleh kita, orang Indonesia. Sekilas mata memandang, pembangunannya memang menggila, namun hal itu diikuti oleh meningkatnya biaya hidup yang berbanding lurus dengan gaya hidup barat yang berlaku dalam masyarakat Singapore. Yang baru terlihat melalui kaca-kaca jendela McDonald Bugis Street, produk Apple semisal IPhone merajai Singapore, Blackberry keok—nyaris tidak terlihat. Kalau ada yang pegang Blackberry, mungkin itu orang kita. Itu baru dari segi teknologi lho, melihat bagaimana gesitnya masyarakat disana merespon kemajuan teknologi dan trennya.

Kembali lagi soal makanan, kami memutuskan berhenti makan di McDonald—kapok!Sumpah, perut rasanya sudah tidak cocok lagi dengan menu makanan yang sama. Intinya, di McDonald situ kan tidak ada nasinya. Cacing di perut pun rasanya bete, demo terus, perut sampai keriuk-keriuk kelaparan. Cacing orang Indonesia rindu nasi. Makan burger cuma sebentar saja mengganjal perut. Kami coba berkeliling mencari tempat makan murah, dan dapatlah sebuah restoran Cina. Pilih menu nasi goreng—ya karena banyak nasinya. Rasanya? Alamak! Jangan ditanya deh. Rasanya jauh banget dengan nasi goreng buatan orang Indonesia. Bukan mengejek, rasa tidak pernah bohong lho. Buat sekedar melepas rindu demi cacing, makan nasi goreng ini rasanya begitu terpaksa.

Baru kali ini, saya bangga menjadi orang Indonesia. Biar bagaimanapun, masakan Indonesia lebih juara daripada Singapore baik dari segi rasa dan harga. Kenapa makanan? Karena itu menyangkut hajat hidup orang banyak. Untuk urusan perut, kita tidak boleh kompromi. Teringat seorang dosen saya dulu pernah berkata tentang, “Apakah kriteria negara yang makmur dan sejahtera itu?” Jawabanya, “Pokoknya otak pintar, badan sehat, perut kenyang dan tidur nyenyak. Masyarakat yang makmur dan sejahtera harus memiliki empat kriteria tersebut.” Oo.. benarkah demikian?

*

Malam itu, kami melanjutkan obrolan di tepi jalan belakang Bugis Street Market, sambil menikmati durian, katanya sih dari Indonesia. Yang bagus-bagus, yang besar-besar, dijual ke Singapore. Yang kecil-kecil, yang sisa-sisa, yang bijinya lebih besar daripada dagingnya, itu yang di jual di tempat asalnya. Salah siapa? Di Singapore, durian yang kami beli ini hargnya sekitar $30-an, memang super big, tapi yang jelas makan durian ini mengobati kerinduan akan kuliner tanah air yang biasa kami nikmati dengan harga murah—merindukan apa yang biasanya kita makan sebagai orang Indonesia, meskipun rasanya miris sekali harus mengeluarkan kocek sebesar itu—padahal biasanya tidak pernah semahal itu. Sekali bung, hujan durian di negeri sendiri, belum tentu hujan di negeri orang.

Kenyang makan durian, kami mampir ke Bugis Street Market menjelajahi isi dalamnya. Sesuai kesepakatan, malam itu kami langsung membeli oleh-oleh agar besok dan keesokan harinya lagi kami fokuskan untuk jalan-jalan. Bugis Street Market seperti pasar pada umumnya, cuma ditempat ini amatlah mudah menemukan souvenir yang ada ikon Singapore seperti Patung Merlion. Sebagai benda kenangan wajib, saya tak lupa membeli sebuah piringan bergambar si Merlion yang bisa dipajang seharga $10 Singapore dan sebuah asbak dengan motif Merlion yang sama. Bagi saya, membeli oleh-oleh dan benda kenangan kadang-kadang perlu dilakukan supaya kelihatan ada ‘bukti’ kalau kita benar-benar datang kesana—apalagi traveling ke tempat yang jauh. Saran saya, setelah berbelanja, jangan melihat isi dompet karena bisa timbul penyesalan sesaat—ini khusus untuk backpackers yang hidupnya super hemat karena tuntutan tradisi traveling.

Secara historis, Bugis Street Market dulunya sih dikenal sebagai daerah lampu merah, yang kini telah berubah menjadi sebuah pasar koak yang kondang yang menyediakan segala barang kebutuhan dan terutama souvenir, pernak-pernik dan barang-barang mode ala Singapore. Makanan adalah daya tarik tersendiri di Bugis Street, dengan banyaknya pusat kuliner dan food street yang menawarkan hidangan lezat, dan di bagian belakang secara khusus menjual produk buah-buahan, dan durian adalah salah satu buah yang terkenal di kalangan masyarakat lokal sampai dijadikan inspirasi untuk membangun Esplanade, sebuah tempat yang artistik di Singapore. Kalau orang Indonesia bilang, “Ya, enggak segitunya juga kali. Disini juga ada.” Orang kita, terhadap orang-orang dari negara tetangga seperti Singapore—apalagi Malaysia, memang tidak mau kalah. Benar lho, menurut saya, durian yang tadi saya makan rasanya biasa aja, cuma menang bentuknya yang besar, dan durian paling enak yang pernah saya coba adalah durian Indonesia yang saya makan di rumah bersama keluarga—bukan di Singapore.

Peninsula Excelsior

Sudah saya bilang bahwa kami akan pindah hotel, maka kami benar-benar pindah. Pindahnya tidak tanggung-tanggung, langsung ke hotel bintang lima. Peningkatan status sosial kami luar biasa drastis. Dari backpacker pemula jadi tamu hotel mewah. Memang sih, ada label bintang lima, tapi bayarnya juga dua kali lipat. Kami harus kembali patungan untung membayar sekitar $200 Singapore semalam plus sejumlah deposit. Untuk memutuskan apakah ini hotel yang pas dihati, kami harus melakukan dua pendekatan. Lagi-lagi, karena saya yang paling junior, saya disuruh bertanya langsung kepada front desk tentang harga, tipe dan fasilitas kamar—tentu saja dengan bahasa inggris ala kadarnya, sedangkan bro Alex Komang mencari tahu tentang hotel ini lewat internet. Ops, ternyata harganya selisih dan lewat internet biasanya ada diskon, maka diputuskanlah untuk booking lewat internet, dan bayarnya lewat kartu kredit bro Alex Komang. Sebagai tips, mungkin cara membandingkan harga tersebut bisa dipraktekan bagi teman-teman backpackers—lumayan kan kalau ada selisih harganya—dan tempatnya bagus pula.

Nah, masalah baru kemudian muncul. Bro Alex rupanya kurang jeli memperhatikan keterangan tipe dan fasilitas kamar yang dibooking—dan sudah terlanjur dibayar, ternyata yang dipilih adalah kamar tipe Suite (saya lupa tipe Suite lengkapnya) dengan satu buah bed besar untuk dua orang—dan non smoking room. Lha kami kan bertiga, dengan satu orang berstatus perokok, bagaimana nih? Dengan santainya bro Alex menjawab, “Ya, mau gimana lagi. Udah terlanjur.” Dia cuma tertawa-tawa geli. Lain lagi bro Maruone, dia terus menggerutu dengan keteledoran teman kami yang satu itu. Saya sempat membaca beberapa peringatan untuk para tamu, kalau ketahuan bawa tamu menginap lebih dari kapasitas kamar bakal kena cas tambahan, kalau merokok dalam kamar hotel juga kena cas. Waduh, otak pun diperas untuk mencari jalan keluar.

Saya harus mengakui kalau bro Alex Komang ini orang yang paling santai sedunia, terutama untuk urusan mengambil keputusan gila. Cara paling sederhana yang akan kami lakukan adalah metode penyusupan. Alex Komang dan saya akan pergi ke kamar dahulu untuk menaruh barang, baru kemudian saya menjemput bro Maruone. Sedikit repot ya, coz melihat mata security memandang kemana-mana terutama ke arah pintu lift—ini juga untuk security purpose lho. Ke sana, ke atas lah kamar kami berada di lantai 12. Posisi kami sekarang berada di lantai 6 dimana lobi berada. Yah, singkat cerita, ternyata menyusupkan tamu ke dalam hotel mewah bukan hal sulit—bahkan rasanya hampir mirip dengan tokoh si pangeran pencuri—ada perasaan was-was takut ketahuan, tapi seru juga. Eh, ternyata beredar cerita sudah banyak tamu nakal yang melakukannya—dan sejauh cerita yang terdengar sih aman-aman saja. Tidak cuma satu orang, rekor yang kami buat dikemudian hari lebih gila—3 orang! Nanti ya sobat, cerita itu ada bagiannya tersendiri.

Bukan cuma soal tidur nyenyak, pilihan menginap di hotel mewah tentu saja membawa prestise sendiri, meskipun dengan resiko harga selangit yang membuat para backpackers pikir-pikir lagi—apalagi seharga $200 Singapore. Hiks. Rasanya sayang banget buang duit segitu hanya untuk ‘menumpang tidur’. Bagi bro Alex Komang, yang penting bisa tidur nyenyak dimana pun tempatnya. Bagi bro Maruone, yang penting bisa tidur nyenyak dan bebas merokok—meskipun dilarang dan ada resiko kena denda yang besar kalau ketahuan—toh, tidak mengurangi niat untuk bersikukuh sebagai ahli hisap. Dengan memanfaatkan wc sebagai tempat pembuangan asap, pufh.. maka terjadilah! Saya sendiri merasakan betapa nikmatnya berendam di air hangat dalam bathup, satu-satunya hal yang bisa saya syukuri bisa tidur di hotel mewah hanya itu. Selebihnya, saya masih merasa sayang dengan duit patungan untuk $200 Singapore itu. Hiks.

*Catatan : metode penyusupan tidak berlaku untuk sarapan di hotel he he he.. jadi, siapkan plan B untuk makan ditempat lain, atau beli saja mie cup tinggal seduh siap saji, atau carilah McDonald terdekat, atau tidak usah sarapan sama sekali supaya hemat duit jajan he he he..

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun