Dalam dunia pendidikan anak usia dini, metode pembelajaran berbasis pengalaman, yang dikenal sebagai experiential learning, terbukti menjadi cara yang sangat efektif untuk meningkatkan proses belajar. Metode ini memungkinkan anak-anak untuk lebih memahami konsep-konsep abstrak, sekaligus mengembangkan keterampilan interpersonal serta melatih keragaman, empati, dan kepemimpinan. Experiential Learning diperkenalkan oleh David Kolb pada awal 1980-an dan menjadi dasar dari Experiential Learning Theory (ELT). ELT adalah sebuah kerangka psikologi pendidikan yang menyoroti pentingnya pengalaman dalam proses pembelajaran. Menurut Kolb, terdapat empat tahap dalam siklus pembelajaran: Pengalaman Konkret (CE), Pengamatan Reflektif (RO), Konseptualisasi Abstrak (AC), dan Eksperimentasi Aktif (AE) (Kolb, 1984). (Suryaningsih 2024) Dengan memberi anak-anak kesempatan untuk belajar melalui pengalaman langsung, mereka akan lebih aktif dan terlibat, yang pada gilirannya mempercepat pemahaman dan penguasaan materi pelajaran. Saat anak-anak merasakan manfaat dan relevansi dari apa yang mereka pelajari, semangat dan motivasi mereka untuk belajar akan meningkat.(Iswinarti et al. 2020) Metode pembelajaran berbasis pengalaman tidak hanya memperkuat pengetahuan anak, tetapi juga berkontribusi dalam pembentukan karakter mereka, seperti meningkatkan rasa percaya diri, kemampuan beradaptasi, dan tanggung jawab. Oleh karena itu, penerapan experiential learning dalam pendidikan anak usia dini sangat krusial untuk melahirkan generasi yang inovatif, kreatif, dan siap menghadapi tantangan di masa depan.(Maisyaroh, Sabri, and Kartono 2018)
KEMBALI KE ARTIKEL