Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Mencari Makna Natal dan Tahun Baru Dalam Jebakan Artifisial

15 Desember 2013   23:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:53 198 1
Setiap kali penanggalan kita memasuki lembar terakhir sebelum berganti baru, tanda-tanda kesibukan menyongsong Natal dan tahun baru mulai terlihat. Berbagai lini industri telah berpikir keras dalam bersiap dan memanfaatkan setiap celah yang memungkinkan untuk menggunakan momentum ini dalam meraih omzet maksimal. Program promosi dan diskon, baik mengulang pola lama maupun hasil rancangan baru, bersiap diluncurkan dengan heboh.

Tak lama berselang, kita akan mendapati berbagai ornamen dan aneka atribut Natal stok lama maupun order terbaru, mulai dikeluarkan dan ditempatkan secara manis di lapak-lapak untuk menggoda konsumen. Toko, mal, hotel, dan ruang publik lainnya mulai berhias. Pohon Natal didirikan dalam perlombaan gemerlap. Lagu-lagu Natal dalam format instrumentalia, samar-samar mulai diperdengarkan. Disusul instruksi kepada para pegawai untuk memakai topi merah Sinterklas.

Tak berhenti sampai di situ. Berbagai even disiapkan berbagai pihak dalam suasana adu kreatif untuk menggaet massa. Orangtua mulai digoda untuk menyayangi anak-anaknya lebih dari biasanya dalam program foto bareng dan pemberian kado "seolah dari" Sinterklas, serta semangat bisnis lainnya. EO berebut artis untuk ditampilkan dalam acara-acara tutup tahun yang tiketnya dijual dengan harga premium. Bersamaan dengan itu, koran-koran dan majalah tak luput diserbu pariwara paket liburan Natal dan tahun baru, ke luar negeri maupun di dalam negeri.

Semua itu begitu nyata dan menjadi ciri khas suasana akhir tahun. Seolah hendak mendeklarasikan atau sekadar memberi kesan betapa religius dan kontemplatif masyarakat urban kita. Namun, benarkah demikian? Dengan terpaksa kita harus menggelengkan kepala. Semua yang kita jumpai itu hanyalah aktivitas di atas permukaan. Kita dikepung oleh kemeriahan dan kemegahan yang bersifat artifisial. Kita diajak masuk dan larut dalam jebakan konsumerisme dan komersialisme yang menampakkan diri dalam baju yang elegan.

Natal yang sejati bukanlah dalam penampilan glamor seperti itu. Makna Natal yang sesungguhnya tidaklah hadir di tempat-tempat "pesta pora" seperti itu. Esensi Natal adalah perayaan pemaknaan atas hidup, sebuah even kontemplatif dalam menemukan pembaruan relasi antara Tuhan dan manusia, dan manusia dengan sesamanya. Terus-menerus, senantiasa diperbarui, hingga kita menjadi makhluk yang kian mencerminkan perilaku dan kepribadian Sang Khalik.

Peristiwa Natal pada intinya adalah peristiwa Allah Yang Mahakuasa rela "turun dari tahta"-Nya di tempat yang tertinggi ke tempat yang terendah, dengan cara merendahkan diri-Nya dalam sebuah pengurbanan yang tak terpahami oleh manusia. Semua ini rela dilakukan-Nya agar Dia dapat menjadi setara dengan manusia. dan merasakan apa yang dirasakan dan dialami oleh manusia. Dari kisah Natal kita tahu bahwa bayi Yesus tidak lahir di istana Raja Herodes, bukan pula di penginapan yang layak, melainkan di sebuah kandang domba yang tentu saja jauh dari kondisi elit dan glamor.

Selain itu, Natal bermakna Allah secara proaktif datang, menghampiri, dan menyapa manusia yang dipenuhi kecenderungan untuk menghindar dan menjauh dari-Nya. Kisah Natal bukanlah cerita sukses manusia dalam menemukan Allah, melainkan Allah yang rindu kemudian mencari dan menjumpai manusia dalam keadaannya yang apa adanya. Semua itu dalam rangka membuat hidup manusia menjadi penuh dan utuh sebagai prasayarat agar kita mampu meluapkan berkah untuk berbagi dengan sesama.

Selanjutnya, makna Natal bertutur tentang Allah yang telah berinisiatif untuk mengadakan rekonsialisi atas hubungan yang telah diretakkan oleh (perbuatan) dosa manusia. Allah menawarkan pemulihan hubungan, yang akan dengan mudah kita pahami melalui kisah hidup Nelson Mandela. Pejuang anti-apartheid yang baru saja meninggalkan kita itu, selama 27 tahun mendekam dalam sel yang lembap, berukuran kecil, alas tidur seadanya, dan ditemani beragam penyiksaan. Pada saat dibebaskan akibat tekanan masyarakat internasional, Mandela tidak bangkit menghunus pedang untuk melakukan aksi balas dendam. Ia memilih jalan rekonsiliasi sebagai biduk baru bagi rakyat Afrika Selatan dalam menyongsong masa depannya.

Terakhir, tahun baru seyogyanya dimaknai dalam kinerja kontemplasi sebagai peluang emas untuk melakukan evaluasi dan merancang resolusi baru. Pergantian tahun adalah sebuah garis start imajiner untuk menata langkah baru, membangun tekad baru, dan menggumulkan serta mempertajam visi hidup.

Itulah esensi dan makna Natal dan tahun baru yang sesungguhnya. Keceriaan yang sejati lahir dari dalam, bukan pekik tawa dalam pesta pora tanpa makna. Tidak mudah memang untuk menemukannya, karena dalam kepungan dunia yang semakin artifisial, kita harus melakukan perjuangan untuk merebutnya.

Lirik sebuah lagu lama selalu mengingat saya akan hal ini: Hidup bukan karena hari / Hidup hanya karena arti. Ya, kita menjalani hidup ini bukan secara pasif dan terpaksa karena adanya hari, melainkan karena adanya artinya--bagi kita dan sesama.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun