Sore itu menjelang maghrib tiba, beberapa sepeda onthel melaju kencang menuju langgar (istilah: surau dikampung). Keceriaan dan tawa lepas yg renyah mereka tak bs disembunyikan. Berbekal sarung yg melingkar dileher, khas simbul kegagahan&kebanggaan  anak-anak kampung pada umumnya.
Tak lama kemudian Suara kentongan nyaring terdengar dari kejauhan. Terakhir dibumbui suara bedug sebagai penutup.
" Allohu Akbar...Allooohu Akbar...dstrnya." lantunan suara adzan melengking dari pucuk mustaka surau.
Anak2 berlarian bergegas menuju jeding ( tempat wudhu plus kolam mandi) berebut posisi&berjajar untuk segera berwudhu supaya tidak ketinggalan masuk wektu sholat Maghrib.
Begitulah aktivitas rutinan dikampung diera awal-awal tahun 80 an hingga akhir 90 an masih lekat membekas  dalam ingatan. Temaram lampu teplok menerangi sebatas ruangan yg nampak remang2. Gerak bayang2 dari efek lampu menambah suasana semakin syahdu. Sekaligus menjadi  ilustrasi yg indah tak tergantikan.
Tidak berselang lama setelah dzikir dan bacaan do'a habis sholat itu selesai, anak2 berhamburan berebut kitab2 ngaji yang tertata di bibit bingkai jendela yg nampak tdk beraturan. Bahkan  berserak. Sebagian sudah sobek, dan tak bersampul.
Sang Guru sudah bersiap. Sembari menyalakan rokok kretek yg terselip dijemarinya, beliau menyeru pada anak2 yg sedari tadi "nderes"( proses belajar sendiri sebelum maju dihadapan guru) dengan suara yg keras dan menggema.
" Hayo Endi sing wis siap Ndang maju" bertanya menyapa ruangan.
" Â mocone...lam yalid walam yuulad, luwih pertilo tur Cetho. Kui wacane idzghom bilagunnah. La ko' diwaca idzghom bigunnah." Spontan beliau mengingatkan. Karena ada yg bacaanya tdk sesuai pelajaran kitab tajwid. (Kitab yg mengajarkan bunyi makhroj huruf dgn kaidah yg detail&disiplin).
Demikianlah sang Guru membenarkan secara reflek. Tanpa harus menunggu yg bersangkutan merapat pada dampar(meja kecil seukuran orang bersila) yang tersedia. Â Beliau terkenal keras dan tegas. Bahkan nampak galak. Terdengar ada bacaan menyimpang lngsng disambar&dibetulkan seketika. Sontak aja, teman2 kala itu yg belum siap betul untuk maju, dipastikan berjejer diurutan belakang. Dihantui perasaan bersalah dgn dekup jantung yg tdk beraturan. Karena pas tiba giliran akan didamprat habis2san. TDK jarang beliau mengeraskan suaranya sembari memperlihatkan mimik wajah dan bentuk bibir yg benar&ideal.
Masih saya ingat bagaimana Makde Anan ( karena msh terhitung Paman dari jalur Ayah) memberikan olesan angus (kerak hitam yg di cerobong kaca lampu teplok) di wajah muridnya2 yg agak sulit dibenarkan. Makhlum mungkin juga rasa grogi dan takut menyelimuti perasan mereka.
Itu belum seberapa, menginjak giliran ngaji kitab: Tuhfat Al  atfal, 'aqidat Al awam, Al Jurumiyah, Ngimrithi,  A la la dstrnya akan lebih keras lagi. Sehabis ngaji sorogan Tartil tajwid; Alqur'an, berjanji dan tuturan rutin disambung ngaji kitab dgn media ajar papan tulis hitam plus kapur tulis.
Masih berlaku kala itu, yang tidak hafal nadzoman akan otomatis dijejer (suruh berdiri disamping papan tulis) hingga ngajinya selesai. Saya ingat bagaimana wajah teman2 menjadi putih semua karena  pas ngaji kena Baluran bekas rebelan kapur tulis disela2 papan tulis.
Bukan hanya itu saja, tidak sedikit yg tersengguk dan keluar air mata karena menahan tangisan. Bahkan sempat waktu itu saya harus pindah ngaji ke langgar yg satunya diselatan pojok desa. Karena disana Gurunya terkenal law profile dan penyabar. Tapi bagaimanapun akhirnya tetap aja kembali lagi karena model pengajarannya berbeda.  Dan saya akhirnya merasakan model Makde Anan memang lain  dari yg lain. Khas dan berkarakter.
Anehnya, diluar sikap beliau yang teramat keras dan disiplin tersebut, ia sangat penyayang dan lembut dgn murid2nya. Setiap kali sepulang Kondanga&ngaji, bisa dipastikan ambeng (bingkisan kenduri) mendarat ditengah2 kerumunan teman2 yg lagi ngobrol malam yg dilanjutkan bermalam  di Mushola.
H. Abdul mana Musthofa, itulah nama lengkap beliau. Jebolan Pondok Supit Uang, salah satu pondok Salaf yg ada di wilayah Blitar tepatnya di Utara sungai Brantas. Pondok ini terbilang tua. Tidak begitu terkenal seperti halnya Pondok Kunjr yg tersohor itu. Â
Hingga sekarang saya masih bertanya2, tentang model dan metode pengajaran yg diterapkan oleh beliau. Mungkin sebagian ditempat lain akan tidak jauh beda untuk era zaman itu. Saya hanya BS menyimpulkan sementara, bisa jadi guru2 kala itu tidak terpaku dgn metode dan model pembelajaran. Bahkan tidak terpikir njlimet seperti sekarang hrs disatndarkan setingkat kurikulumnya. Seperti halnya model IQRA" yg menjamur dikampung2.
Bisa saja banyak orang menyebut pola ngaji Sorogan adalah kuno & nggak relefan zaman. Karena lamban harus bergilir satu per satu. Tapi dibalik anggapan itu semua ada hal yg menarik dan istimewa. Yaitu model sorogan itu Sang Guru berhadapan lngsng dgn si Murid. Sudah otomatis emosional&empati Guru-murid terjalin secara batin-psikologisnya. Sang Guru akan tahu detail problematik anak yg beliau ajar. Â Secara reflek: intonasi suara, mimik wajah, semangat, bahkan aura si anak akan terasakan langsng oleh sang Guru.
Disitulah  kejujuran, tekad&semangat kegigihan sianak didik bisa nampak jelas. Sang guru tidak akan banyak bertanya karena sudah mampu menyelami alam pikir juga perasaan sianak yg paling dalam. Â
Sikap dan dedikasi Sang Guru ini tidak lain adalah dorongan rasa ikhlas dan totalitas ketrpanggilan dari spirit dakwah. Bahkan wujud perjuangan sebagai seorang santri yg dulu pernah diamanatkan oleh sang Kyai  yg pernah mendidik dgn segala petuah2 agung dan luhur.
Mungkin saja "kering&gersang"nya atmosfer pendidikan model sekolahan sudah banyak bergeser dari spirit diatas. Sehingga semaju dan secanggih apapun metodologi sekarang akan sulit menembus "problem si murid. Karena ada jarak dan renggang spirit kebatinan yg sepi bahkan kosong&hampa......